Tax Researcher DDTC Dea Yustisia (kiri) bersama moderator Maria Santini Roja dalam talk show bertajuk ‘Development of Corporation Tax in Indonesia’ pada Rabu (26/6/2019). (Foto: DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews – Penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 25% menjadi 20% – seperti yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani – harus dilakukan secara hati-hati. Apalagi, hingga saat ini, PPh korporasi masih berperan besar dalam total penerimaan pajak penghasilan nonmigas.
Hal ini disampaikan Tax Researcher DDTC Dea Yustisia saat menjadi pembicara dalam talk show bertajuk ‘Development of Corporate Tax in Indonesia’ pada hari ini, Rabu (26/6/2019). Kegiatan ini diadakan Sekolah Tinggi Perpajakan Indonesia (STPI) bekerja sama dengan DDTC.
“Reformasi pajak di berbagai negara itu menganut prinsip perluasan basis dan penurunan tarif. Jadi, jangan sampai tarif diturunkan, tapi basis pajaknya tidak diperluas. Apalagi, PPh badan masih berperan cukup besar di Indonesia,” jelasnya di depan 100 pesertatalk show.
Seperti diketahui, PPh badan masih mengambil porsi lebih dari 35% terhadap total penerimaan PPh nonmigas. Adapun porsi PPh nonmigas pada tahun lalu mencapai 52,2% dari total keseluruhan realisasi penerimaan pajak Indonesia.
Dia mengakui memang ada tren penurunan tarif PPh badan, terlebih setelah ada reformasi pajak Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. Banyak negara ikut berupaya memakai instrumen pajak untuk meningkatkan daya saing. (lihat bahasan mengenai daya saing ini di Indonesia Taxation Quarterly Report Q1-2019.)
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam laporan terbarunya bertajuk ‘Corporate Tax Statistics’ edisi pertama mencatat rata-rata tarif PPh korporasi pada 94 yurisdiksi turun dari 28,6% pada 2000 menjadi 21,4% pada 2018.
Pada 2018, hanya kurang dari 20% yurisdiksi yang memiliki tarif PPh badan lebih besar atau sama dengan 30%. Hal ini menunjukkan penyusutan dari porsi pada 2000 yang mencapai 60%. Adapun tarif PPh badan di Indonesia juga turun dari 30% pada 2000 menjadi 25% pada 2018.
Menurutnya, tren yang terjadi secara global ini memang perlu mendapat perhatian. Namun, pemerintah tetap perlu berhati-hati dan tidak reaktif membandingkan dengan negara lain, terutama Singapura. Ada berberapa perbedaan situasi dan kondisi negara yang membuat perlunya pendekatan yang berbeda.
Menurutnya, aspek yang paling krusial sebelum menurunkan tarif PPh badan yakni jaminan perluasan basis pajak. Apalagi, penurunan tarif akan menggerus penerimaan dalam jangka pendek. Perluasan basis pajak ini bisa dilakukan dengan menambah wajib pajak baru, objek pajak baru, maupun memperkuat anti penghindaran pajak.
Tren global dari sisi pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) juga bisa dipertimbangkan. Dea mengatakan dalam 10 tahun terakhir, ada tren kenaikan tarif PPN di negara-negara Uni Eropa. Namun, dia mengatakan kenaikan dari sisi PPN juga masih berisiko mengerek inflasi di tingkat konsumen.
Lebih dari itu, dia mengatakan pajak hanyalah bagian dari banyak faktor yang mempengaruhi daya saing Indonesia dalam menarik investasi. Tren perekonomian global juga harus menjadi pertimbangan pemerintah mengingat saat ini perebutan dana di tingkat global cukup ketat.
“Dari sisi pajak, terkait dengan daya saing ini bisa juga dilakukan pembenahan dari sisi administrasi sehingga ada kepastian bagi investor. Bagaimana menurunkan sengketa pajak, dan lainnya,” jelas Dea.
Sekadar informasi, acara ini dibuka langsung oleh Wakil Ketua III STPI Adam Anang. Talk show ini menjadi bagian dari rangkaian acara tax competition yang memuat agenda cerdas cermat dan debat. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
😇😇😇😇😇😇😇😇
<p>Thanksss</p>