LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Meminimalisasi Biaya Tersembunyi Kepatuhan Pajak dengan AI

Redaksi DDTCNews | Senin, 30 September 2024 | 11:33 WIB
Meminimalisasi Biaya Tersembunyi Kepatuhan Pajak dengan AI

Riyan Wahyu Setiawan,
Kabupaten Purbalingga - Jawa Tengah

RASIO perpajakan (tax ratio) sering kali menjadi tolok ukur utama dalam menilai kinerja pemerintah dalam memaksimalkan pendapatan negara. Terlebih, perpajakan masih menjadi sumber terbesar dalam pendapatan negara. Presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran, menjanjikan rasio pendapatan negara hingga 23% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Janji tersebut cukup ambisius karena mengharuskan adanya kenaikan yang tinggi jika dibandingkan realisasi pada 2023 sekitar 13,3% PDB. Kinerja rasio penerimaan pajak – yang mendominasi pendapatan negara – terhadap PDB (tax ratio) juga hanya sebesar 10,31% pada 2023. Artinya, pemerintah perlu extra effort untuk meningkatkan rasio pendapatan negara maupun perpajakan.

Janji rasio pendapatan negara yang cukup tinggi itu dapat dimengerti karena dibarengi dengan tawaran berbagai pembangunan. Artinya, ada komitmen untuk meningkatkan sumber pendanaan. Namun, rasio 23% masih jauh karena dalam APBN 2025, pemerintah dan DPR menyepakati target pendapatan negara Rp3.005,13 triliun atau hanya sekitar 12,32% PDB.

Penerimaan perpajakan tetap menjadi kontributor utama dalam struktur pendapatan negara. Targetnya senilai Rp2.490,91 triliun atau 82,89% dari total pendapatan negara dalam APBN 2025. Oleh karena itu, berbagai strategi dan inisiatif untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan sangat diperlukan agar target ambisius ini dapat tercapai.

Jika berkaca dari Rancangan Kerja Pemerintah (RKP) 2024, ada beberapa upaya untuk meningkatkan pendapatan negara dalam pos perpajakan yang masih sangat relevan. Pertama, melakukan akselerasi reformasi kebijakan perpajakan untuk beradaptasi dengan dinamisnya kegiatan ekonomi.

Kedua, menggali sumber-sumber penerimaan negara yang sebelumnya belum dimanfaatkan secara optimal, terutama di sektor sumber daya alam atau sektor yang mendukung transisi energi. Ketiga, mendorong tax compliance wajib pajak melalui integrasi teknologi dalam sistem perpajakan. Keempat, melakukan perluasan basis perpajakan dengan intensifikasi dan ekstensifikasi.

Salah satu upaya yang menarik untuk didalami lebih lanjut adalah mendorong kepatuhan pajak (tax compliance) wajib pajak melalui integrasi teknologi dalam sistem perpajakan. Dalam upaya meningkatkan tax compliance, ada risiko munculnya hambatan atau tantangan berupa biaya tersembunyi (hidden cost) dalam konteks biaya kepatuhan (Kristiaji, 2013).

Hidden cost muncul akibat kompleksitas kebijakan perpajakan, perbedaan mekanisme perhitungan pajak antara satu laporan dengan yang lainnya, serta proses pengisian laporan pajak yang memakan waktu cukup lama. Adanya hidden cost ini dapat mengurangi tingkat tax compliance wajib pajak, yang pada akhirnya berdampak pada penerimaan negara secara tidak langsung.

Penggunaan AI

UNTUK mengatasi hambatan atau tantangan tersebut, teknologi seperti artificial intelligence (AI) dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari solusi. Berdasarkan penelitian Dike dan Worugji (2020), AI dapat mengatasi sejumlah tantangan perpajakan, seperti pemajakan berganda, pengumpulan data wajib pajak, serta peningkatan kepercayaan dan kepatuhan wajib pajak.

