Lambang Wiji Imantoro
,DESAIN kebijakan perpajakan di Indonesia masih lebih condong menargetkan sektor formal sebagai penyumbang dana pembangunan lewat pendapatan negara. Seperti diketahui selama ini, sektor informal sulit dijangkau, bahkan muncul istilah hard-to-tax. Dengan besarnya sektor informal dalam struktur perekonomian, pada gilirannya, upaya untuk mendongkrak penerimaan pajak cukup menantang.
International Labour Organization (ILO) mendefiniskan sektor informal sebagai pekerjaan yang tidak tercatat dalam sistem resmi, tidak dikenakan pajak, dan sering kali tidak memberikan jaminan sosial bagi pekerjanya. Di beberapa negara berkembang, sektor informal bahkan menyumbang lebih dari 50% dari total output ekonomi suatu negara (Schneider et al., 2010).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sepanjang 2023, dari 146,62 juta total angkatan kerja nasional, sebanyak 83,34 juta orang (60,12%) di antaranya terserap ke sektor informal. Dalam sebuah penelitian, 93% usaha di Indonesia bersifat informal (Rothenberg et al., 2016). Sayangnya, kontribusi sektor informal yang besar terhadap perekonomian tidak berbanding lurus dengan pajaknya.
Seperti yang diungkapkan pada awal tulisan ini, penerapan pajak pada sektor informal bukanlah perkara mudah. Banyak aktivitas ekonomi di sektor informal yang tidak memiliki pencatatan atau dokumentasi yang memadai. Tanpa catatan transaksi yang jelas, sulit bagi otoritas pajak untuk menentukan jumlah penghasilan yang dapat dikenakan pajak.
Sektor informal juga biasanya beroperasi di luar kerangka regulasi resmi. Selain itu, para pelaku usaha pada sektor informal biasanya tidak memiliki pengetahuan atau akses yang memadai terhadap informasi kewajiban perpajakan. Realitas ini diperparah dengan adanya kecenderungan beberapa pihak yang seolah merawat eksistensi sektor informal untuk keuntungan sebagian kelompok.
Dalam penelitiannya, Djakop et al. (2002) menyatakan bahwa sektor formal sering kali memperoleh manfaat dari keberadaan sektor informal. Perusahaan di sektor formal pada umumnya memiliki koneksi politik yang kuat. Mereka akan menggunakan kekuatan ini untuk memengaruhi pemerintah dalam mendorong pembuatan kebijakan yang mendukung keberadaan sektor informal.
Mengapa demikian? Sebagian perusahaan di sektor formal menjalin hubungan subkontrak dengan perusahaan informal dengan tujuan untuk menurunkan biaya operasional mereka (Castells dan Portes, 1989). Caranya dengan memindahkan pekerjaan yang memerlukan banyak tenaga kerja kepada perusahaan informal yang tidak terikat peraturan ketenagakerjaan dan hukum lainnya.
Menilik kompleksitas yang ada, muncul pendapat bahwa transisi sektor informal menjadi formal adalah solusi yang ideal. Namun, faktanya tidak demikian. Kompleksitas sistem perpajakan serta aturan menyebabkan proses kepatuhan menjadi sulit, bahkan membingungkan. Kompleksitas ini juga menimbulkan efek domino berupa peningkatan biaya kepatuhan pajak.
Hal itulah yang menyebabkan banyak pelaku sektor informal menjalankan transisi ke sektor formal. Pertanyaannya, mungkinkah memajaki sektor informal?
KENDATI disebut hard-to-tax, bukan berarti sektor informal sama sekali tidak dapat dipajaki. Berbagai strategi dan kebijakan dapat diadopsi untuk mengatasi kesulitan ini. Perlu digarisbawahi bahwa kesulitan untuk memajaki sektor informal tidak lepas dari adanya compliance gap dan policy gap. Untuk itu, strateginya bisa berangkat dari kedua permasalahan (gap) tersebut.
