Boy Valentin Purba
, pegawai Ditjen PajakBIAYA kepatuhan (cost of compliance) pemenuhan kewajiban pajak penghasilan (PPh) relatif besar dan pada umumnya hal tersebut kurang disenangi oleh para wajib pajak berpenghasilan menengah bawah (The Brookings Institution, 2006).
Tran-Nam, Evans, Walpole (2000) menemukan biaya kepatuhan pajak bersifat regresif. Biaya ini akan semakin rendah seiring dengan meningkatnya penghasilan wajib pajak. Karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan penerapan sistem sederhana yang dapat menurunkan biaya kepatuhan.
Sekitar 90% wajib pajak di Indonesia adalah wajib pajak orang pribadi (WPOP). Hampir dua pertiga dari WPOP berprofesi sebagai pegawai, dan sekitar 60% dari pegawai tersebut adalah mereka yang hanya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja.
Praktiknya, Ditjen Pajak (DJP) telah menerima sebagian informasi perpajakan wajib pajak dengan kriteria dari pemberi kerja mereka. Meskipun demikian, sistem administrasi perpajakan Indonesia masih mewajibkan para pegawai tersebut melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
Selain itu, DJP masih menghadapi sejumlah tantangan dalam pengadministrasian sistem perpajakan, khususnya terkait dengan kondisi demografi Indonesia. Hasil sensus penduduk 2020 menunjukkan mayoritas penduduk Indonesia berada dalam usia produktif (15-64 tahun).
Sebanyak 70,72% dari total penduduk Indonesia, atau 191,08 juta jiwa, berada dalam usia produktif. Angka ini jauh melampaui jumlah penduduk usia tidak produktif, yakni 79,1 juta jiwa (29,28%). Hal ini menunjukkan Indonesia menikmati bonus demografi, yang diprediksi berlangsung hingga 2040.
Salah satu konsekuensi bonus demografi tersebut adalah semakin meningkatnya jumlah wajib pajak. Akan tetapi, hal ini juga berakibat pada bertambahnya beban administrasi perpajakan. Karena itu, DJP memerlukan terobosan dalam menyelesaikan tantangan tersebut.
DJP sudah mulai mengantisipasi tantangan itu dengan memanfaatkan teknologi seperti penggunaan prepopulated data pemotongan pajak. Program prepopulated ini memberikan DJP akses terhadap data penghasilan dan pajak penghasilan yang telah dipotong.
Melalui program ini, wajib pajak akan mendapat notifikasi atas data penghasilan yang telah dipotong oleh pemberi kerja. Program prepopulated ini sendiri telah diterapkan di Indonesia secara bertahap sejak 2017.
Seiring dengan perkembangan teknologi, mekanisme prepopulated ini akan menjadi kebutuhan yang semakin mendesak. Dengan implementasi program ini, beberapa kriteria wajib pajak tertentu tidak perlu lagi mengisi dan mengirim SPT (return-free filing/no-return tax system).
Hal ini berpotensi menurunkan biaya kepatuhan pajak secara drastis. Beberapa negara telah menerapkan kebijakan bebas pelaporan SPT ini. Singapura misalnya, pada 2007 memperkenalkan kebijakan yang membebaskan wajib pajak dengan kriteria tertentu dari kewajiban pelaporan SPT.
Mekanisme ini disebut dengan NFS (no-filing service). Sejak penerapan sistem ini, beberapa wajib pajak tertentu tidak lagi perlu melaporkan SPT Tahunan karena pemberi kerja mereka telah melaporkan penghasilan mereka ke otoritas pajak Singapura.
Sistem ini bertujuan untuk mengurangi biaya kepatuhan serta memberikan kenyamanan bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Hingga kini, sekitar 1,5 juta wajib pajak telah menikmati kebijakan ini.
Bahkan, Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS) baru-baru ini memperluas cakupan pengguna NSF hingga meliputi wajib pajak wiraswasta tertentu seperti sopir taksi. Hal ini mengurangi beban di sistem e-filing Singapura serta meningkatkan persepsi masyarakat terhadap IRAS.
Mirip dengan Singapura, Filipina juga mengimplementasikan substituted filing of income tax return (ITR). Kebijakan ini mengizinkan WPOP tidak melaporkan SPT Tahunan mereka dengan beberapa ketentuan. Pertama, otoritas pajak Filipina telah memvalidasi SPT Tahunan pemberi kerja.
Kedua, informasi yang dilaporkan pemberi kerja terkait dengan SPT karyawan telah terpenuhi. Ketiga, kebijakan ini hanya berlaku bagi karyawan yang mendapatkan penghasilan dari satu pemberi kerja serta telah dipotong pajaknya dengan benar oleh pemberi kerjanya.
Dua Prakondisi
APABILA dicermati, terdapat setidaknya 2 prakondisi dalam penerapan sistem bebas pelaporan SPT Tahunan bagi wajib pajak tertentu. Pertama, adanya integrasi antara sistem penggajian perusahaan dan sistem DJP.
Dengan adanya integrasi kedua sistem tersebut, transaksi gaji yang dilakukan oleh pemberi kerja akan terkirim secara otomatis ke dalam sistem DJP. Hal ini akan memudahkan perusahaan sebagai pemberi kerja maupun DJP sebagai otoritas pajak.
Kedua, penyediaan akun wajib pajak (taypayer account). Akun ini berisi informasi transaksi wajib pajak yang terhubung dengan sistem DJP dan dapat diakses wajib pajak. Akun ini memudahkan wajib pajak memantau urusan perpajakan, termasuk mengetahui perlu melaporkan SPT atau tidak.
Pengimplementasian sistem pembebasan pelaporan SPT Tahunan kriteria tertentu memerlukan perubahan besar. Oleh sebab itu, pengembangan sistem ini perlu dilakukan dalam beberapa gelombang.
Gelombang pertama meliputi pembebasan kewajiban pelaporan SPT Tahunan WPOP yang tergolong sederhana, seperti pegawai pemerintah dengan satu sumber penghasilan. Terdapat sekitar 6 juta WPOP yang akan dibebaskan dari kewajiban pelaporan SPT Tahunan pada gelombang pertama ini.
Gelombang kedua meliputi pembebasan pelaporan SPT Tahunan bagi WPOP yang pemberi kerjanya menggunakan bukti potong elektronik (e-bupot), yang dirilis DJP sejak 2017. Peningkatkan utilisasi e-bupot di masa depan akan memudahkan DJP membebaskan kewajiban pelaporan SPT Tahunan.
Penerapan kebijakan bebas SPT Tahunan WPOP tertentu sangat berpotensi memangkas biaya kepatuhan pajak secara drastis, terutama bagi wajib pajak dengan penghasilan menengah ke bawah. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak Indonesia.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.