Arkan Sulafah Saputra
,PENINGKATAN arus urbanisasi pada wilayah perkotaan di Indonesia menimbulkan masalah yang tidak bisa dihindari, yaitu kepadatan penduduk. Masalah tersebut pada akhirnya bisa memunculkan dampak negatif mulai dari kemacetan, polusi udara, hingga efek rumah kaca.
Pemerintah perlu membangun infrastruktur publik untuk menanggulangi dampak negatif dari kepadatan penduduk. Salah satunya menyangkut sarana transportasi untuk menguraikan kemacetan dan meningkatkan aksesibilitas masyarakat.
Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri, pembangunan infrastruktur publik membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dana yang berasal dari APBN juga tidak akan cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Alternatif pembiayaan dibutuhkan. Land value capture (LVC) dapat menjadi salah satu alternatif pembiayaan pembangunan infrastruktur. LVC merupakan kebijakan pemanfaatan peningkatan nilai tanah yang dihasilkan dari investasi, aktivitas, dan kebijakan pemerintah di suatu kawasan.
Pada prinsipnya, LVC menangkap peningkatan nilai suatu kawasan atas adanya pembangunan infrastruktur. Hasil tangkapan peningkatan nilai tersebut dapat digunakan untuk membiayai pembangunan atau pemeliharaan infrastruktur.
Sayangnya, Indonesia belum menetapkan suatu perangkat peraturan yang menjadi dasar penerapan kebijakan ini. Saat ini, wacana kebijakan mengenai LVC masih dalam tahap pembahasan di lingkup kementerian yang dipimpin oleh Kemenko Perekonomian.
Konsep LVC terbagi dalam dua kategori, yaitu LVC berbasis perpajakan dan LVC berbasis pembangunan. Berdasarkan pada hasil kajian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) pada 2019, terdapat 5 mekanisme untuk menangkap peningkatan nilai.
Pertama, penangkapan nilai melalui sistem perpajakan. Kedua, retribusi khusus. Ketiga, penjualan hak pembangunan. Keempat, implementasi kawasan berorientasi transit atau transit oriented development (TOD). Kelima, operator infrastruktur transportasi bertindak sebagai pengembang properti di kawasan sekitar infrastruktur transportasi.
LVC berbasis perpajakan merujuk pada mekanisme pertama dan kedua. Pada mekanisme pertama, pajak yang diperoleh dari peningkatan nilai suatu kawasan dapat dialokasikan secara khusus untuk membiayai pembangunan atau pemeliharaan suatu infrastruktur.
Pajak yang dapat dialokasikan untuk pembiayaan antara lain pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, pajak hotel, pajak hiburan, serta pajak reklame. Namun, karena bagian dari pajak daerah, perlu dibentuk peraturan daerah untuk mengatur mekanisme pengalokasian.
Pada mekanisme kedua, retribusi khusus dapat dikenakan kepada penerima manfaat di sekitar infrastruktur yang dibangun. Retribusi khusus di antaranya dapat berupa business rate supplement (BRS) dan biaya konektivitas.
BRS merupakan bentuk penarikan retribusi oleh pemerintah daerah. Retribusi dikenakan kepada pemilik properti di kawasan sekitar pembangunan infrastruktur. Infrastruktur yang dapat diberikan BRS harus memiliki keterkaitan dengan pertumbuhan perekonomian di wilayah sekitar infrastruktur.
Contoh penerapan BRS telah sukses dilakukan Inggris dalam proyek kereta api di Elizabeth Line. Akan tetapi, jika diterapkan di Indonesia, ketentuan undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah harus diubah untuk mengakomodasi pengenaan retribusi ini.
Pembangunan sarana transportasi otomatis memicu aktivitas perekonomian dan meningkatkan nilai suatu kawasan. Hal ini dikarenakan adanya kemudahan akses sehingga para pemilik properti secara tidak langsung mendapat manfaat atas pembangunan sarana transportasi.
Atas manfaat yang diperoleh, pemilik properti dapat dikenakan suatu biaya konektivitas untuk membiayai pembangunan infrastruktur atau membiayai operasional infrastruktur tersebut. Biaya konektivitas ini bersifat sukarela.
Operator transportasi dapat mengenakan biaya konektivitas kepada pemilik properti melalui hubungan kontraktual. Namun, tantangan dalam pelaksanaan bisa muncul. Para pemilik properti bisa jadi tidak akan menyepakati pengenaan biaya konektivitas karena merasa tidak pernah menggunakan transportasi umum. Mereka beralasan lebih sering menggunakan kendaraan pribadi.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan penggunaan skema LVC dapat mendorong iklim investasi yang memberi kenyamanan kepada pihak swasta. Kebijakan ini pada gilirannya dapat menciptakan simpul perekonomian masyarakat.
Kenyamanan dalam berinvestasi muncul karena adanya alternatif pendapatan yang ditangkap atas peningkatan nilai suatu pembangunan infrastruktur. Kebijakan ini mampu mendorong terciptanya pembangunan infrastruktur lainnya secara mandiri sehingga dapat mengurangi beban APBN.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Bagus...rangkul semua asosiasi untuk meminimalkan APBN, pertimbangkan resistensi pelaku usaha dgn kontribusi proporsional tidak general, kawal dengan pengawasan dan pemeriksaan kepatuhan yg objective, lanjut kan...
jadi ngerti
keren kan infonya!
keren
Juara ini
sangat menambah wawasan
artikel yang sangat menarik
mencerahkan
Menarik
👌 Sangat bermanfaat