Dalam konteks permasalahan compliance gap, bila merujuk pada berbagai literatur, ada dua cara yang dapat dilakukan. Pertama, mendorong kepatuhan yang bersifat sukarela (voluntary). Kedua, mendorong kepatuhan dengan cara memaksa (enforce). Kali ini, penulis akan lebih fokus pada strategi terkait dengan voluntary compliance yang lebih berkelanjutan.
Sebagai langkah awal menangani compliance gap, pemerintah wajib terlebih dahulu meningkatkan transparansi. Hal ini dilakukan dengan menekankan keterbukaan dan kejelasan dalam sistem perpajakan. Misalnya, cara pajak dikumpulkan, dikelola, hingga digunakan.
Tujuannya adalah meningkatkan voluntary compliance di kalangan wajib pajak sektor informal. Banyak wajib pajak, tak terkecuali pelaku usaha pada sektor informal, memiliki persepsi negatif terhadap pajak. Hal ini terutama jika mereka merasa bahwa pajak yang dibayarkan tidak dikelola dengan baik atau tidak kembali ke masyarakat dalam bentuk layanan publik nyata.
Selanjutnya, pemerintah juga dapat mengintegrasikan antara kepatuhan pajak dan kemudahan akses terhadap jaminan sosial. Di beberapa negara maju, seperti Prancis, Swedia, dan Belanda, sering kali menghubungkan kepatuhan pajak dengan akses ke jaminan sosial, seperti tunjangan kesehatan, pensiun, atau asuransi pengangguran.
Insentif tersebut rupanya dapat mendorong kesadaran dari para pelaku usaha informal untuk mendaftar dan berkontribusi ke sistem pajak. Hal ini dikarenakan mereka melihat manfaat langsung dari kepatuhan pembayaran pajak tersebut.
Pemerintah juga perlu menggencarkan pemberian insentif yang berbasis pada pelatihan dan pengembangan kapasitas pelaku UMKM atau pelaku usaha sektor informal lainnya yang telah mendaftar ke sektor formal.
Untuk praktik ini, pemerintah bisa belajar dari Cile lewat program Chile Emprende yang menyediakan pelatihan, bimbingan, dan dukungan bisnis bagi usaha kecil terdaftar. Usaha yang telah terdaftar secara formal nantinya dapat mengakses pelatihan manajemen dan bantuan pemasaran yang semuanya dirancang untuk meningkatkan keberhasilan usaha formal.
Kemudian, dalam konteks policy gap, pemerintah dapat mendorong digitalisasi transaksi. Pengurangan transaksi secara tunai pada akhirnya menekan celah tidak terlacaknya suatu aktivitas. Di negara-negara berpenghasilan tinggi, hampir semua transaksi dilakukan secara digital sehingga lebih mudah bagi otoritas pajak untuk melacaknya.
Selanjutnya, pemerintah dapat mengupayakan simplifikasi aturan perpajakan, terutama bagi para pelaku UMKM yang mayoritas berada di informal. Pemberian tarif pajak final sesuai dengan klasifikasi usaha masing-masing dapat dipertimbangkan. Pemerintah dapat berguru pada Inggris, terutama mengenai skema flat rate VAT. Inggris menyederhanakan pelaporan pajak bagi para pelaku UMKM dengan menetapkan persentase pajak berdasarkan pada sektor usahanya.
Pada akhirnya, berbagai usulan kebijakan tersebut diharapkan mampu mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor informal. Terobosan kebijakan diperlukan mengingat presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran, menjanjikan adanya peningkatan rasio pendapatan negara menjadi sebesar 23% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Pemerintah tentunya wajib mengkaji terlebih dahulu seluruh ide tersebut secara matang agar penerapannya dapat menciptakan keadilan bagi para pelaku usaha di sektor informal. Sudah saaatnya berhenti memandang sebelah mata sektor informal. Kontribusi besar mereka terhadap perekonomian harus diimbangi dengan kontribusi mereka pada peningkatan penerimaan negara.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.