“WE must collect taxes without upsetting the taxpayer. Just as the flower is not disturbed or hurt by the honeybee when it draws nectar, we should not disturb the taxpayer when we collect taxes”
Perkataan Kautilya dalam karyanya The Arthashastra 4 Abad BC, sebagaimana dikutip dalam publikasi World Bank “Risk-Based Tax Audit”, layaknya masih relevan di Abad ke-21 ini. Pemungutan pajak harus dilakukan sedemikian rupa tanpa mengganggu bisnis wajib pajak. Oleh karena itu, upaya pemungutan pajak dari otoritas pajak sebaiknya dilakukan dengan seefisien mungkin.
Voluntary compliance merupakan salah satu komponen utama dalam sistem administrasi penerimaan negara modern (Khwaja, 2011). Pentingnya voluntary compliance juga diakui oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk mencapai rasio pajak (tax ratio) yang optimal (ddtcnews, diakses 20 April 2020). Salah satu cara untuk meningkatkan voluntary compliance adalah pemeriksaan berbasis risiko atau risk based audit (Barbone, 2011).
Pada risk-based audit, tidak hanya pemilihan wajib pajak yang diperiksa, strategi atau prosedur pelaksanaan pemeriksaan pun ditentukan berdasarkan profil risiko ketidakpatuhan wajib pajak (Vellutini, 2011). Sebagian besar otoritas pajak modern setuju bahwa pemeriksaan berbasis risiko merupakan pendekatan yang tepat (Awasthi, 2011).
Dalam pelaksanaannya, risk-based audit terbukti meningkatkan keberhasilan pengumpulan pajak, membantu otoritas pajak dalam mengalokasikan sumber daya dan meningkatkan kinerja, dan menurunkan biaya kepatuhan wajib pajak (Khwaja, 2011).
Tax Control Framework untuk Risk-Based Audit
PADA tahun 2016, OECD menerbitkan “Co-operative Tax Compliance Building Better Tax Control Frameworks”. Pada publikasi tersebut, OECD memberikan panduan untuk menyusun Tax Control Framework (TCF).TCF adalah bagian dari sistem internal kontrol perusahaan yang memberikan keakuratan dan kelengkapan laporan pajak atau pengungkapan yang dilakukan wajib pajak (OECD, 2016). lebih lanjut tentang TCF, silahkan baca juga tulisan Hubungan antara Transparansi, Kepastian, dan Tax Control Framework.
OECD menguraikan enam poin krusial dari TCF, yaitu (i) dokumentasi strategi pajak, (ii) TCF telah mencakup seluruh transaksi perusahaan, (iii) TCF menggambarkan pengurus yang bertanggung jawab atas implementasi TCF, (iv) seluruh tata kelola perusahaan telah terdokumentasi, (v) telah dilakukan pengujian internal atas TCF, dan (vi) dapat memberikan tax assurance.
Kebijakan TCF telah diimplementasikan di sejumlah negara, seperti Australia, Singapura, Belanda, dan Rusia. TCF perusahaan akan diuji oleh otoritas pajak untuk memastikan kecukupan dan efektivitas sistem pengelolaan pajak perusahaan tersebut.
Dari hasil pengujian, otoritas pajak memberikan masukan kepada perusahaan untuk memperbaiki sistem pengelolaan pajaknya serta menganalisis risiko ketidakpatuhan perusahaan dan menyesuaikan pelaksanaan pemeriksaan di kemudian hari. Untuk itu, TCF wajib pajak merupakan prasyarat agar risk-based audit dapat dijalankan oleh otoritas pajak.
Implementasi di Indonesia Saat Ini
INDONESIA sebenarnya telah menerapkan risk-based audit setidaknya dari tahun 2003 dengan diaturnya Pemeriksaan Kriteria Seleksi melalui SE-01/2003. Namun demikian, pemeriksaan berbasis risiko belum sepenuhnya dilaksanakan (Hamilton-Hart dan Schulze, 2016). Ketentuan yang ada pun belum mewajibkan prosedur penilaian TCF perusahaan dan belum mengatur kriteria kualitas TCF dalam penilaian risiko ketidakpatuhan.