Di Indonesia, otoritas pajak telah mulai menerapkan machine learning dalam berbagai aspek, seperti e-filing, e-billing, e-invoicing, dan e-SPT (Rahayu, 2024). Penggunaan AI dapat mengurangi compliance cost karena wajib pajak tidak perlu lagi melakukan penyetoran dan pengisian pajak secara manual. Prosesnya menjadi lebih efisien dan mengurangi beban administrasi.

Kendati demikian, implementasi AI di Indonesia masih terbatas pada aspek teknis, seperti membantu pengisian formulir kewajiban perpajakan. Padahal, penggunaan AI bisa diperluas untuk instrumen yang bersifat panduan (guidance) dan bantuan bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Contoh, penerapan virtual intelligence chat assistant (VICA) oleh Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS). AI tersebut dapat memastikan bahwa wajib pajak memahami kewajiban perpajakannya, mengecek status pembayaran pajak, melakukan pembayaran pajak, dan melakukan pembayaran denda atas keterlambatan.

Menurut laporan tahunan IRAS pada 2022, sebanyak 96,3% wajib pajak orang pribadi berhasil melaporkan pajaknya tepat waktu dengan bantuan VICA. AI ini tidak hanya membantu proses teknis, tetapi juga berfungsi sebagai panduan bagi wajib pajak dalam memahami kewajiban mereka, mengurus pembayaran, dan menghindari denda keterlambatan.

Hal tersebut tentunya memberikan keuntungan yang dapat dirasakan oleh kedua belah pihak, baik wajib pajak maupun fiskus. Manfaatnya tidak hanya terbatas pada bantuan teknis dalam pengisian formulir, tetapi juga mencakup seluruh aspek self-assessment wajib pajak secara menyeluruh. Penggunaan AI yang lebih komprehensif dapat membawa beberapa manfaat signifikan.

Pertama, pengurangan compliance cost. AI dapat mengurangi waktu dan biaya yang dibutuhkan wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak mereka. Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), pengurangan compliance cost sering kali berkontribusi pada peningkatan kepatuhan pajak secara keseluruhan.

Kedua, peningkatan pemahaman wajib pajak. Dengan AI, informasi perpajakan dapat disampaikan secara lebih jelas dan tepat waktu. Dengan demikian, AI dapat membantu wajib pajak lebih memahami kewajiban perpajakannya.

Ketiga, penurunan administrative cost. Dengan AI, otoritas pajak dapat melakukan automasi terhadap sejumlah besar proses administratif. Hal ini akan berdampak pada berkurangnya beban kerja dan risiko kesalahan manual terkait dengan urusan administratif.

Keempat, penurunan risiko kesalahan pengisian dan pembayaran pajak. Dengan bantuan VICA, kesalahan dalam pengisian dan pembayaran pajak dapat diminimalisasi. Hal ini dikarenakan wajib pajak memiliki kesempatan untuk berkonsultasi terlebih dahulu.

Di Singapura, ada IRAS bot untuk memandu wajib pajak dalam proses penyetoran dan pelaporan pajak. Teknologi ini secara otomatis dapat menyajikan data terkait pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak. Dengan demikian, wajib pajak dapat lebih mudah dalam mengakses informasi dan hanya perlu menunggu bukti pelaporan dan penyetoran yang telah diproses.

Hal itu juga makin relevan dengan Indonesia. Berdasarkan pada Pusat Penelitian Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR (2020), rasio antara petugas pajak dan wajib pajak di Indonesia masih sangat tidak ideal, yakni 1:936. AI dapat menjadi solusi untuk memperbaiki masalah kapasitas otoritas pajak ini.

Dengan demikian, dalam upaya meningkatkan rasio perpajakan dan pendapatan negara di Indonesia, pemerintah harus mempertimbangkan penerapan AI secara lebih luas dalam coretax administration system (CTAS). Harapannya, hidden cost dalam kepatuhan pajak dapat diminimalisasi sehingga pendapatan negara lebih optimal.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

BERITA PILIHAN