Tiura Herlinda
,OKTOBER 2024 menjadi bulan pergantian pemerintahan karena tampuk kepemimpinan Indonesia akan dipegang oleh presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran. Keduanya juga sudah menjanjikan misi Asta Cita, program prioritas, dan program hasil terbaik cepat. Realisasinya sangat ditunggu masyarakat Indonesia.
Membersamai visi Bersama Indonesia Maju, Menuju Indonesia Emas 2045, salah satu program yang diusung menitikberatkan peningkatan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 23%. Pertanyaannya, melihat catatan historis, bagaimana cita-cita mulia di masa depan ini dapat direalisasikan?
Untuk meningkatkan rasio pendapatan negara terhadap PDB, pemerintah harus memperhatikan tax ratio. Hal ini dikarenakan penerimaan perpajakan mendominasi total pendapatan negara. Faktanya, capaian tax ratio Indonesia selama ini tidak begitu menggembirakan. Dalam 20 tahun terakhir, tax ratio tertinggi hanya mencapai sekitar 13%, yakni pada 2008.
Data historis itu menunjukkan betapa beratnya upaya peningkatan tax ratio ke depan. Terlebih, dibandingkan negara-negara lain, tax ratio Indonesia (dengan memasukkan unsur iuran jaminan sosial) berada di bawah rata-rata Asia dan Pasifik (19,3%) dan rata-rata tax ratio negara OECD (34%) (OECD, 2024).
Sebagai penyumbang kedua terbesar dalam tax ratio, yakni sebesar 3,4% dari PDB, optimalisasi penerimaan PPN dilakukan. Salah satu upaya mempertahankan peran strategis PPN ditempuh dengan penerapan tarif baru sebesar 12%. Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tarif PPN 12% berlaku selambat-lambatnya mulai 1 Januari 2025.
Dampak kebijakan seperti ini terbukti efektif. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman adanya kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% per April 2022 yang mampu mendongkrak penerimaan senilai Rp61 triliun (Kementerian Keuangan, 2024). Pertanyaannya, dalam kondisi saat ini, apakah kenaikan tarif PPN tetap menjadi kebijakan terbaik?
Seperti kita tahu, tidak semua penyakit dapat disembuhkan dengan obat yang sama, bukan? Keampuhan kenaikan tarif PPN saat-saat ini dipertanyakan. Hal ini dikarenakan tingkat daya beli masyarakat mulai menunjukkan sinyal pelemahan, utamanya dari kalangan masyarakat kelas menengah.
Kondisi itu tercermin dari konsumsi rumah tangga pada kuartal II/2024 yang hanya mampu tumbuh 4,93% atau melambat dibandingkan dengan performa pada periode yang sama tahun lalu sebesar 5,22% (BPS, 2024). Mengingat penerimaan PPN sangat bergantung pada tingkat konsumsi barang dan jasa, bukan tidak mungkin penurunan daya beli akan menggerus penerimaan PPN.
Untuk menghadapi situasi ekonomi yang diprediksi masih akan terus menghadapi tekanan, perlu upaya penyelamatan penerimaan PPN guna meningkatkan tax ratio. Dalam konteks tersebut, kebijakan multitarif PPN bisa dipertimbangkan sebagai solusi. Sejatinya, skema ini sempat dipertimbangkan masuk dalam UU HPP.
Sebelum menjadi UU HPP, rancangan awal yang disampaikan pemerintah adalah revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam rancangan itu, pemerintah memasukkan usulan pengenaan PPN secara multitarif. Pemerintah mengusulkan pengenaan PPN secara multitarif dengan tarif umum sebesar 12%, lower rate sebesar 5%, dan higher rate sebesar 25%.
Usulan pengenaan PPN multitarif itu dibarengi dengan usulan tarif final. Namun, pada akhirnya, skema PPN multitarif ini tidak menjadi kesepakatan dengan DPR. Pemerintah dan DPR menyepakati kenaikan tarif PPN bertahap dan pengenaan tarif final. Namun, dalam konteks saat ini, setidaknya ada 3 aspek yang membuat skema PPN multitarif perlu dipertimbangkan lagi.
