RESENSI JURNAL

Perbedaan Peraturan Transfer Pricing di Zimbabwe dan Indonesia

Redaksi DDTCNews | Senin, 02 Agustus 2021 | 13:00 WIB
Perbedaan Peraturan Transfer Pricing di Zimbabwe dan Indonesia

ZIMBABWE merupakan salah satu negara di Afrika yang mengharuskan wajib pajak untuk melakukan dokumentasi transfer pricing. Namun demikian, terdapat beberapa perbedaan dan isu yang timbul terkait dengan peraturan transfer pricing yang diterapkan di Zimbawe.

Perbedaan perihal peraturan transfer pricing tersebut dibeberkan Simbarashe Hamudi, Manajer Tax Matrix, melalui artikelnya berjudul Transfer Pricing in Zimbabwe. Adapun artikel tersebut diterbitkan oleh Tax Notes International.

Secara garis besar, peraturan transfer pricing di Zimbabwe mirip dengan yang diterapkan di Indonesia. Hal ini tercermin dari prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, metode transfer pricing, serta konten dalam dokumen transfer pricing yang harus diaplikasikan wajib pajak. Perbedaan signifikan terdapat pada sanksi serta threshold wajib pajak yang harus melakukan dokumentasi transfer pricing.

Baca Juga:
Mengapa TP Doc Perlu Dibuat Sejak Awal Tahun? Cermati Alasannya

Lebih lanjut, undang-undang terkait transfer pricing di Zimbabwe terus berkembang pada beberapa tahun terakhir ini. Pada tahun lalu, Zimbabwe mengeluarkan peraturan terbaru dengan bantuan African Tax Administrator Forum (ATAF).

Peraturan tersebut mewajibkan wajib pajak Zimbabwe untuk menyertakan dokumen transfer pricing dalam SPT PPh Badan. Komisioner dapat meminta dokumen tersebut kapan saja dan dokumen harus diberikan 7 hari setelah tanggal permintaan untuk mencegah pengenaan sanksi.

Berdasarkan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebelum terjadi perubahan melalui UU Cipta Kerja, wajib pajak Indonesia akan menerima denda senilai Rp1 juta jika tidak menyertakan dokumentasi transfer pricing pada saat penyerahan SPT.

Baca Juga:
PMK 172/2023: Mengapa Pendekatan Ex-Ante Penting bagi Wajib Pajak?

Lalu, kenaikan denda sebesar 50% jika ditegur secara tertulis, tetapi tetap tidak disampaikan oleh wajib pajak, atau bunga 2% per bulan apabila wajib pajak melakukan penyerahan lebih dari jangka waktu atau tidak menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.

Sementara itu, wajib pajak Zimbabwe diancam mendapatkan sanksi progresif sebesar 10%, 30%, dan 100% tergantung jenis pelanggaran yang dilakukan oleh wajib pajak.

Sesungguhnya, lingkup sanksi yang dihadapi wajib pajak Zimbabwe lebih sempit ketimbang Indonesia. Pemerintah Indonesia masih memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk memenuhi kewajiban dokumentasi transfer pricing hingga teguran tertulis, sebelum dikenakan sanksi secara berat.

Baca Juga:
Meski Bukan Mandatory, Indonesia Dinilai Perlu Adopsi Pilar 1 Amount B

Selain itu, pada 2019, Zimbabwe Revenue Authority (ZIMRA) menetapkan peraturan bahwa seluruh wajib pajak yang melakukan transaksi dengan pihak afiliasi harus melakukan dokumentasi transfer pricing. Namun, tidak seluruh entitas yang berada dalam yurisdiksi Indonesia harus mendokumentasikan transfer pricing.

Entitas yang diwajibkan untuk melakukan dokumentasi transfer pricing, baik dokumen lokal, induk, maupun laporan per negara hanyalah entitas yang memuhi threshold yang ditetapkan dalam Pasal 2 pada Peraturan Menteri Keuangan No. 213/2016.

