KETUA UMUM AFPI ADRIAN GUNADI:

'Kami Berharap Pajaknya Final Agar Memudahkan'

Dian Kurniati | Minggu, 28 Maret 2021 | 08:01 WIB
'Kami Berharap Pajaknya Final Agar Memudahkan'

PT Investree Radhika Jaya merupakan salah satu pionir bisnis fintech lending di Indonesia. Bersama dua rekannya, Adrian Gunadi yang juga Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) membangun Investree.

Industri fintech lending merupakan salah satu sektor usaha yang tetap mampu tumbuh pesat di tengah pandemi Covid-19 dengan mencatatkan pencairan pembiayaan Rp75 triliun sepanjang 2020, atau naik 24% dari tahun sebelumnya.

Untuk mengetahui pandangannya tentang regulasi fintech lending di Indonesia, prospek bisnis hingga soal perlakuan perpajakan industri fintech di Indonesia, beberapa waktu lalu DDTCNews mewawancarai Adrian. Petikannya.

Bagaimana kinerja fintech lending dan Investree tahun lalu?
Secara industri, kalau kita melihat memang di fintech lending ini mungkin agak unik ya, di mana kalau di fintech lending kan sebenarnya jenis pemain dan segmentasinya cukup banyak dan cukup beragam.

Ada yang bermain di segmen individu, ada yang bermain di segmen PT atau CV, ada yang bermain di segmen konsumtif, ada yang bermain di segmen produktif.

Secara keseluruhan, boleh dibilang industri fintech lending itu tetap tumbuh kurang lebih sebesar 24% pada 2020 dibandingkan dengan tahun sebelumnya sehingga total disbursement yang dilakukan oleh industri fintech lending itu mencapai hampir Rp75 triliun di 2020.

Memang kalau kita lihat dari sisi pertumbuhan dari kuartal ke kuartal memang turun pada semester I/2020, tentu ada kaitannya dengan Covid-19. Penurunan ini terutama dialami oleh teman-teman yang bermain di segmen konsumtif, karena tentu portofolionya yang mungkin sedikit lebih berisiko.

Namun kami melihat teman-teman yang dari sektor konsumtif itu mulai tumbuh kembali di kuartal III dan kuartal IV, sehingga secara overall industri ini tetap tumbuh. Dari sisi produktivitas, kami justru melihat tren yang mungkin rata, tetap kita melihat pertumbuhan yang positif.

Kalau kita melihat, memang di masa awal pandemi, sekitar Maret, banyak yang melakukan adjustment terutama kaitan dengan sisi scoring, sisi segmentasi yang dibidik sehingga masih bisa melakukan pencairan atau pendanaan, dan tetap tumbuh.

Nah kalau Investree sendiri secara keseluruhan, pada 2020 mungkin sama dengan apa yang terjadi di industri. Mungkin tumbuh sedikit lebih tinggi. Pertumbuhan pendanaan kami itu sekitar 30%, atau tumbuh di sekitar Rp3,2 triliun.

Mungkin pertumbuhan tadi memang disebabkan oleh salah satunya fokus Investree yang banyak bermain di ekosistem, banyak bermain kerja sama dengan mitra, banyak bermain kerja sama dengan beberapa partner, yang di antara partner-partner tersebut memiliki akses ekosistem UKM.

Partner tersebut ada di bidang e-procurement, ada bidang payment gateway, ada bidang e-commerce. Jadi memang itu strategi Investree, kami sedang fokus mengenai pengembangan kerja sama dengan ekosistem.

Alhamdulillah itu membuahkan hasil yang sangat positif di 2020 ini, terutama di kondisi pandemi. Boleh dibilang itu menjadi salah satu strategi kami yang berhasil membuat kami juga menavigasi pandemi dengan baik.

Kualitas portofolionya juga terjaga dengan baik, atau TKB90-nya, ukuran keberhasilan penyelenggara fintech-peer-to-peer lending dalam menfasilitasi penyelesaian kewajiban pinjam meminjam dalam jangka sampai 90 hari sejak jatuh tempo, tetap baik di angka sekitar 98,5%.

Dengan kata lain, non-performing-nya pada angka 1,5% dibandingkan dengan industri yang non-performing 6%. Saya rasa Investree berada di posisi lebih baik.

