TAJUK PAJAK

Orientasi Bukan pada Penerimaan Pajak

Redaksi DDTCNews | Selasa, 16 November 2021 | 11:43 WIB
Orientasi Bukan pada Penerimaan Pajak

Ilustrasi.

BERPIJAK dari masalah ketidakadilan, pemerintah mengatur ulang ketentuan pajak atas natura dan/atau kenikmatan. DPR pun menyetujuinya. Pengaturan ulang menjadi salah satu poin perubahan UU Pajak Penghasilan (PPh) melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Dalam pengaturan sebelumnya, natura dan/atau kenikmatan bukan biaya bagi pemberi kerja dan bukan penghasilan bagi pegawai penerima. Imbalan dalam bentuk barang selain uang serta hak atas pemanfaatan fasilitas atau pelayanan dikecualikan dari objek pajak bagi penerimanya.

Sayangnya, menurut pemerintah, natura dan/atau kenikmatan yang bukan merupakan objek pajak cenderung dinikmati high level employee. Mereka cenderung menerima tambahan tunjangan di luar gaji berupa uang. Contohnya seperti mobil, rumah, akomodasi pariwisata, dan biaya pendidikan.

Baca Juga:
Catat! Pengkreditan Pajak Masukan yang Ditagih dengan SKP Tak Berubah

Ketidakadilan muncul ketika pegawai lain yang hanya menerima gaji berupa uang. Tentu saja penghasilan itu merupakan objek pajak. Atas penghasilan yang diterima, otomatis terutang pajak. Inilah yang menjadi salah satu pertimbangan pemerintah.

Dalam ketentuan yang baru, pada prinsipnya natura dan/atau kenikmatan dapat dibiayakan oleh pemberi kerja dan merupakan penghasilan bagi penerima. Secara umum, kebijakan menjadi lebih adil karena apapun bentuk penghasilannya akan menjadi objek pajak.

Tentu saja argumentasi untuk memunculkan keadilan tidak terlepas dari potensi peningkatan penerimaan pajak. Apalagi, layer tarif PPh orang pribadi diubah. Salah satunya dengan menambah layer tarif tertinggi sebesar 35%. Kita tahu juga, tarif PPh badan sudah turun dari 25% menjadi 22%.

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Perbedaan tarif yang cukup besar memang berpotensi memengaruhi pilihan perilaku dan keputusan bisnis wajib pajak. Imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lebih menguntungkan bagi wajib pajak daripada dalam bentuk tunai. Kondisi itu juga telah ditangkap pemerintah.

Robert Turner dari Colgate University, dalam tulisan Fringe Benefits di Urban Institute, menyatakan banyak ekonom dan pakar pajak percaya efisiensi dan pemerataan akan meningkat dengan adanya fringe benefit tax. Potensi penerimaan pajak dalam jumlah besar juga dapat ditingkatkan.

Dari sini kita juga tidak bisa melepaskan konteks konsolidasi fiskal yang berjalan. Upaya untuk mengembalikan defisit anggaran di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) perlu dukungan pajak. Pemajakan atas natura dan/atau kenikmatan bisa jadi salah satu yang dioptimalkan.

Baca Juga:
Apa Itu Barang Tidak Kena PPN serta PPN Tak Dipungut dan Dibebaskan?

Mungkin perlu hitungan lebih lanjut mengenai besaran potensinya. Namun, seharusnya hal itu seharusnya bukan pertimbangan utama pemerintah. Artinya, potensi penerimaan seharusnya tidak menjadi fokus utama dalam mereformasi sistem pajak terkait dengan natura dan/atau kenikmatan.

Fokus yang tepat akan menentukan kebijakan final. Apalagi, UU PPh s.t.d.d UU HPP juga masih memberikan pengecualian dari objek pajak atas beberapa jenis natura dan/atau kenikmatan. Ketentuan teknis lebih lanjut juga akan dijabarkan dalam aturan turunan.

Dengan memegang fokus pertimbangan dan tujuan kebijakan yang tepat, pemerintah diharapkan juga akan tepat – meskipun tidak ideal – dalam menentukan ketentuan teknis. Robert Turner menyatakan salah satu alasan fringe benefit keluar dari basis pajak adalah kekhawatiran atas kompleksitas administrasi untuk memasukkan nilai sebagai bagian dari penghasilan kena pajak.

Baca Juga:
Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Avery Katz dan Gergory Mankiw, dalam tulisannya berjudul How Should Fringe Benefits be Taxed? menyatakan terdapat 3 alasan perusahaan memberikan natura kepada pekerja. Pertama, natura dapat berkontribusi bagi produktivitas perusahaan.

Kedua, natura berupa produk sampingan perusahaan dapat memberikan manfaat tambahan bagi pekerja untuk memperoleh produk dengan biaya lebih rendah daripada harga ritel. Ketiga, natura dipakai untuk praktik penghindaran pajak.

Bisa jadi ada alasan lain dari perusahaan. Namun, yang jelas, dari berbagai indikasi alasan tersebut, pemangku kebijakan harus bisa meramu ketentuan yang tepat. Jangan sampai, kebijakan baru ini justru mendistorsi, bahkan menambah beban pelaku usaha.

Pemilahan kriteria natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek pajak perlu dilakukan dengan hati-hati. Perlu dipastikan juga apakah natura dan/atau kenikmatan itu berdampak pada kegiatan usaha atau hanya bermanfaat bagi penerima. Kembali lagi, orientasinya pada keadilan, bukan penerimaan. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra