Ilustrasi. Kantor Pusat Ditjen Pajak.
PAJAK 100%. Jika memasukkan kata kunci tersebut pada mesin pencarian di Twitter, Anda akan melihat cuitan dari akun sejumlah kantor pajak. Cuitannya serupa, yakni mengumumkan kinerja penerimaan pajak yang sudah mencapai target.
Hingga pertengahan bulan ini, ada lebih dari 60 kantor pelayanan pajak (KPP) yang sudah mencatatkan capaian penerimaan pajak 100% dari target. Selain itu, ada 2 kantor wilayah (Kanwil) yang juga mencatatkan realisasi penerimaan sesuai dengan target yang ditetapkan.
Tentu saja kinerja ini patut diapresiasi. Terlebih, dari sisi pengelolaan fiskal, ada kebutuhan konsolidasi setelah defisit anggaran melampaui 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) sejak 2020. Kinerja penerimaan pajak 100% menjadi sinyal positif.
Tidak mengherankan jika otoritas optimistis target nasional tahun ini bisa tercapai. Secara nasional, target penerimaan pajak dalam APBN 2021 senilai Rp1.229,6 triliun. Jika target ini tercapai, setidaknya ada pertumbuhan 14,69% dari realisasi pada 2020 senilai Rp1.072,1 triliun.
Namun, kita tidak bisa melepaskan konteks pertumbuhan itu terjadi setelah penerimaan pajak pada tahun lalu mencatatkan kontraksi. Penerimaan pajak pada 2020 tercatat turun 19,55% dibandingkan kinerja pada 2019 senilai Rp1.332,7 triliun. Artinya, ada efek technical rebound pada tahun ini.
Sinyal pemulihan yang cukup kuat menjelang akhir tahun ini diharapkan berlanjut pada tahun depan. Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa kuat pemulihan yang terjadi? Apakah kenaikan itu sifatnya berkelanjutan?
Yang dapat dipastikan adalah jika realisasi penerimaan pajak tahun ini 100%, target yang ada dalam APBN 2022 bisa dikatakan tidak sulit untuk dicapai. Dengan asumsi realisasi tahun ini senilai Rp1.229,6 triliun, target pada 2022 senilai Rp1.265,0 triliun hanya mengharuskan pertumbuhan 2,88%.
Belum lagi ada faktor implementasi Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disebut-sebut akan memberikan tambahan penerimaan. Hasil penghitungan pemerintah, akan ada tambahan penerimaan minimal Rp130 triliun.
Salah satu andalan kebijakan dalam UU HPP sudah dapat dipastikan adalah program pengungkapan sukarela (PPS). Telebih, untuk pengungkapan harta perolehan 2016—2020, wajib pajak orang pribadi juga harus mencabut beberapa permohonan seperti restitusi, keberatan, dan banding.
Tidak mengherankan jika berdasarkan pada penghitungan pemerintah, pertumbuhan penerimaan pajak pada tahun depan cukup signifikan hingga double digit. Namun, mulai 2023, pertumbuhan kembali melambat dengan kecenderungan naik tiap tahunnya.
Pertanyaan selanjutnya, apakah hasil kalkulasi pemerintah itu cukup optimistis? DDTC FRA memproyeksi walaupun target penerimaan pajak dalam APBN 2022 akan tercapai, jumlahnya diprediksi tidak akan melebihi penghitungan pemerintah dari dampak UU HPP senilai Rp1.401,3 triliun.
DDTC FRA memprediksi penerimaan pajak 2022 akan berada pada kisaran angka Rp1.298,6 triliun hingga Rp1.359 triliun. Artinya, berdasarkan outlook yang disusun dengan proyeksi ekonometri serta pola prediksi, pertumbuhan penerimaan pajak 2022 sekitar 5,6% hingga 10,5% dari target APBN 2021.
Terlepas dari itu, jika tidak ada perubahan target, capaian pajak 100% dari target sepertinya akan terulang pada tahun depan. Namun, perlu diingat, ada andil kebijakan satu waktu yang juga berperan. Oleh karena itu, penjagaan keberlanjutan positifnya kinerja perlu diupayakan.
Penjagaan itu tentu saja berkaitan dengan masalah fundamental tentang kepatuhan pajak yang sudah ada sebelum pandemi terjadi. Reformasi yang melibatkan teknologi informasi diharapkan terus berlanjut. Tentu semua berharap torehan realisasi pajak 100% tidak berhenti hanya sampai tahun depan. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.