Safruddin
,BERLAKUNYA PP 58/2023 dan PMK 168/2023 membawa semangat kesederhanaan dalam pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21. Namun, berlakunya kedua peraturan tersebut masih menyisakan ruang kerumitan bagi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH).
Hingga saat ini, terdapat 22 PTN BH yang dibentuk oleh pemerintah dengan status sebagai badan hukum publik yang otonom sesuai dengan amanat UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi.
PTN BH memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan lembaga negara lain. Hal ini dikarenakan pegawainya berasal dari PNS dan non-PNS. Selain itu, sumber daya keuangannya berasal dari APBN dan non-APBN.
Sumber daya keuangan dari APBN merupakan pelaksanaan kegiatan pemerintahan yang diberikan dalam bentuk Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Satker Kemendikbudristek serta non-DIPA berupa Bantuan Pendanaan PTN BH dalam kedudukannya sebagai lembaga otonom (BP PTN BH).
DIPA Satker digunakan untuk pembayaran gaji dan tunjangan pegawai yang berstatus PNS. Sementara itu, BP PTN BH digunakan untuk biaya operasional dan pembayaran gaji dan tunjangan pegawai non-PNS.
BP PTN BH dan penerimaan lain non-APBN seperti dari masyarakat, biaya pendidikan, usaha PTN BH, kerja sama dengan pihak ketiga, dan lain sebagainya merupakan penerimaan yang dikelola secara otonom. Penerimaan tersebut juga bukan merupakan penerimaan negara bukan pajak sebagaimana diatur dalam PP 26/2015 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan PTN BH.
Berdasarkan pada karakteristik tersebut serta jika dikaitkan dengan ketentuan peraturan perpajakan maka PTN BH sebagai lembaga otonom memenuhi kriteria subjek pajak badan sesuai dengan Pasal 2 UU PPh.
Sementara itu, PTN BH sebagai Satker Kemendikbudristek memenuhi ketentuan sebagai instansi pemerintah pusat yang berkewajiban melakukan pemotongan pajak sebagaimana diatur dalam PMK 231/2019.
Konsekuensi dari kondisi tersebut menyebabkan PTN BH memiliki 2 identitas Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya.
Kerumitan pemotongan PPh Pasal 21 terjadi karena dalam praktiknya, pegawai PTN BH yang berstatus PNS tidak hanya menerima penghasilan dari DIPA, tetapi juga dari non-APBN. Sebaliknya, terdapat pegawai non-PNS menerima penghasilan dari BP PTN BH/non-APBN dan dari DIPA.
PTN BH sebagai Satker akan melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembayaran yang bersumber dari DIPA dengan menerbitkan bukti pemotongan PPh. Di sisi lain, subjek pajak badan, PTN BH juga akan menerbitkan bukti potong atas pemotongan pajak yang bersumber dari dana BP PTN BH/non-APBN.
Dengan demikian, 1 orang pegawai PTN BH akan menerima lebih dari 1 bukti potong PPh Pasal 21 dalam 1 tahun. Bukti potong-bukti potong tersebut akan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh orang pribadi oleh pegawai yang bersangkutan. Kondisi ini kemungkinan besar akan mengakibatkan SPT Tahunan berstatus kurang bayar.
Artinya, ada tambahan kewajiban pembayararan PPh Pasal 29 yang harus dibayar oleh pegawai bersangkutan. Tidak hanya itu, akan timbul pula kewajiban perpajakan baru berupa kewajiban pembayaran PPh Pasal 25 pada tahun pajak berikutnya.
PASAL 18 ayat (4) PMK 168/2023 memuat ketentuan penghitungan PPh Pasal 21 yang berlaku jika PNS menerima penghasilan dari 2 pemberi kerja dan PPh Pasal 21 atas seluruh penghasilan dimaksud ditanggung oleh pemerintah.
Dalam situasi itu, penghitungan PPh Pasal 21 pada masa pajak terakhir yang dilakukan oleh selain pemberi kerja yang membayar gaji pokok harus memperhitungkan jumlah seluruh penghasilan tetap dan teratur yang diterima atau diperoleh PNS.
Adapun seluruh penghasilan yang dimaksud termasuk penghasilan dalam penghitungan PPh 21 pada pemberi kerja yang membayar gaji pokok. Tujuan dari pengaturan ini adalah agar SPT Tahunan PPh PNS berstatus nihil sehingga tidak ada lagi kewajiban pembayaran PPh Pasal 29 dan PPh Pasal 25.
Dengan otonomi yang dimiliki oleh PTN BH, ketentuan Pasal 18 PMK 168/2023 ini dapat diadopsi untuk kemudahan pegawai (PNS dan non-PNS) dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya melalui penerbitan peraturan rektor.
Namun demikian, diperlukan beberapa penyesuaian, seperti penghitungan seluruh penghasilan yang bersumber dari DIPA dan BP PTN BH/non-APBN dilakukan oleh PTN BH sebagai subjek pajak badan, bukan sebagai Satker.
Penghitungan seluruh penghasilan dilakukan hanya atas penghasilan yang diterima pegawai dalam kedudukannya sebagai pegawai tetap. Penghasilan itu tidak termasuk penghasilan yang diterima dalam kedudukannya sebagai ‘bukan pegawai’ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) PMK 168/2023, penghasilan yang bukan objek pajak, dan penghasilan yang telah dikenakan PPh final tersendiri.
Di sisi lain, perlu juga ada penyesuaian yang dilakukan pembuat kebijakan. Melihat historinya, PTN BH pada umumnya adalah hasil transformasi PTN yang telah menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum (BLU) sektor pendidikan.
Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan BLU dari sektor kesehatan atau sektor lainnya yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat akan bertransformasi menjadi lembaga otonom dengan karakteristik sama dengan PTN BH karena tuntutan zaman yang makin kompleks.
Untuk mengantisipasi kerumitan yang ditimbulkan, pemerintah perlu mengatur implikasi perpajakan lembaga negara dengan karakteristik tersendiri dalam peraturan yang lebih memudahkan bagi semua orang dan mencakup semua sektor.
* Artikel opini ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.