KONSULTASI PAJAK

Pajak atas Penghasilan Properti Ekspat di Negara Asalnya

Senin, 24 Oktober 2016 | 15:01 WIB
Pajak atas Penghasilan Properti Ekspat di Negara Asalnya

Riyhan Juli Asyir,
DDTC Consulting

Pertanyaan:

PERUSAHAAN kami yang berkedudukan di Jakarta memiliki perjanjian kerja dengan ekspatriat yang berasal dari Belanda, sebut saja Mr. X.

Mr. X telah bekerja pada perusahaan kami selama kurang lebih 2 (dua) tahun dan telah diperpanjang untuk 1 (satu) tahun ke depan demi memenuhi ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia.

Baru-baru ini kami mengetahui bahwa Mr. X memiliki beberapa apartemen di Belanda untuk disewakan kepada pihak lain. Sebagai informasi tambahan, Mr. X memiliki rumah tinggal dan seluruh anggota keluarganya (istri dan anak) bertempat tinggal di Belanda.

Di Indonesia, Mr. X bertempat tinggal di apartemen sewaan yang kami biayai. Bagaimana seharusnya perlakuan pajak atas penghasilan sewa apartemen yang diterima Mr. X tersebut di Indonesia?

Lucia, Jakarta.

Jawaban:

TERIMA kasih Ibu Lucia atas pertanyaannya. Secara prinsip, pajak atas penghasilan diatur ketentuannya dalam 2 (dua) jenis peraturan, yakni peraturan perundang-undangan PPh domestik dan perjanjian bilateral di mana dalam ranah perpajakan dikenal dengan sebutan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Dalam ketentuan Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) jo. Pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 Tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (PP 94/2010), P3B berlaku khusus (lex specialist) terhadap undang-undang domestik. Artinya ketentuan dalam P3B lebih didahulukan dari ketentuan domestik.

Status Subjek Pajak

Tahap pertama dalam mengetahui perlakuan pajak atas penghasilan Mr. X adalah dengan mengetahui terlebih dahulu mengenai status subjek pajak dalam negeri (tax resident) dari Mr. X.

Melihat fakta Mr. X telah bekerja di perusahaan Ibu selama 2 (dua) tahun dan telah diperpanjang lagi untuk 1 (satu) tahun ke depan, maka menurut Pasal 2 ayat (3) huruf a UU PPh jo. Pasal 3 ayat (1) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 43/PJ/2011 Tentang Penentuan Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri (PER-43/2011), Mr. X adalah subjek pajak dalam negeri (tax resident) Indonesia.

Sebagai tax resident Indonesia, Mr. X terutang pajak atas penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia (worldwide income). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh jo. Pasal 4 ayat (3) PER-43/2011.

Kemudian di sisi ketentuan domestik Belanda (Article 4 Wet Inkomstenbelasting 2001), tidak ada definisi tegas mengenai kriteria tax resident untuk orang pribadi. Tax resident orang pribadi Belanda ditentukan tergantung dari fakta dan keadaan.

Fakta dan keadaan untuk menentukan status tax resident Belanda tersebut antara lain seperti keberadaan permanent home, lokasi di mana pasangan atau anaknya tinggal, lokasi hubungan personal dan ekonomi (lokasi pekerjaan), dan lain sebagainya (misal Mr. X dan/atau keluarganya menerima jaminan sosial dari Belanda).

Dari fakta bahwa Mr. X memiliki permanent home dan juga keluarga di Belanda (centre of vital interest), maka Mr. X juga memenuhi kriteria sebagai tax resident Belanda.

Dengan fakta tersebut, Mr. X mengalami kondisi dual tax resident sehingga sangat besar kemungkinan terjadinya pengenaan pajak berganda atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya.

Penyelesaian Dual Tax Resident

Sebagaimana diketahui, Indonesia dan Belanda memiliki P3B yang ditandatangani pada tanggal 29 Januari 2002 dan masih berlaku hingga saat ini. Pada Pasal 4 ayat (1) P3B Indonesia-Belanda memberikan keleluasan bagi Indonesia dan Belanda untuk menentukan definisi tax resident dari hukum domestik masing-masing negara.

Kemudian apabila terjadi kondisi dual tax resident, Pasal 4 ayat (3) mengatur mengenai tiebreaker rules guna memecahkan masalah terjadinya dual tax resident tersebut, dengan urutan penggunaan tiebreaker rules sebagai berikut:

  1. Keberadaan tempat tinggal tetap (permanent home);
  2. Keberadaan center of vital interests;
  3. Kebiasaan berdiam (habitual abode);
  4. Persetujuan bersama (mutual agreement).

Tiebreaker rules yang pertama yaitu terkait dengan keberadaan permanent home. Definisi permanent home tidak diatur secara jelas baik di dalam ketentuan domestik Indonesia dan Belanda maupun di dalam P3B. Di dalam OECD Model Tax Convention on Income and on Capital (OECD MTC) pada commentary atas Pasal 4 ayat (2), dikatakan bahwa:

“13. As regards the concept of home, it should be observed that any form of home may be taken into account (house or apartment belonging to or rented by the individual, rented furnished room). But the permanence of the home is essential; this means that the individual has arranged to have the dwelling available to him at all times continuously, and not occasionally for the purpose of a stay which, owing to the reasons for it, is necessarily of short duration (travel for pleasure, business travel, educational travel, attending a course at a school, etc.).”

Dikarenakan Mr. X memiliki rumah pribadi di Belanda, maka Mr. X memiliki memiliki permanent home di Belanda. Kemudian dikarenakan Mr. X disewakan apartemen untuk tujuan kerja di Indonesia, maka Mr. X memiliki permanent home di Indonesia. Oleh karena itu tahap pertama tiebreaker rules belum menyelesaikan masalah dual tax resident Mr. X.

Kemudian tahap kedua tiebreaker rules adalah keberadaan center of vital interests. Commentary OECD MTC menjelaskan center of vital interests sebagai:

“15. If the individual has a permanent home in both Contracting States, it is necessary to look at the facts in order to ascertain with which of the two States his personal and economic relations are closer. Thus, regard will be had to his family and social relations, his occupations, his political, cultural or other activities, his place of business, the place from which he administers his property, etc. The circumstances must be examined as a whole, but it is nevertheless obvious that considerations based on the personal acts of the individual must receive special attention. If a person who has a home in one State sets up a second in the other State while retaining the first, the fact that he retains the first in the environment where he has always lived, where he has worked, and where he has his family and possessions, can, together with other elements, go to demonstrate that he has retained his centre of vital interests in the first State.”

Berdasarkan pengertian center of vital interests tersebut, Mr. X dapat dikatakan memiliki center of vital interests di negeri Belanda karena:

  1. Mr. X memiliki keluarga di Belanda dan tidak di Indonesia (personal relations);
  2. Mr. X memiliki penghasilan baik di Belanda maupun di Indonesia (economic relations).

Dengan demikian Mr. X adalah tax resident Belanda. Oleh karena itu terkait penghasilan Mr. X dari sewa apartemen di Belanda, maka penghasilan tersebut sepenuhnya dipajaki di Belanda yang berlaku ketentuan Income Tax Act Belanda. Mr. X tidak memiliki kewajiban perpajakan di Indonesia.

Demikian jawaban kami. Semoga membantu Ibu Lucia. ()

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 19 Desember 2024 | 17:30 WIB KONSULTASI PAJAK

Begini Perlakuan PPh bagi Lessor Atas Kegiatan Leasing

Kamis, 05 Desember 2024 | 17:30 WIB KONSULTASI PAJAK

PPh Dipotong Lebih Banyak dari Seharusnya, Bisa Ajukan Restitusi?

Selasa, 03 Desember 2024 | 12:05 WIB KONSULTASI CORETAX

‘Saya Tidak Paham Coretax Sama Sekali, Bisa Belajar di Mana?’

BERITA PILIHAN