Mohamad Komarudin
,PESTA demokrasi pemilihan langsung presiden dan wakil presiden yang rutin diselenggarakan lima tahun sekali sudah usai. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan presiden dan wakil presiden terpilih periode 2024-2029, yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Keduanya mengucap sumpah/janji pada 20 Oktober 2024.
Masyarakat sudah menanti eksekusi atas berbagai janji politik yang telah disampaikan pada masa kampanye. Salah satu janji politik yang dimaksud terkait dengan pendapatan negara. Keduanya menjanjikan rasio pendapatan negara sebesar 23% terhadap produk domestik bruto (PDB). Oleh karena itu, kenaikan tax ratio harus dilakukan karena pajak mendominasi pendapatan negara.
Dalam rangkaian debat pada masa kampanye, Prabowo-Gibran menargetkan kenaikan tax ratio untuk menambah ruang fiskal. Beberapa strateginya terkait dengan digitalisasi. Terlebih, otoritas pajak tengah mengembangkan coretax administration system (CTAS). Kemudian, ada rencana ekstensifikasi dan intensifikasi pajak.
Tidak dimungkiri, untuk mengerek tax ratio, pemerintah perlu extraordinary effort. Apalagi, berdasarkan pada laporan Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2024 yang diterbitkan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), tax ratio Indonesia – tanpa menyertakan iuran jaminan sosial dalam penghitungan – pada 2022 hanya sebesar 11,5%.
Angka tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan tax ratio negara-negara tetangga di Kawasan Asean, seperti Malaysia (11,8%), Vietnam (13,5%), Filipina (15,6%), dan Thailand (16,0%). Namun, menurut penulis, hal tersebut tidak serta-merta menggambarkan rendahnya kemampuan negara Indonesia dalam mengumpulkan penerimaan dibandingkan dengan negara-negara lain.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab masih belum optimalnya pengumpulan pajak, salah satunya adalah struktur ekonomi di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tiga lapangan usaha kontributor utama perekonomian Indonesia pada kuartal II/2024 adalah industri pengolahan (18,52%); pertanian, kehutanan, dan perikanan (13,78%); dan perdagangan (12,9%).
Besarnya kontribusi beberapa sektor terhadap PDB tersebut ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan sumbangsihnya pada penerimaan pajak. Contoh, penerimaan dari pertanian ternyata tidak masuk dalam daftar delapan sektor yang menjadi kontributor terbesar. Adapun kontributor terbesar dalam penerimaan pajak adalah industri pengolahan, yakni 25,29% (Kemenkeu, 2024).
Tidak sejalannya kontribusi sektor pertanian terhadap ekonomi (PDB) dan penerimaan pajak ternyata juga dialami beberapa negara lain. Meskipun menjadi sektor utama pendorong perekonomian, pertanian mempunyai sejumlah pengecualian dalam kebijakan perpajakan. Upah atau penghasilan yang diterima pekerja pada sektor ini juga rendah (Mawejje and Sebudde, 2019).
Penulis berpendapat kebijakan perpajakan – dengan sejumlah pengecualian – yang ada saat ini memang sudah sepatutnya diberikan pada sektor pertanian. Mengapa? Karena sektor ini merupakan salah satu penopang hajat hidup orang banyak sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang. Namun, perlu terobosan agar sektor pertanian juga berkontribusi optimal pada pendapatan negara.
Dalam jangka pendek, optimalisasi penerimaan dari sektor pertanian dapat difokuskan pada pengawasan profit atau laba atau pendapatan dari pelaku usaha di sektor pertanian (PPh Pasal 25/29 badan dan orang pribadi). Hal ini dikarenakan jenis pajak dominan pada sektor lain, seperti PPN dan PPh Pasal 21 tidak berkontribusi banyak pada sektor ini.
Kurang optimalnya PPN dikarenakan beberapa hasil pertanian merupakan barang tidak kena pajak. Barang hasil perkebunan, seperti sawit, merupakan produk ekspor dengan tarif 0%. Kemudian, untuk PPh Pasal 21, penghasilan pekerja di sektor pertanian relatif lebih rendah dibandingkan sektor lain (di bawah batas penghasilan tidak kena pajak/PTKP). Dengan demikian, profit atau penghasilan dari pelaku usaha pertanian merupakan pos yang masih mungkin digali lebih optimal.
Pada tahun ketiga sampai kelima periode pemerintahan Prabowo-Gibran, kebijakan dapat diperluas dengan mengkaji kembali jenis barang atau jasa terkait dengan sektor pertanian yang masih layak mendapatkan fasilitas pembebasan PPN maupun insentif lainnya.
Saat ini sudah berlaku PMK 89/2020 yang mengatur tentang dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain untuk barang hasil pertanian tertentu. PMK ini mengakomodasi dicabutnya pembebasan PPN pada beberapa barang hasil pertanian. Nilai DPP lain dapat kembali disesuaikan dengan mempertimbangkan kinerja dari sektor pertanian.
SELAIN permasalahan terkait dengan sektor pertanian, ada tantangan dominasi UMKM dalam perekonomian Indonesia. Kondisi ini juga memengaruhi rendahnya kinerja tax ratio. Terlebih, pemerintah menerapkan kebijakan PPh final 0,5% untuk pelaku UMKM (omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar). Kebijakan ini diambil untuk mempermudah penghitungan kewajiban perpajakan UMKM.
Hal tersebut dapat dipahami mengingat mayoritas pelaku UMKM merupakan sektor informal yang selama ini tidak tertangkap sistem administrasi. Namun, kebijakan ini secara tidak langsung membuat adanya potensi penerimaan yang hilang.
Pengawasan terhadap omzet yang dilaporkan secara self-assessment dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan tanpa tersedianya data pembanding, memungkinkan adanya potential loss dari kebijakan tersebut.
Untuk itu, diperlukan kebijakan pelaporan omzet setiap bulan secara online. Selain bentuk tertib administrasi, skema ini dapat membantu otoritas untuk memantau pelaporan omzet wajib pajak dan pooling data pembelian/perolehan dari UMKM apabila bertransaksi dengan pengusaha kena pajak (PKP). Data ini bisa digunakan sebagai pembanding kewajaran omzet penjualan.
Terkait dengan pengawasan, pemerintah baru dapat melakukan optimalisasi pengawasan transfer pricing. Pengawasan transaksi afiliasi, terutama utang-piutang, masih mempunyai celah dari sisi kepastian hukum. Meskipun sudah ada ketentuan PP 94/2010 yang mengatur piutang kepada pemegang saham yang tidak dikenakan bunga, masih terdapat utang-piutang afiliasi selain itu.
Dalam praktiknya tidaklah mudah untuk menerapkan ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU PPh pada utang dan piutang afiliasi. Hal ini disebabkan belum pastinya nilai bunga yang akan diterapkan untuk semua transaksi afiliasi tersebut.
Oleh karena itu, perlu diatur lebih lanjut melalui aturan turunan undang-undang agar terdapat kepastian hukum. Sebagaimana lazimnya utang-piutang pada transaksi yang wajar dan lazim, terdapat bunga sebagai imbalan. Kebijakan ini diharapkan dapat menambah potensi penerimaan negara. Harapannya, upaya peningkatan pendapatan negara dapat tercapai.
Akankah target pendapatan negara 23% terhadap PDB dapat tercapai? Jangan sampai hal ini hanyalah sebuah ambisi tanpa amunisi.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.