Wahyu Eka Nurisdiyanto
,INDONESIA tengah menghadapi krisis kualitas udara sehat. Buruknya kualitas udara terungkap dalam laporan Air Quality Life Index (AQLI) 2023 yang dikeluarkan oleh University of Chicago, AS pada akhir Agustus 2023 lalu berdasarkan data polusi udara global pada 2021.
Penelitian tersebut menyebutkan bahwa angka harapan hidup penduduk Indonesia berkurang 1,4 tahun akibat pencemaran partikel di bawah 2,5 mikron atau PM 2,5. Tingkat pencemaran PM 2,5 mencapai 8,8 mikron per meter kubik pada 2021. Angka tersebut jauh di atas standar aman yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu sejumlah 5 mikron per meter kubik.
Polusi udara dan dampak buruknya yang signifikan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan menjadi isu yang sangat krusial dalam beberapa dekade terakhir. Negara-negara di dunia bersama-sama mencari solusi atau langkah mitigasi atas perburukan kualitas udara.
Salah satu upaya penanganan yang perlu disiapkan adalah konsep sustainability terhadap dua sektor utama penyumbang terbesar pencemaran udara, yakni industri dan transportasi.
Konsep sustainability atau keberlanjutan adalah sebuah gagasan yang memastikan penggunaan sumber daya, apa pun bentuknya, untuk kebutuhan manusia tidak dilakukan secara berlebihan sehingga kegiatan-kegiatan yang membutuhkan sumber daya tersebut dapat dijalankan terus menerus atau berkelanjutan.
Idealnya, konsep sustainability ini menekankan pada prinsip zero emission (nol emisi) dan zero waste (nol limbah) dalam aspek lingkungan hidup, serta zero inequality (nol ketidaksetaraan) dalam aspek ekonomi dan sosial.
Tak hanya para pegiat lingkungan yang harus menyuarakan dengan lantang tentang urgensi konsep sustainability, tetapi seluruh lapisan masyarakat memiliki tanggung jawab moral yang sama. Isu tersebut semestinya menjadi perhatian utama bagi pemerintah dan masyarakat demi keberlanjutan peradaban di masa depan.
Pajak untuk Menjaga Lingkungan
Spesifik di lingkup pemerintah, otoritas pajak memiliki andil yang besar dalam memitigasi pencemaran lingkungan melalui konsep sustainibility. Pajak harus dimanfaatkan fungsinya sebagai instrumen regulerend (pengatur).
Sembari menunggu implementasi pajak karbon sesuai dengan amanat Undang-Undang 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada 2025 mendatang, pemerintah perlu menyiapkan regulasi lanjutan tentang teknis penerapannya.
Guna menyusun aturan teknis pajak karbon, pemerintah perlu membentuk tim penilai khusus yang bertugas mengukur tingkat emisi karbon setiap industri secara akurat. Tim yang terdiri dari perwakilan otoritas pajak dan akademisi ini diharapkan bisa memastikan implementasi pajak karbon tepat sasaran, khususnya terhadap industri yang belum berhasil menerapkan konsep sustainibility dalam proses bisnisnya.
Tidak hanya sampai di situ, penerapan pajak karbon sebagai bagian dari pajak lingkungan harus dikawal melalui pengawasan dari pemerintah serta lembaga independen yang kompeten. Pengawasan perlu dilakukan secara ketat guna menghindari celah penyelewengan.
Pemerintah perlu menerapkan prinsip polluter pays (pencemar membayar), mitigasi, dan kehati-hatian dalam pemungutan pajak karbon. Jika ketiga prinsip itu dijalankan, kebijakan fiskal bisa menjadi instrumen yang optimal untuk menjaga lingkungan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.