WACANA pemberlakuan pajak hijau (green tax), pajak lingkungan (environmental tax), pajak karbon (carbon tax), dan sejenisnya bermunculan di berbagai yurisdiksi seiring dengan meningkatnya perhatian publik terhadap perubahan iklim dan global warming.
Pada beberapa dasawarsa terakhir, publik mulai menyadari aktivitas ekonomi berbasis energi fosil telah menimbulkan eksternalitas negatif bagi masyarakat dan lingkungan.
Meski isu pemberlakuan pajak hijau terus menjadi bahan perbincangan publik, faktanya hingga saat ini hanya segelintir negara saja yang telah menerapkan pajak tersebut. Tak hanya itu, penerapan pajak hijau di berbagai negara juga cenderung bervariasi.
Dalam bab yang bertajuk The Politics of Green Taxation pada buku berjudul Handbook on the Politics of Taxation, Lena Maria Schaffer menguraikan faktor-faktor yang mendukung ataupun menghambat implementasi pajak hijau pada suatu negara.
Menurut Lena, terdapat beberapa faktor domestik dan global yang menjadi penentu dari cakupan dan implementasi pajak hijau pada suatu negara.
Pertama, sistem politik. Secara empiris, negara-negara demokratis lebih mungkin untuk menerapkan peraturan di bidang lingkungan hidup yang lebih ketat ketimbang negara lain. Negara demokratis juga cenderung lebih mendukung penerapan peraturan tersebut pada skala global.
Sebaliknya, negara yang tidak demokratis cenderung tidak mampu memberikan pelayanan publik yang optimal, termasuk dalam hal lingkungan hidup.
Kedua, peran interest group. Menurut penulis, pelaku usaha dari energy-intensive sectors memiliki peran besar dalam memengaruhi besaran pajak hijau yang diberlakukan oleh pemerintah. Mereka mampu melakukan lobi-lobi yang meminimalisasi pengenaan pajak hijau lewat beragam pengecualian dengan klaim untuk meningkatkan daya saing nasional.
Akibat banyaknya pengecualian dalam pajak hijau, kebijakan tersebut pada akhirnya tidak mampu secara efektif mencegah perubahan iklim.
Tak hanya itu, pengurangan cakupan pajak hijau akibat lobi interest group juga meningkatkan beban yang harus ditanggung oleh konsumen. Bertambahnya beban konsumen pada akhirnya meningkatkan resistensi publik atas pajak hijau.
Ketiga, opsi untuk menerapkan instrumen alternatif. Meski pajak hijau merupakan instrumen yang efektif untuk mendorong perilaku yang lebih ramah lingkungan, terdapat instrumen-instrumen nonpajak yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah.
Alih-alih memberlakukan pajak hijau, kebanyakan negara lebih memilih menerapkan kebijakan nonpajak terlebih dahulu seperti memberikan subsidi atas pemanfaatan energi terbarukan, mendukung riset terkait teknologi pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, dan lain-lain.
Setelah instrumen-instrumen nonpajak tersebut diterapkan, barulah negara-negara menerapkan pajak hijau guna mendorong perilaku penghematan energi.
Lebih lanjut, penulis menjabarkan setidaknya terdapat 2 tantangan utama dalam penerapan pajak hijau pada era saat ini, yakni dukungan publik dan kerja sama lintas yurisdiksi.
Dukungan publik terhadap pajak hijau diperlukan mengingat kebijakan tersebut menyasar konsumsi dan cenderung regresif.
Rumah tangga miskin misalnya berpotensi terkena dampak lebih besar oleh kehadiran pajak karbon mengingat sebagian besar pendapatan mereka digunakan untuk mengonsumsi objek-objek yang dikenai pajak hijau, seperti listrik dan transportasi.
Guna mempertahankan upaya pengurangan emisi gas rumah kaca, faktor-faktor yang menentukan dukungan publik terhadap pajak hijau harus diperhitungkan oleh pemerintah.
Berkaca pada praktik di negara-negara Eropa, Umit dan Schaffer (2020) mencatat pemberlakuan pajak karbon membutuhkan political trust yang tinggi dari publik.
Dukungan publik terhadap pajak karbon juga berpotensi meningkat bila pemerintah mampu menjabarkan dengan terperinci terkait bagaimana penerimaan dari pajak tersebut akan digunakan untuk memitigasi perubahan iklim.
Terkait dengan kerja sama lintas yurisdiksi, sesungguhnya kebanyakan negara telah menandatangani Paris Agreement dan berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
Namun, dalam sistem internasional, kerja sama antaryurisdiksi sesungguhnya bersifat voluntary dan setiap negara memiliki kedaulatan untuk menerapkan kebijakan mitigasi perubahan iklimnya masing-masing.
Menurut penulis, negara-negara cenderung tidak menerapkan kebijakan mitigasi perubahan iklim yang ambisius karena langkah tersebut berpotensi menekan daya saing perekonomian nasional.
Contoh, jika suatu negara mengenakan pajak karbon yang tinggi, industri berpotensi memindahkan produksinya ke negara lain yang menerapkan pajak karbon rendah ataupun tidak menerapkan pajak karbon sama sekali.
Menurut Van den Bergh et al. (2020), diperlukan organisasi khusus untuk dapat mengharmonisasikan kebijakan carbon pricing yang diterapkan oleh negara-negara.
Lewat organisasi tersebut, yurisdiksi dapat bekerja sama untuk menerapkan carbon price tunggal dan memberlakukan border adjustment atas barang impor dari negara-negara yang tidak tergabung dalam organisasi.
Kerja sama internasional semacam ini tidak hanya meminimalisasi friksi dagang antaryurisdiksi, tetapi juga mengurangi potensi penolakan publik terhadap pajak karbon.
Lantas, bagaimana dengan implementasi pajak hijau di Indonesia? Saat ini, hanya ada 2 jenis pajak yang secara khusus menyasar konsumsi energi fosil, yakni pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBB-KB) dan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas tenaga listrik.
UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) sesungguhnya telah mengamanatkan penerapan pajak karbon mulai 1 April 2022 atas PLTU batu bara.
Tarif pajak yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut adalah senilai Rp30 per kilogram CO2 ekuivalen. Namun demikian, ketentuan tersebut tidak kunjung diimplementasikan oleh pemerintah hingga saat ini.
Pemerintah lebih memilih untuk terlebih dahulu menerapkan carbon pricing lewat penyelenggaraan perdagangan karbon di bursa. Meski begitu, transaksi di bursa karbon masih sangat rendah.
Terhitung sejak September 2023 hingga April 2024, nilai transaksi di bursa karbon hanya mencapai Rp35,3 miliar dengan volume hanya sebanyak 572.064 transaksi. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.