DALAM era sistem pajak modern, kepatuhan kooperatif kerap direkomendasikan sebagai salah satu solusi untuk menjawab berbagai permasalahan dalam sistem perpajakan. Hal ini terbukti nyata di berbagai negara maju yang sudah menerapkan.
Sebab, dengan masifnya perkembangan teknologi, terdapat peluang untuk meningkatkan kolaborasi antara otoritas pajak dengan wajib pajak. Harapan akan terwujudnya hubungan baru berbasis kepercayaan dan transparansi menjadi mungkin melalui dukungan digitalisasi.
Lantas, bagaimana kepatuhan kooperatif dapat diterapkan beriringan dengan digitalisasi di negara berkembang?
Jawaban atas pertanyaan tersebut dirangkai dalam publikasi berjudul Developing a Cooperative Compliance Model for Large Developing Economies: Justification, Prerequisites, and Administrative Design.
Publikasi tersebut ditulis oleh profesional DDTC, yaitu Manager of DDTC Fiscal Research and Advisory Denny Vissaro. Tulisan tersebut menjadi salah satu bagian dari buku keluaran Routledge yang direncanakan terbit pada Juli 2022 berjudul Taxation in the Digital Economy New Models in Asia and the Pacific.
Bab buku yang disunting oleh Chris Evans, Farhad Taghizadeh, Nella Sri Hendriyetti, dan Chul Ju Kim tersebut mengulas proses kepatuhan kooperatif dapat diadopsi menjadi sebuah pendekatan dalam negara berkembang pada era digitalisasi, terutama yang memiliki populasi yang besar dan geografi yang luas. Kepatuhan kooperatif dipandang sebagai sebuah kerangka kerja hubungan berbasis kepercayaan antara otoritas pajak dan wajib pajak.
Pendekatan tersebut dapat menjadi solusi dari permasalahan pajak yang kerap tak terselesaikan. Beberapa di antaranya termasuk rasio pajak yang rendah, biaya kepatuhan yang relatif tinggi, dan penerimaan pendapatan yang rendah dari pajak penghasilan orang pribadi.
Pada prinsipnya, kepatuhan kooperatif ditunjuk untuk membangun serta menjaga hubungan antara kedua belah pihak. Hasilnya, diharapkan otoritas pajak dapat memberi kepastian dan transparansi kepada wajib pajak.
Dalam pembahasannya, penulis juga menjelaskan bahwa perumusan kebijakan pajak yang partisipatif, compliance risk management (CRM), dan upaya penyederhanaan administrasi pajak menjadi prasyarat mutlak dalam membangun paradigma kepatuhan kooperatif.
“Ketika kepatuhan kooperatif akan segera dilaksanakan, terdapat tiga faktor penting yang perlu dipenuhi: (i) kapasitas sumber daya manusia; (ii) manajemen data yang efektif; (iii) pengaturan yang efektif untuk mekanisme program,” ungkap penulis dalam tulisannya.
Penulis kemudian memberi rekomendasi cara otoritas pajak dapat mulai melaksanakan cooperative compliance. Otoritas pajak dapat mulai menjalin kerja sama dengan badan usaha milik negara (BUMN) dan perusahaan besar yang terbukti kooperatif.
Setelah berbagai tantangan terselesaikan dan aspek administrasi telah dipersiapkan, otoritas pajak dapat merancang prasyarat kepatuhan kooperatif yang lebih besar, spesifik, dan objektif.
Lebih lanjut, penulis juga mencatat diperlukan kehati-hatian untuk mencegah timbulnya ketidakpercayaan antara wajib pajak dan otoritas pajak. Untuk itu, dukungan teknologi, fleksibilitas administrasi, dan tata kelola yang jelas sangat penting untuk mewujudkan kepatuhan kooperatif yang berkesinambungan.
Secara keseluruhan, pemahaman mengenai kepatuhan kooperatif dan aspek penerapannya dikupas secara komprehensif. Kita diajak untuk memaknai kepatuhan kooperatif dan praktik terbaiknya secara kontekstual bagi negara berkembang.
Berisikan 13 bab, buku ini ditulis oleh berbagai praktisi, akademisi, dan penyusun kebijakan perpajakan di Asia Pasifik. Beberapa penulis ternama di antaranya termasuk Chris Evans, Jennie Granger, dan Adrian Sawyer.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.