SE-25/1988 mengatur bahwa “Dalam mengadakan pemeriksaan, kadang-kadang oleh pemeriksa perlu diadakan penilaian terhadap sistem pengendalian intern perusahaan, karena dari sistem pengendalian intern perusahaan dapat diketahui kelemahan dalam pelaksanaan manajemen perusahaan.” Akan tetapi, ketentuan ini telah dicabut.
Di samping itu, PER-9/2010 mengatur bahwa “Bukti yang dihasilkan oleh entitas yang memiliki sistem pengendalian internal kuat memiliki validitas lebih tinggi dibandingkan bukti yang dihasilkan oleh entitas yang memiliki sistem pengendalian internal lemah.” Namun, ketentuan terkait prosedur penilaian pengendalian internal sendiri belum diatur lebih lanjut.
Di lingkup transfer pricing, SE-50/2013 mengatur kewajiban penilaian risiko penghindaran pajak. Apabila Pemeriksa menemukan risiko penghindaran pajak, Pemeriksa harus menuangkannya dalam rencana pemeriksaan dan program pemeriksaan.
Rekomendasi
TCF perusahaan seharusnya menjadi salah satu sumber data utama dalam pelaksanaan risk based audit. Sebelum pemeriksaan, perlu disediakan prosedur khusus bagi otoritas pajak untuk menguji apakah TCF perusahaan sudah cukup dan berjalan dengan benar dan konsisten.
Berdasarkan hasil pengujian, otoritas pajak dapat mengetahui profil risiko ketidakpatuhan wajib pajak untuk menyesuaikan strategi pelaksanaan pemeriksaan dan berfokus pada area high risk, yaitu area di mana TCF tidak berjalan dengan baik atau rawan perbedaan interpretasi.
Misalnya, di Rusia, semakin baik TCF perusahaan, jumlah dokumentasi yang dapat diminta oleh otoritas pajak akan semakin terbatas (Lemetyuynen dan Sergeeva, 2019). Di Australia, apabila otoritas meyakini TCF perusahaan sudah baik, kemungkinan suatu perusahaan untuk diperiksa akan semakin kecil (ATO, 2019).
Hasilnya, risk-based audit berdasarkan TCF ini diharapkan bisa mengurangi biaya kepatuhan wajib pajak, meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pemeriksaan, serta memberikan feedback langsung terhadap sistem pengelolaan pajak wajib pajak untuk perbaikan di masa mendatang. Dalam jangka panjang, kepatuhan pajak yang berkelanjutan pun dapat tercipta dengan penguatan TCF wajib pajak.
Penerbitan SE-24/2019 terkait CRM menandakan langkah konkrit otoritas pajak Indonesia untuk beralih ke pengelolaan kepatuhan wajib pajak berdasarkan manajemen risiko. Penerapan ketentuan risk-based audit dengan menggunakan TCF merupakan langkah yang harus segera diimplementasikan. Selain itu, prosedur pemeriksaan berdasarkan analisis risiko yang ada diharapkan terus dijalankan agar pemeriksaan lebih berkualitas.
Di sisi lain, diperlukan juga panduan yang jelas terkait kriteria kualitas TCF yang perlu dijalankan oleh wajib pajak. Dengan demikian, wajib pajak dapat membangun TCF berdasarkan panduan tersebut.
Kesalahan dalam pengelolaan pajak dapat memberikan pengaruh negatif yang signifikan terhadap finansial maupun reputasi perusahaan. Opini dari pihak ketiga sebagai external assurance bisa menjadi pilihan untuk memastikan TCF perusahaan telah berjalan dengan baik, sekaligus meningkatkan kredibilitas dan kepercayaan otoritas pajak maupun publik (Arummalinda, 2019). (Disclaimer)
(Disclaimer)Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.