Caezar Putra Shidqie
,REVOLUSI industri 4.0 tengah berlangsung pada saat ini. Hal ini ditandai dengan makin banyaknya perkembangan kecanggihan teknologi yang turut membantu manusia lewat berbagai kegiatan. Contoh, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan mesin robot otomatis yang dapat membantu dalam operasional aktivitas bisnis.
Kendati demikian, perkembangan ini turut menyisakan dilema bagi sejumlah pihak. Kecanggihan teknologi yang terus muncul tentu sangat menguntungkan banyak pihak. Di sisi lain, ada potensi tergantikannya tenaga kerja manusia dengan robot. Hal ini dikhawatirkan berdampak pada kenaikan angka pengangguran, bahkan kriminalitas, di tengah momentum bonus demografi.
PwC memperkirakan otomatisasi secara umum – termasuk perkembangan AI, robot, dan teknologi lainnya – akan menggantikan sekitar sepertiga pekerjaan pada 2030 mendatang. McKinsey juga mengestimasi pada 2030, kurang lebih 375 juta lapangan kerja secara global perlu melakukan transisi ke jenis pekerjaan baru karena otomatisasi.
Dari sudut pandang penerimaan negara, pergeseran penggunaan tenaga kerja manusia menjadi robot otomatis bisa berisiko memangkas potensi pajak. Hal ini terjadi karena adanya pengurangan jumlah tenaga kerja yang berdampak pada penurunan basis pendapatan negara, terutama penerimaan pajak penghasilan (PPh).
Atas fenomena tersebut, Bill Gates dalam Quartz (2017) mengemukakan gagasan tentang pajak robot. Dia berpendapat seiring dengan otomatisasi yang menggantikan pekerjaan manusia, perusahaan pengguna robot seharusnya dikenai pajak. Hasil dari pengenaan pajak robot itu dapat digunakan untuk mendanai pekerjaan di bidang lain, seperti perawatan lansia atau pendidikan.
Meskipun tidak secara eksplisit mendukung gagasan pajak robot yang diutarakan Bill Gates, Pendiri Tesla Elon Musk juga mendukung adanya ide mitigasi pengaruh negatif otomatisasi terhadap pekerjaan manusia. Dia sering berbicara mengenai universal basic income (UBI) sebagai tanggapan atas pengurangan pekerjaan akibat otomatisasi.
Jika melihat skema yang muncul akibat dampak negatif yang ditimbulkan, penulis berpendapat hal ini sejalan dengan konsep pigouvian tax. Kebijakan dimunculkan untuk menekan eksternalitas negatif dari penggunaan sesuatu dalam aktivitas manusia. Dalam konteks ini, ada eksternalitas negatif dari otomatisasi, misalnya hilangnya lapangan pekerjaan.
Salah satu negara yang sudah mempunyai respons kebijakan atas masifnya otomatisasi adalah Korea Selatan. Pada 2017, terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mencapai 1,7 juta orang di negara ini. Salah satu respons atas fakta ini adalah skema disinsentif biaya pengurang atas otomatisasi dari sebelumnya 7% dipangkas menjadi sekitar 2%.
Skema kebijakan itu diambil guna menjaga kestabilan lapangan pekerjaan yang terpengaruh perkembangan teknologi. Langkah ini tidak secara eksplisit disebut sebagai pajak robot, tetapi lebih berupa pengurangan insentif yang diberikan untuk investasi teknologi otomatis. Namun, kebijakan ini dinilai memiliki efek yang serupa dengan pengenaan pajak robot (Bottone, 2018).
PERTANYAANNYA, bagaimana jika skema pajak robot diterapkan di Indonesia? Menurut penulis, ada sejumlah tahapan yang cukup kompleks jika ingin menerapkan skema kebijakan ini. Salah satu aspek vital yang perlu dikaji adalah subjek pajak atas pemajakan robot. Dalam UU PPh, robot tidak termasuk ke dalam subjek pajak.
Hal tersebut pada gilirannya memunculkan pertanyaan lanjutan, subjek pajak mana yang bertanggung jawab atas pemajakan tersebut? Bagaimana pula pendefinisian dari robot dan otomatisasi itu sendiri? Berbagai aspek ini perlu dipertimbangkan oleh pengambil kebijakan di Tanah Air.
Opsi lainnya adalah pengenaan pajak atas robot dan otomatisasi dalam konteks pajak pertambahan nilai (PPN) atau pajak atas barang dan jasa tertentu (PBJT). Namun demikian, untuk menerapkan skema ini, perlu ada pemberian status dalam hukum atas robot dan otomatisasi tersebut.
Kemudian, opsi lain berupa adopsi skema pigouvian tax karena eksternalitas negatif yang ditimbulkan, yakni ancaman terhadap kesejahteraan tenaga kerja manusia. Pigouvian tax dapat disamakan dengan pajak karbon. Artinya, pajak dikenakan pada pemilik robot otomatis yang dipergunakan, baik perusahaan maupun individu.
Pada intinya, kebijakan pajak atas robot dan otomatisasi ini perlu dipertimbangkan pemerintah baru di bawah presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran. Terlebih, penggunaan mesin robot otomatis dalam sejumlah pekerjaan makin marak. Contoh, robot pramusaji restoran, mesin parkir otomatis, hingga robot dalam operasi kesehatan.
Dalam konteks Indonesia, kebijakan pajak atas robot dan otomatisasi ini juga sejalan dengan upaya pemerintah menekan angka pengangguran yang mencapai 7,2 juta jiwa per Februari 2024. Apalagi, dalam momentum bonus demografi, ada kenaikan jumlah penduduk usia produktif.
Selain itu, kebijakan tersebut juga akan menambah penerimaan negara dari pajak karena bertambahnya sumber pemungutan pajak. Kemudian, pajak atas robot dan otomatisasi ini juga dapat berkontribusi meningkatkan pendapatan per kapita dan menjaga stabilitas kesejahteraan masyarakat (Gasteiger dan Prettner, 2020).
Pemerintah Indonesia juga dapat melakukan earmarking dari penerimaan pajak atas robot. Hal ini dapat dilakukan dengan mengalokasikan dana penerimaan pajak tersebut untuk membiayai sejumlah program yang mendukung peningkatan mutu pendidikan, lapangan pekerjaan, dan keterampilan tenaga kerja manusia di Indonesia.
Dengan hal ini, lahir tenaga kerja profesional yang dapat bersaing dengan perkembangan teknologi yang berpotensi menggantikannya. Karenanya, kebijakan ini dapat menjadi pertimbangan mengingat ada dampak kepada sejumlah aspek yang menyangkut kesejahteraan masyarakat, penerimaan negara, dan rasio pajak. Selain itu, kebijakan ini diharapkan dapat menjaga kestabilan penggunaan robot otomatisasi dalam sejumlah pekerjaan dan kestabilan lapangan pekerjaan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Such a great idea for the next government period. Salah satu ide yg menurut sy applicable buat menekan angka pengangguran di Indonesia. Ya, balik lagi, sesuai sm yg ditulis di artikel, bisa jadi pr sendiri utk menentukan status hukum dr robot dan otomatisasi itu sendiri dan entitas mn yang menanggung tax burdennya.
Pajak terkait robot memang jarang ada yang bahas. Thank you for bringing the topic up because the government should take a loon further on the tax regulation
Wah, pajak atas robot ini ternyata menarik untuk dibahas & artikel ini sukses membahasnya secara rinci!