Andrew Yapvito
,TAX ratio merupakan perbandingan antara penerimaan pajak terhadap nilai produk domestik bruto (PDB). Indonesia mencatatkan tax ratio sebesar 10,38% pada 2022. Angka ini dinilai belum ideal. Indonesia semestinya memiliki tax ratio 15% agar bisa membiayai pembangunannya secara mandiri (Pakpahan, 2019).
Rendahnya tax ratio di Indonesia menandakan masih banyak sumber pendapatan masyarakat yang belum tersentuh pajak. Dengan demikian, perlu ada pembenahan yang menyeluruh dalam aspek administrasi perpajakan guna meningkatkan tax ratio.
Penulis menyodorkan empat strategi kebijakan pajak yang bisa diadopsi pemerintah untuk meningkatkan tax ratio di Indonesia.
Strategi pertama dalam mengejar perbaikan tax ratio berkaitan dengan konsumsi masyarakat yang mencakup pemungutan pajak atas penyerahan barang dan jasa. Pajak konsumsi ini bisa berupa pajak pertambahan nilai (PPN), pungutan bea dan cukai atas produk tertentu, hingga bea masuk atas impor barang dan jasa.
Ada banyak ruang yang bisa dimanfaatkan pemerintah untuk menggenjot penerimaan dari pajak konsumsi. Salah satunya, melalui pemungutan PPN dan cukai hasil tembakau alias cukai rokok.
Badan Pusat Statistik (BPS, 2022) mencatat rokok dan tembakau menempati peringkat kedua sebagai barang konsumsi masyarakat Indonesia, di bawah makanan dan minuman. Rata-rata pengeluaran per kapita terhadap produk rokok dan tembakau bagi warga Indonesia tembus Rp82.183 per bulan. Artinya, angka tersebut disisihkan rakyat per bulannya untuk mengonsumsi rokok.
Tingkat konsumsi rokok dan tembakau di Tanah Air bahkan cenderung tidak begitu terpengaruh dengan upaya kampanye kesehatan yang dilakukan pemerintah. Berdasarkan fakta tersebut, pengenaan PPN dan cukai rokok menjadi instrumen pengendalian konsumsi paling efektif. Tarif PPN dan cukai rokok sudah sewajarnya dinaikkan secara bertahap dengan mempertimbangkan kemampuan daya beli dan aspek kesehatan.
Strategi kedua untuk menggenjot tax ratio berkaitan dengan pemungutan bea masuk. Merujuk pada UU 17/2006, bea masuk merupakan pungutan negara yang dikenakan terhadap barang impor. Dalam praktiknya, masih ada beberapa tantangan yang membuat pemungutan bea masuk belum optimal.
Salah satu tantangan tersebut adalah perbedaan persepsi antara otoritas bea cukai dengan penumpang yang membawa barang dari luar pabean ke dalam wilayah pabean. Persepsi yang dimaksud berkaitan dengan penentuan barang personal use atau nonpersonal use serta klasifikasi HS yang berujung pada sengketa.
Penulis memandang semestinya celah sengketa bisa dipersempit dengan menerapkan sistem pemungutan pajak yang objektif dan terotomasi. Pemanfaatan teknologi digital bisa mengurangi misinterpretasi antara petugas bea cukai dan pengguna jasa. Melalui sistem yang terotomasi, ruang lingkup petugas bea cukai hanya berfokus mengawasi dan memastikan implementasi sistemnya berjalan sesuai semestinya.
Kebijakan ketiga yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam meningkatkan tax ratio adalah pigouvian tax. Pigouvian tax pada dasarnya memiliki fungsi yang sama dengan pemungutan pajak dan cukai sebagai kompensasi atas eksternalitas negatif sebuah produk atau komoditas.
Perbedaannya, pigouvian tax mencakup kegiatan ekonomi yang lebih luas serta dampak lingkungan yang lebih masif. Konsep pengenaan pigouvian tax juga bertumpu pada eksternalitas negatif yang merugikan publik, dengan pihak yang dirugikan selama ini belum mendapat kompensasi dari pihak yang dinilai merugikan.
Pigouvian tax ini lantas menjadi instrumen untuk 'menagih' ongkos pencemaran ke pihak yang memproduksi polusi atau produk pencemaran lainnya dalam bentuk pajak. Contoh pengenaan piguovian tax di Indonesia adalah pajak karbon. Hanya saja, implementasi pajak karbon ini masih belum berjalan meski keberadaan bursa perdagangan karbon sudah ada.
Apakah pajak karbon sudah cukup? Penulis menilai belum. Pemerintah masih bisa mempertimbangkan jenis pigouvian tax lainnya, seperti pajak atas polusi udara dan polusi kebisingan suara terhadap industri. Hal ini bisa dijalankan beriringan dengan pajak karbon sehingga eksternalitas negatif dari industri bisa terkompensasi dengan baik.
Selanjutnya, penulis menyadari perekonomian nasional serta global penuh dinamika bagi pelaku usaha. Dalam kondisi tertentu, ada sektor-sektor usaha yang mendapat keuntungan berlebih (tidak terduga) jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Karenanya, strategi keempat yang penulis ajukan berkaitan dengan pengenaan windfall tax. Melalui windfall tax, pemerintah dapat mengenakan tarif pajak yang lebih tinggi atas keuntungan sektor usaha tertentu.
Bicara soal sektor usaha yang mendapat 'durian runtuh', industri batu bara Tanah Air memiliki prospek yang cerah mengingat konflik Rusia-Ukraina belum usai. Pemerintah bisa melihat hal ini sebagai peluang untuk mengenakan windfall tax berupa kenaikan tarif PPh badan secara khusus terhadap industri baru bara.
Gagasan-gagasan kebijakan di atas sekaligus bisa menjadi bahan pertimbangan bagi peserta pemilihan umum (pemilu) tahun depan. Pemerintahan selanjutnya yang lahir dari kontestasi pemilu perlu menyiapkan kebijakan pajak yang mampu menjawab seluruh tantangan perpajakan agar penerimaan bisa ditingkatkan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.