Ditetapkannya treshold tersebut sejalan dengan prinsip pajak kelayakan/convenience yang wajib dipungut di Indonesia bahwa pemerintah mempertimbangkan layak atau tidaknya wajib pajak dikenai pajak dengan melihat kemampuan self assesment dan membayar pajak dari wajib pajak yang bersangkutan.

Baca Juga:
Ini Sebab Isu Transfer Pricing Makin Krusial dalam Pemeriksaan Pajak

Penulis berpendapat terdapat beberapa isu yang timbul dari peraturan transfer pricing yang diterapkan di Zimbabwe. Munculnya isu-isu tersebut, terutama disebabkan oleh peraturan transfer pricing Zimbabwe yang lebih fokus di ranah domestik ketimbang internasional.

Pertama, peraturan terkait dengan pencegahan penghindaran pajak yang berlaku memberikan wewenang yang berlebihan kepada komisioner umum untuk melakukan penyesuaian jika wajib pajak tidak menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atau tidak merefleksikan harga pasar dalam transaksi afiliasi yang dilakukan.

Kedua, transaksi yang dilakukan dalam satu yurisdiksi dengan tarif pajak dan kondisi yang sama tidak memungkinkan untuk terjadinya profit shifting yang menguntungkan wajib pajak Zimbabwe. Ketiga, dokumentasi transfer pricing membutuhkan biaya yang cukup besar.

Baca Juga:
Bisakah Otoritas Pajak Lakukan Koreksi atas Restrukturisasi Bisnis?

Biaya tersebut akan menjadi beban operasional tersendiri untuk wajib pajak berskala kecil dan menengah yang merupakan sebagian besar wajib pajak Zimbabwe. Kondisi tersebut diperburuk dengan tidak adanya threshold dalam penentuan wajib pajak yang harus melakukan dokumentasi transfer pricing.

OECD Guidelines menyatakan perpajakan pada setiap negara harus dapat memberikan keseimbangan antara peraturan dokumentasi transfer pricing dan biaya ekspektasi, serta biaya adminstrasi yang harus ditanggung oleh wajib pajak. Hal ini dikarenakan prinsip utama perpajakan adalah menyediakan biaya kepatuhan yang wajar dan tidak merugikan wajib pajak.

Sebagai catatan akhir, perkembangan peraturan telah memberikan kepastian dalam lingkup transfer pricing di Zimbabwe. Namun, beberapa isu praktikal yang merugikan wajib pajak dan ZIMRA harus diselesaikan dengan diskusi antar pihak.

Baca Juga:
Kuasai Transfer Pricing dari Dasar, Ikuti Pelatihan Intensif Batch 30!

ZIMRA perlu untuk mengkaji ulang kebutuhan dokumentasi transfer pricing untuk transaksi domestik mengingat biaya tinggi yang harus ditanggung sebagian besar wajib pajak yang merupakan perusahaan berskala kecil dan menengah. Pemerintah Zimbabwe juga perlu untuk membentuk threshold jika ingin mempertahankan penerapan peraturan transfer pricing untuk transaksi domestik.

*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya di sini.

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 17 Oktober 2024 | 15:33 WIB DDTC EXCLUSIVE GATHERING 2024

Mengapa TP Doc Perlu Dibuat Sejak Awal Tahun? Cermati Alasannya

Senin, 07 Oktober 2024 | 10:11 WIB DDTC ACADEMY - INTENSIVE COURSE

PMK 172/2023: Mengapa Pendekatan Ex-Ante Penting bagi Wajib Pajak?

Kamis, 03 Oktober 2024 | 19:08 WIB INTERNATIONAL TAX CONFERENCE 2024

Meski Bukan Mandatory, Indonesia Dinilai Perlu Adopsi Pilar 1 Amount B

Kamis, 03 Oktober 2024 | 18:00 WIB INTERNATIONAL TAX CONFERENCE 2024

Ini Sebab Isu Transfer Pricing Makin Krusial dalam Pemeriksaan Pajak

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja