Rizky Hadi Rachmanto
,SUATU hukum seharusnya bertujuan untuk kebaikan bersama. Hal tersebut menjadi kesimpulan mengenai konsep keadilan dalam hukum menurut Thomas Aquinas. Kalimat aslinya adalah et ideo omnis lex ad bonum commune ordinatur.
Dengan konsep itu, kebijakan seharusnya bertujuan untuk kebaikan, baik bagi pembuat maupun pihak yang mendapatkannya. Dalam konteks pajak, kebijakan yang dikeluarkan seharusnya untuk mencapai kebaikan bersama fiskus dan wajib pajak. Kebijakan yang dimaksud juga menyangkut administrasi.
Apalagi, pada saat ini, Ditjen Pajak (DJP) telah banyak melakukan pembaruan dalam sistem administrasi perpajakan. Contoh, penggantian faktur pajak menjadi e-faktur pada 2015. Kemudian, implementasi e-bupot untuk pajak penghasilan (PPh) Pasal 23.
Ada pula web e-faktur atau e-faktur 3.0. Muncul juga Surat Pemberitahuan (SPT) PPh unifikasi. Terbaru – yang masih berlangsung saat ini—pembaruan coretax system dengan target implementasi pada 2024. Berbagai perubahan administrasi menunjukkan adanya pembenahan dari DJP.
Saat ini, pengembangan sistem administrasi perpajakan yang dilakukan DJP sudah lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, pada saat ini, sistem-sistem tersebut belum sepenuhnya terhubung satu sama lain.
Contoh, sistem administrasi PPh berupa SPT PPh unifikasi serta administrasi PPN berupa e-faktur. Sejatinya, kedua sistem administrasi ini saling berkaitan tetapi tidak saling terhubung.
Dasar pemotongan yang digunakan saat pembuatan bukti potong pada SPT PPh unifikasi adalah hasil output dari e-faktur. Setiap bukti potong yang terbit sebenarnya merupakan pemotongan PPh atas penghasilan yang dilaporkan dalam e-faktur.
Terbitnya peraturan dirjen pajak pada 2021 tentang SPT Masa PPh unifikasi adalah langkah awal interkoneksi antara SPT PPh unifikasi dan e-faktur. Setiap pemungut wajib menggunakan SPT Masa PPh unifikasi mulai April 2022.
Dalam setiap pembuatan bukti potong pada SPT PPh unifikasi, pemotong wajib mencantumkan dokumen pendukung. Salah satu dokumen yang digunakan sebagai dasar pemotongan adalah faktur pajak. Hal ini menandakan sebenarnya kedua sistem ini dapat saling terhubung.
Namun demikian, interkoneksi antara kedua sistem tersebut tidaklah luput dari kendala. Kendala muncul dikarenakan tidak setiap pengusaha menerbitkan faktur pajak. Terdapat dua alasan tidak semua pengusaha menerbitkan faktur pajak.
Pertama, pengusaha tidak berstatus pengusaha kena pajak (PKP) atau non-PKP. Kedua, pengusaha melakukan penyerahan barang/jasa yang dikecualikan dari objek PPN. Apabila semua pengusaha yang melakukan penyerahan barang/jasa—baik objek maupun non-objek PPN—wajib menerbitkan faktur pajak, kendala tersebut akan dapat teratasi.
Dalam penerapannya, diperlukan kode faktur tertentu untuk menjembatani pembuatan faktur pajak atas penyerahan barang/jasa bukan objek PPN dan penyerahan barang/jasa oleh non-PKP. Dengan demikian, atas semua penyerahan barang/jasa yang dilakukan oleh pengusaha dapat diterbitkan faktur pajak.
Faktur pajak ini nantinya dapat menjadi dokumen dasar dalam pemotongan PPh yang memiliki kredibilitas tinggi. Hal ini dikarenakan faktur pajak dilaporkan pada e-faktur dan mendapat persetujuan dari DJP. Selain itu, untuk memungkinkan interkoneksi antara kedua sistem, perlu ada penyelarasan aturan pada bidang PPh dan PPN.
SISTEM perpajakan akan lebih komprehensif apabila kedua sistem ini nantinya dapat terhubung. Fungsi kontrol akan terbentuk dengan adanya interkoneksi. Dalam pembuatan bukti potong, kesalahan identitas akan terminimalisasi karena adanya kontrol dari e-faktur.
Wajib pajak tak perlu khawatir lagi dengan risiko tidak dapat mengkreditkan pajak karena mendapat bukti potong dengan identitas yang salah. Pemotong pun juga tak perlu khawatir jika nantinya salah memasukkan identitas saat menerbitkan bukti potong.
Adanya interkoneksi akan mampu menurunkan cost pengawasan dan pemeriksaan. Account representative (AR) pengawas dan pemeriksa tidak perlu lagi meminta rekonsiliasi antara pendapatan dan bukti potong. Hal ini dikarenakan setiap bukti potong yang terbit atas nama wajib pajak dapat dilakukan trace back secara langsung dalam sistem e-faktur.
Selain itu, interkoneksi juga dapat dilakukan untuk meminimalkan terbitnya bukti potong fiktif. Bagi wajib pajak, hal ini juga akan bermanfaat karena akan menghemat cost waktu mengingat fungsi kontrol sudah dialihkan melalui sistem.
Sudah saatnya kita menghilangkan persepsi bahwa satu sistem berdiri sendiri dan terlepas dari sistem lainnya. Sadar atau tidak, dalam satu proses bisnis, sejatinya sistem-sistem yang ada di dalamnya akan saling berhubungan. Satu sistem akan mampu dikontrol oleh sistem lainnya, begitupun sebaliknya.
Suatu sistem yang efektif tidak mungkin dapat berdiri sendiri. Sistem-sistem yang ada butuh koneksi dan integrasi. Hal ini juga berlaku di dalam sistem administrasi perpajakan. Apabila sistem dapat saling terhubung, akan tercipta kontrol yang baik dan nantinya mampu mewujudkan kebaikan bersama.
Dalam hal ini, akan tercapai kebaikan bersama antara fiskus dan wajib pajak, sesuai keadilan menurut Thomas Aquinas.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Gagasan yang menarik dan solutif. 👍🏼
keren gan ide & gagasannya.. sangat solutif..
gagasan yg menarik. tks.
wow thanks gan wawasannya sangat menarik dan solutif advicenya. menambah insight sekali
sangat menarik dan membuka wawasan. good job 👍
artikel yg menarik. tks sharingnya