LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Meningkatkan Kapasitas Otoritas Pajak

Redaksi DDTCNews | Jumat, 13 September 2024 | 15:11 WIB
Meningkatkan Kapasitas Otoritas Pajak

Elam Sanurihim Ayatuna,
Kota Depok – Jawa Barat

PADA Oktober 2024, Indonesia memasuki era baru dalam kepemimpinan nasional di bawah presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran. Pasangan ini diharapkan mampu membawa perubahan dan inovasi dalam berbagai sektor, termasuk sektor pajak. Terlebih, pajak menjadi penyumbang terbesar dari pendapatan negara.

Prabowo-Gibran sendiri menargetkan rasio pendapatan negara sebesar 23% terhadap produk domestik bruto (PDB). Adapun pada 2023, realisasi pendapatan negara sekitar 13,3% terhadap PDB. Kinerja rasio penerimaan pajak – yang mendominasi pendapatan negara – terhadap PDB (tax ratio) nyatanya hanya sebesar 10,31% pada 2023.

Walau penerimaan pajak selama 2021-2023 melampui target, tax ratio Indonesia masih tergolong rendah. Dalam Revenue Statistics in Asia and the Pacific (OECD, 2024), tax ratio Indonesia pada 2022 sebesar 12,1%. Capaian ini cenderung lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata tax ratio Asia Pasifik (19,3%), bahkan anggota OECD (34,0%).

OECD turut menyertakan social security contribution (SSC) atau iuran jaminan sosial dalam penghitungan tax ratio tersebut. Bila pembayaran SSC tidak diperhitungkan, tax ratio Indonesia pada 2022 hanya sebesar 11,5%. Artinya, upaya untuk meningkatkan kinerja tax ratio masih menjadi pekerjaan rumah Indonesia, termasuk di bawah Prabowo-Gibran.

Adapun salah satu strategi yang patut dilaksanakan untuk mengerek tax ratio berupa peningkatan kapasitas otoritas pajak, yakni Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Agar kapasitas otoritas pajak meningkat, ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan, yakni kelembagaan, sumber daya manusia, dan anggaran.

Pertama, peningkatan agility kelembagaan otoritas pajak. Pemerintah sering dianggap kurang gesit dalam merespons perubahan dan dinamika pajak. Salah satu penyebabnya adalah otoritas pajak kurang mampu untuk merestrukturisasi unitnya sesuai perkembangan proses bisnis wajib pajak.

Misalnya, untuk menambah atau mengubah struktur suatu kantor pelayanan pajak, perlu koordinasi panjang antara Kementerian Keuangan – sebagai unit yang menaungi DJP – dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). Hal serupa terjadi pula dalam penambahan atau perubahan jabatan spesialisasi tertentu di otoritas pajak.

Padahal, proses bisnis wajib pajak pada era digital ini berubah dengan sangat cepat. Oleh karena itu, pemerintahan baru perlu meningkatkan kegesitan birokrasi kelembagaan otoritas pajak. Tujuannya tidak lain lagi adalah agar otoritas pajak mampu segera merespons dinamika ekonomi wajib pajak.

Kedua, peningkatan kapasitas petugas pajak. Otoritas pajak saat ini memiliki sekitar 45.000 pegawai yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun, jumlah ini masih dianggap kurang, terutama mengingat Indonesia memiliki lebih dari 200 juta penduduk dengan potensi wajib pajak yang sangat besar.

Sebagai perbandingan, Jepang sebagai negara maju dengan luas wilayah dan penduduk yang lebih kecil justru memiliki pegawai pajak lebih banyak. Jumlahnya ada lebih dari 56.000 orang pada 2021. Contoh lain, Amerika Serikat memiliki pegawai pajak sebesar 80.000-an orang dan China mempunyai 755.000-an orang pegawai otoritas pajak (OECD, 2024).

Selain itu, menurut data Laporan Tahunan DJP Tahun 2022, proporsi pegawai yang bekerja di fungsi utama (core) DJP hanya sekitar 60%. Kemudian, sebanyak 40% sisanya masih berada di fungsi pendukung (supporting). Padahal, rata-rata proporsi pegawai otoritas pajak dunia terdiri atas 70% fungsi utama dan 30% fungsi pendukung.

Kesenjangan proporsi fungsi tersebut memang akibat kurangnya jumlah pegawai. Untuk itu, diperlukan peningkatan jumlah serta penyesuaian proporsi pegawai otoritas pajak. Sekali lagi, tujuannya agar lebih banyak pegawai otoritas yang terlibat langsung dalam tugas-tugas inti pajak itu sendiri.

Terakhir, peningkatan anggaran. Berdasarkan pada data OECD (2021), cost of collection atau biaya pemungutan pajak di Indonesia saat ini hanya sekitar 0,5%. Performa ini lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Australia yang memiliki cost of collection mencapai sekitar 0,9%. Negara tetangga, Malaysia, memiliki cost of collection sebesar 1,8%.

Biaya ini merupakan jumlah pengeluaran untuk otoritas pajak dibandingkan dengan penerimaan pajak secara keseluruhan. Indikator ini biasanya dipakai untuk melihat efisiensi pemungutan pajak. Di sisi lain, indikator ini juga bisa dilihat untuk membandingkan alokasi anggaran yang diberikan untuk otoritas sebagai pemungut mayoritas pendapatan negara tersebut.

Dalam konteks tersebut dapat dilihat bahwa alokasi anggaran untuk otoritas pajak masih belum optimal. Negara-negara dengan tingkat penerimaan pajak yang tinggi biasanya memiliki anggaran yang cukup besar untuk otoritas pajaknya.

Anggaran ini dapat digunakan untuk pengembangan teknologi informasi, pelatihan SDM, dan berbagai program peningkatan kepatuhan wajib pajak. Oleh karena itu, investasi pemerintah dalam bentuk peningkatan anggaran untuk otoritas pajak sangat diperlukan untuk mencapai target tax ratio yang diinginkan.

Ketiga aspek peningkatan kapasitas otoritas pajak tersebut merupakan bagian utama yang dapat menjadi pertimbangan Prabowo-Gibran. Mencapai rasio pendapatan negara sebesar 23% terhadap PDB merupakan sebuah tantangan besar. Namun, hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil bagi Indonesia, terutama bila otoritas pajak diperkuat.

Dengan komitmen kuat dari pemerintahan baru serta dukungan penuh dari masyarakat, optimalisasi penerimaan pajak yang signifikan dapat diwujudkan. Peningkatan kapasitas kelembagaan, optimalisasi sumber daya manusia, dan alokasi anggaran yang tepat akan menjadi kunci utama untuk mencapai tujuan ini.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

BERITA PILIHAN