Ferry
,PAJAK berperan penting dalam pembangunan, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia. Sejak 2009, lebih dari 70% pendapatan negara dalam APBN berasal dari penerimaan pajak. Kendati demikian, rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio Indonesia masih belum optimal.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) melalui Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2023 melaporkan tax ratio Indonesia masih berada pada kisaran 10,1%-12,2% selama periode 2009−2021. Capaian ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata tax ratio negara-negara Asia-Pasifik (18,6%-20,5%), bahkan negara-negara OECD (31,5%-34,1%).
Untuk meningkatkan rasio pajak, Ditjen Pajak (DJP) telah melakukan berbagai upaya. Salah satu upaya tersebut berupa edukasi perpajakan. Contoh, kampanye ‘Sejuta Uang Pajak: Bisa Buat Apa Saja?’. Dalam kampanye ini, otoritas menyampaikan informasi mengenai alokasi belanja negara atas sejuta uang pajak, baik yang dilakukan pemerintah pusat maupun daerah.
Namun demikian, penulis melihat pendekatan tersebut masih kurang efektif dalam menciptakan kesadaran pajak yang lebih luas pada masyarakat. Untuk itu, penulis mengusulkan adanya tiga pendekatan edukasi perpajakan yang dapat dipertimbangkan oleh otoritas. Ketiga pendekatan edukasi perpajakan ini lebih efektif dan relevan dengan kondisi Indonesia saat ini.
Pertama, memahami demografi penduduk Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 60% penduduk Indonesia merupakan angkatan kerja produktif yang lahir antara 1981 hingga 2001 atau dikenal sebagai generasi Y. Pemerintah perlu untuk mempertimbangkan karakteristik generasi ini.
Studi menunjukkan bahwa generasi Y memiliki beberapa keunggulan, seperti ketangguhan, kemampuan beradaptasi, kecerdasan visual yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya, serta kenyamanan dalam menganalisis gambar multidimensi daripada sekadar teks (Oblinger dan Oblinger, 2005).
Kemudian, berdasarkan sifat manusia yang cenderung mulai menghargai sesuatu hanya jika sudah kehilangan (Bennett, 2016), penulis mengusulkan edukasi perpajakan Indonesia dengan pendekatan ‘seandainya’ atau ‘what if scenario’.
Misal, apa jadinya jika kita tidak memiliki anggaran untuk sekolah anak-anak? Apa jadinya jika kita tidak memiliki anggaran untuk pusat kesehatan masyarakat? Apa jadinya jika kita tidak memiliki anggaran untuk pembangunan jalan umum?
Pendekatan ini dapat membantu masyarakat memahami peran sentral pajak dalam kehidupan sehari-hari dan kontribusinya langsung pada kesejahteraan mereka. Tujuannya untuk membangkitkan kesadaran tentang pentingnya pajak melalui ilustrasi konsekuensi dari absennya dana publik karena tidak ada pajak
Kedua, mencari hal-hal yang dekat dengan masyarakat. Manusia cenderung lebih mudah memahami hal-hal yang dekat dan relevan dengan kehidupannya sendiri. Hal ini berkaitan dengan peristiwa, kejadian, atau pengalaman yang dialami sendiri dan/atau orang sekitarnya, bukan di tempat lain yang jauh (Carnegie, 1936).
Analogi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti iuran Rukun Tetangga (RT), dapat menjadi contoh. Iuran RT yang dikumpulkan secara kolektif untuk kebersihan, keamanan, dan kesehatan lingkungan dapat disandingkan dengan pajak. Iuran RT dalam konteks yang lebih luas itu berupa pajak yang dikembalikan dalam bentuk penyediaan fasilitas publik seperti jalan, sekolah, dan rumah sakit.
Dengan menggunakan contoh yang dekat dan relevan ini, masyarakat dapat lebih mudah memahami bahwa pajak bukanlah beban. Pajak pada akhirnya dapat dipahami sebagai kontribusi warga negara untuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas yang mereka nikmati sehari-hari.
Ketiga, mengubah persepsi pajak sebagai sebuah hak istimewa (privilege). Hal ini sesuai dengan konsep ‘membangun negara’ yang dijelaskan Deborah Bräutigam, Profesor ekonomi politik di Universitas John Hopkins, Amerika Serikat, dalam bukunya berjudul Taxation and State-Building in Developing Countries.
Dia menekankan pentingnya dukungan masyarakat luas, termasuk media massa, organisasi masyarakat, dan organisasi keagamaan, dalam proses membangun negara. Hal ini menjadi aspek penting selain kepemimpinan yang adaptif dan organisasi pemerintahan yang solid.
Partisipasi masyarakat dalam membayar pajak memungkinkan mereka untuk menuntut akuntabilitas pemerintah dalam menyediakan layanan publik yang lebih baik (Bräutigam, 2008). Persepsi pajak perlu diubah dari kewajiban yang dipaksakan menjadi hak istimewa yang memungkinkan masyarakat berkontribusi langsung dalam proses pembangunan negara.
Seperti yang dikatakan Bräutigam, "The process is called state-building for a reason: people build states, and maintain them." Melalui pemahaman ini, masyarakat akan lebih termotivasi untuk membayar pajak karena mereka melihatnya sebagai bentuk kontribusi langsung terhadap pembangunan dan kesejahteraan bersama.
Pada akhirnya, pajak tentang bagaimana setiap warga negara dapat berkontribusi dalam membangun masa depan bersama. Edukasi perpajakan yang efektif tidak hanya menanamkan kesadaran, tetapi juga mampu mengubah cara pandang masyarakat terhadap peran pajak dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Dengan pendekatan yang lebih relevan dan personal, masyarakat diharapkan bisa lebih memahami bahwa setiap rupiah pajak yang mereka bayarkan adalah investasi dalam pendidikan anak-anak, kesehatan masyarakat, serta pembangunan infrastruktur yang mereka nikmati.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.