KETIKA kebijakan fiskal diandalkan dalam menghadapi krisis ekonomi, pemerintah mau tidak mau harus memilih prioritas yang sering kali saling mengorbankan satu sama lain.
Ya, relaksasi pajak jelas dibutuhkan agar perekonomian menjadi lebih kompetitif dan investasi masuk. Di sisi lain, penerimaan pajak juga perlu dioptimalkan untuk membiayai belanja pemerintah yang ditujukan bagi masyarakat. Lantas, mana yang lebih penting?
John Toye, profesor di University of London menegaskan keduanya harus sama-sama dioptimalkan. Ketimbang melihat relaksasi pajak dan optimalisasi penerimaan pajak sebagai dua hal bertentangan, ahli pembangunan ini menyarankan agar pemerintah jeli dalam memilih timing serta aspek pajak mana yang perlu ditingkatkan dan mana yang perlu diberi insentif.
Strategi tersebut diuraikan dalam publikasi ilmiahnya yang berjudul ‘Fiscal Crisis and Fiscal Reform in Developing Countries’ terbitan Cambridge Journal of Economics. Perspektif yang digunakan adalah pajak perlu diletakkan dalam kerangka fiskal yang lebih luas, seperti sumber penerimaan lainnya, belanja modal pemerintah, subsidi, dan lain-lainnya.
Kuncinya adalah mengurangi beban fiskal pada masyarakat paling terdampak dan mengarahkan kontribusi fiskal dari golongan masyarakat atau perusahaan yang relatif masih dapat bertahan. Dengan demikian, pajak menjadi instrumen kolektif masyarakat dalam menghadapi masa ekonomi yang berat bersama-sama.
Hal ini dapat dibenarkan sesuai dengan ucapan Toye dalam jurnalnya sebagai berikut: “… the poor have to pay the profligacy (pemborosan) of the rich”. Menurutnya, ketika terjadi masa ekonomi yang berat, ekuilibrium distribusi belanja pemerintah yang dinikmati oleh seluruh masyarakat berubah. Sebab, pada masa sulit, belanja pemerintah yang dinikmati oleh masyarakat berpenghasilan tinggi merupakan suatu kesia-siaan.
Namun, terdapat langkah kebijakan selanjutnya, yaitu mengurangi beban pajak tertentu untuk mengundang investasi yang sama pentingnya dengan belanja pemerintah. Dengan terbatasnya kemampuan pemerintah untuk membangun ekonomi melalui belanja langsung, lebih baik insentif pajak yang selektif diberikan untuk menstimulus investasi riil sehingga membantu meningkatkan produktivitas ekonomi dan penciptaan tenaga kerja.
Terakhir, untuk meningkatkan penerimaan pajak, Toye menyarankan adanya perluasan basis pajak penghasilan orang pribadi yang dinilainya masih sangat kurang di negara-negara berkembang. Proporsi penerimaan pajak orang pribadi terhadap produk domestic bruto (PDB) di negara berkembang jauh lebih kecil ketimbang di negara maju.
Meski tidak disebutkan secara spesifik, objek pajak penghasilan seharusnya diperluas seperti di negara-negara maju. Dia menilai hal tersebut tidak akan menurunkan insentif seseorang untuk lebih produktif.
Selanjutnya, modernisasi sistem pajak penghasilan nilai (PPN) juga menjadi hal yang vital. Selain berpotensi menyumbang penerimaan yang tinggi, PPN juga dinilai tidak mendistorsi pilihan seseorang untuk melakukan konsumsi. Apalagi, menurutnya, korupsi pajak di PPN lebih mudah dimonitor dan dicegah ketimbang jenis pajak lainnya.
Pemikiran John Toye dalam jurnal tersebut sangat menarik untuk disimak. Meskipun tidak masuk ke dalam saran praktis kebijakan pajak, dia memberikan perspektif pajak dalam kerangka fiskal yang lebih luas. Perspektifnya akan tetap relevan untuk dijadikan acuan studi kebijakan dalam menjaga ketahanan fiskal yang seimbang tetapi tetap kompetitif. *
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.