Pertama, konsumsi kalangan masyarakat kelas atas masih terjaga dibandingkan kalangan masyarakat kelas lainnya. Pola konsumsi masyarakat atas pada barang dan jasa yang memiliki harga atau kualitas lebih tinggi dapat dikenakan tarif PPN lebih tinggi.
Di sisi lain, sebagai pengungkit konsumsi masyarakat kelas menengah bawah, tarif PPN lebih rendah dikenakan terhadap barang dan jasa yang memiliki harga atau kualitas lebih rendah. Dengan demikian, ada potensi konsumsi masyarakat tetap terjaga.
Kedua, kebijakan multitarif PPN dapat mengurangi isu regresivitas tarif tunggal PPN. Alih-alih memberikan keseragaman, penerapan tarif tunggal PPN justru menimbulkan beban yang lebih besar bagi masyarakat menengah bawah.
Sebenarnya banyak negara telah menaruh perhatian terhadap isu ini. Secara universal, ada pemberlakuan kebijakan insentif PPN sebagai jalan keluar, termasuk di Indonesia. Nyatanya, insentif PPN yang bisa dinikmati siapa saja justru menjadikan si kaya lebih diuntungkan dibandingkan si miskin (Thomas, 2022).
Dari data yang diolah oleh DDTC Fiscal Research and Advisory dari EY Global (2021), sebanyak 84 dari 136 negara (61,7%) memiliki tarif khusus yang bersifat reduced rate maupun juga tarif yang lebih tinggi. Sebagai perbandingan, pada 2001, terdapat 56 dari 124 negara (45,2%) yang menerapkan skema multitarif.
Pengenaan reduced rate, umumnya diimplementasikan bagi barang dan/atau jasa kena pajak yang dikonsumsi oleh masyarakat kelas bawah atau membutuhkan dorongan ekonomi dari pemerintah. Tujuannya, mencegah regresivitas PPN (Darussalam, 2021). Kebijakan reduced rate secara temporer juga marak dilakukan di saat pandemi (OECD, 2021).
Pemerintah yang jorjoran mengeluarkan paket-paket insentif justru menyebabkan sulitnya Indonesia mencapai tax ratio tinggi. Nilai belanja perpajakan atas pemberian insentif PPN menempati posisi tertinggi, yakni Rp192,8 triliun atau 59,6% dari total (Kementerian Keuangan, 2023). Oleh karena itu, kebijakan insentif mendatang harus diberikan secara lebih selektif.
Ketiga, pemilihan objek beserta besaran tarif dalam kebijakan multitarif PPN merupakan wujud dukungan pemerintah dalam mencapai pembangunan nasional. Contoh, pendidikan. Saat ini penyediaan jasa pendidikan dapat dilakukan oleh pemerintah dan swasta. Nyatanya, penyediaan jasa pendidikan oleh pemerintah (sekolah negeri) tidak dikenakan biaya.
Sementara itu, sekolah swasta membanderol biaya fantastis yang keterjangkauannya hanya dapat dipenuhi oleh masyarakat kelas atas berpenghasilan tinggi. Saat ini, jasa pendidikan tidak dipungut PPN. Hal ini jelas menunjukkan insentif tersebut hanya dinikmati masyarakat berpenghasilan tinggi pengguna jasa pendidikan swasta.
Dalam ‘sekali dayung’, pengenaan multitarif PPN yang lebih tinggi untuk jasa pendidikan swasta tidak hanya mendatangkan penerimaan. Lebih dari itu, hasil pemungutan PPN atas jasa pendidikan swasta itu juga dapat dikembalikan untuk mendanai perbaikan dan pemerataan kuantitas dan kualitas pendidikan negeri di seluruh Indonesia.
Agar mampu berkontribusi optimal terhadap peningkatan tax ratio, desain multitarif PPN perlu diimbangi dengan berbagai perangkat kebijakan pendukung lainnya, termasuk penguatan kapabilitas administrasi perpajakan yang ajeg.
Lima tahun ke depan akan menjadi periode penentu dalam penyusunan strategi yang tepat untuk mencapai target secara tepat waktu. Ibaratnya, ketika peluit ditiup sebagai penanda gerbong akan berangkat, masinis di kursi kemudi perlu memastikan penumpang tidak ada yang tertinggal. Semua ingin tiba dengan selamat di tempat tujuan, yakni Indonesia yang maju.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.