Muhammad Dahlan
,TARGET rasio pendapatan negara sebesar 23% terhadap produk domestik bruto (PDB) yang dijanjikan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran, cukup menjadi sorotan publik. Bagi sebagian kalangan, target ini sangat ambisius, bahkan mendekati ketidakmungkinan.
Pada 2023, realisasi pendapatan negara sekitar 13,3% terhadap PDB. Bagaimana dengan pajak yang selama ini mendominasi pendapatan negara? Faktanya, kinerja rasio pajak (tax ratio) juga masih rendah, yakni sebesar 10,31% pada 2023.
Oleh karena itu, upaya untuk menaikkan tax ratio perlu dilakukan sehingga turut berdampak pada rasio pendapatan negara terhadap PDB. Saat ini, pengembangan coretax administration system (CTAS) digadang-gadang dapat menjawab situasi atau tantangan tersebut.
Dalam perkembangan reformasi perpajakan, terutama di negara berkembang, teknologi berperan besar mengubah proses bisnis pengumpulan pajak. Tujuan perubahan tersebut tidak lain untuk efektivitas dan efisiensi.
Automasi mekanisme pengumpulan pajak akan berdampak pada perbaikan layanan kepada wajib pajak. Harapannya, kepatuhan pajak akan meningkat. Selain itu, diharapkan ada perbaikan akuntabilitas, transparansi, serta integritas dari otoritas pajak (Blume dan Bott, 2015).
Reformasi pajak yang komprehensif, termasuk perbaikan teknologi informasi, akan meningkatkan penerimaan pajak sehingga turut memperbaiki tax ratio. Hal inilah yang mungkin diharapkan otoritas dengan CTAS, yakni peningkatan pelayanan, kepatuhan, penerimaan, dan rasio pajak.
Ketika penerapan CTAS ini berjalan sesuai dengan rencana, menteri keuangan menyatakan pengaruhnya terhadap kenaikan rasio pajak hanya sekitar 1,5%. Apabila digabung dengan perbaikan regulasi dan kebijakan, ada potensi kenaikan 5% (DDTCNews, 2024).
Angka estimasi tersebut mungkin menjadi angin segar dalam upaya perbaikan tax ratio di Tanah Air. Namun, korelasi antara pemberlakuan CTAS dan kenaikan tax ratio kemungkinan tidak akan terlihat dalam jangka pendek. Masa transisi diperlukan.
Selain masa transisi, ada pengaruh kesiapan perubahan pola perilaku wajib pajak, simplifikasi dan integrasi peraturan perpajakan, peningkatan kompetensi pegawai pajak, dan penyesuaian proses bisnis perpajakan. Artinya, CTAS bukanlah ‘sapu jagat’ untuk mengatasi masalah rendahnya tax ratio di Indonesia.
DALAM jangka panjang, otoritas pajak perlu memikirkan strategi lain terkait dengan pemanfaatan perkembangan teknologi agar tax ratio naik. Salah satu perkembangan teknologi yang dapat dimanfaatkan adalah artificial intelligence (AI) dan blockchain untuk kepentingan perpajakan.
Sebenarnya, otoritas telah menggunakan AI untuk penilaian risiko (risk assessment) wajib pajak, baik orang pribadi maupun badan. Namun, berdasarkan pada data Inventory of Tax Technology Initiatives (ITTI) per 2023 yang dirilis Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), AI belum dimanfaatkan untuk mendeteksi penggelapan pajak dan memperbaiki layanan administrasi.
Apabila penggunaan AI dapat dimaksimalkan secara tepat, upaya otoritas untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan meningkatkan rasio pajak akan dapat dicapai seiring dengan implementasi CTAS. Negara lain, seperti Singapura dan Australia telah menerapkan AI dalam setiap aspek, seperti urusan administratif, pelayanan, manajemen risiko, hingga penegakan hukum pajak.
Terkait dengan blockchain, negara-negara seperti Estonia, Amerika Serikat, Swiss, bahkan Singapura, telah mengintegrasikan teknologi ini dengan sistem perpajakan mereka (Anomah et al., 2024).
Teknologi tersebut dapat memastikan transparansi dan kualitas data yang dipegang otoritas pajak. Tidak hanya itu, dengan blockchain, pertukaran data perpajakan antara satu otoritas pajak dengan otoritas lainnya dapat berlangsung lebih mudah.
Selain itu, dalam konteks transfer pricing – salah satu prioritas pengawasan otoritas – penggunaan blockchain akan mempermudah uji penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU). Verifikasi atribusi laba antar-anggota perusahaan multinasional juga bisa lebih mudah. Dengan demikian, selain CTAS, integrasi AI dan blockchain dapat dilakukan untuk optimalisasi pajak.
SELAIN aspek teknologi, transformasi sumber daya manusia juga dapat dilakukan. Saat ini, proporsi pegawai terkait dengan fungsi pengawasan dan pemeriksaan masih lebih rendah dibandingkan dengan fungsi administrasi dan pelayanan (De Mooij et al., 2018).
Kondisi tersebut mengakibatkan masih rendahnya tingkat produktivitas hasil pemeriksaan. Hal ini juga dipengaruhi masih kurangnya proporsi pemeriksa yang dimiliki otoritas pajak di Indonesia, terlebih jika dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia, Filipina, Singapura, Australia, dan Jepang.
Fungsi audit dalam sistem perpajakan merupakan salah satu aspek penting untuk memastikan bahwa negara telah mendapatkan semua hak pemajakan dari setiap potensi yang dimiliki (Blaufus et al., 2022). Dengan demikian, proporsi jumlah pemeriksa dan efektivitas pemeriksaan harus ditingkatkan.
Terlebih, selama ini, harus diakui bahwa beban pemeriksaan masih lebih banyak terfokus pada pemeriksaan rutin terkait restitusi. Seperti diketahui, restitusi sejatinya merupakan konsekuensi logis dari regulasi atau ketentuan yang ada. Alhasil, pemeriksaan yang berfokus pada potensi-potensi pajak besar, seperti audit transfer pricing, masih belum optimal.
Pada akhirnya, strategi otoritas untuk meningkatkan tax ratio diharapkan tidak hanya terkait dengan penyesuaian tarif pajak, penurunan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP), pembatasan insentif pajak, pelaksanaan tax amnesty, atau kebijakan lain yang bersifat ‘instan’.
Inisiasi CTAS diharapkan menjadi batu loncatan untuk perbaikan sistem perbaikan yang berkelanjutan pada masa mendatang. Untuk itu, diperlukan komitmen dari semua stakeholder. Komitmen politik juga diperlukan karena perbaikan teknologi dan manajemen SDM membutuhkan anggaran yang harus melewati persetujuan parlemen.
Strategi apapun yang akan digunakan oleh otoritas pajak untuk menaikkan tax ratio, sistem perpajakan harus dapat dikelola secara administrasi, berkelanjutan secara ekonomi, dan diterima secara politik.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.