Apa yang menyebabkan TKB90 yang terjaga?
Kalau di sisi Investree di 98,5%, tidak lain dipengaruhi oleh kerja sama kami dengan kemitraan, itu satu. Yang kedua adalah produk kami berfokus pada pembiayaan berbasis invoice atau tagihan, atau berbasis kontrak.

Jadi kalau boleh dibilang pembiayaan berbasis invoice atau berbasis kontrak tersebut mungkin melalui pembayaran yang lebih pasti dibandingkan dengan yang bersifat modal kerja secara open. Kedua poin itu yang saya rasa menjadi pembeda antara segmen Investree dengan segmen industri.

Karena produk kami fokus produk pembiayaan invoice financing, sumber pembayarannya juga clear dan kebanyakan tahun 2020 ini fokus ke supplier vendor yang menawarkan barang/jasa ke pemerintah, jadi pembayarnya pemerintah. Itu juga boleh dibilang menambah sisi kepastian pembayaran.

Apa saja strategi Anda menjaga kepercayaan lender di bisnis fintech lending?
Dari sisi Investree, yang pasti satu dari produknya. Kembali lagi, fokusnya produk pembiayaan berbasis invoice atau tagihan, di mana tagihan itu akan dibayar perusahaan ternama atau dari pemerintah. Kami fokus pada invoice yang berasal dari pemerintah, BUMN, atau perusahaan multinasional.

Jadi kami bisa cukup nyaman dengan kepastian pembayaran yang akan dilakukan oleh para pemberi kerja tersebut. Kami juga memastikan sumber pembayaran, atau istilahnya kalau ngasih pinjaman ya sumber pembayarannya jelas dari mana.

Berikutnya, kalau saya lihat dari sisi credit scoring. Credit scoring itu kan tentu berkaitan dengan bagaimana kita bisa menganalisis profil risiko dan kondisi calon peminjam.

Nah, satu hal yang unik adalah Investree memiliki scoring yang berbasis AI [artificial intelligence] sehingga dengan jumlah data yang banyak itu bisa mendapatkan profil borrower lebih komprehensif. Kami sekarang punya anak perusahaan terpisah yang fokus mengelola credit scoring tersebut.

Ketiga, sisi bagaimana cara kita melakukan penagihan atau pembayaran. Dengan bekerja sama dengan ekosistem suatu mitra, maka mitra itu yang membantu Investree melakukan pemotongan, membantu Investree men-debit dari kewajiban si payer atau dalam hal ini pemberi kerja.

Yang menarik adalah kerja sama dengan asuransi penjaminan. Kebetulan kami ada kerja sama dengan beberapa asuransi penjaminan, yang maksudnya bagaimana kami bisa memitigasi risiko. Kalau terjadi keterlambatan di atas 10 hari, kami melakukan klaim atas asuransi tersebut.

Memasuki 2021, seperti apa proyeksi bisnis fintech lending?
Kalau kami lihat mungkin ini masih baru tahap awal ya. Jadi pertumbuhan kita dari 2016, 2017, sampai dengan 2020 tumbuhnya selalu double digit. Exponential kalau kami bilang.

Kami melihat peluang atau potensi pasar terhadap fintech lending ini masih cukup besar, karena kita tahu sendiri akses pendanaan baik itu untuk individu maupun UMKM di Indonesia ini masih terbatas, sehingga dengan demikian demand terhadap akses pendanaan tersebut masih tinggi.

Kembali lagi, banyak di antara mereka itu belum memenuhi syarat-syarat di perbankan gitu. Inilah yang menimbulkan mereka para peminjam ini mencari alternatif di luar dari segmen perbankan, dan di situlah kehadiran fintech.

Kedua, kami melihat bahwa pemain-pemain fintech lending itu semakin mature dari sisi teknologinya, dari sisi sistemnya, dari sisi people-nya, sehingga ini memberikan suatu fondasi bisnis cukup baik untuk bisa tumbuh lebih cepat lagi di tahun-tahun berikutnya.

Sekarang ini juga banyak kerja sama, tidak hanya antara fintech dengan e-commerce, tapi fintech dengan kalangan perbankan, terlihat secara signifikan.

Ini masih bank umum, tapi saya perkirakan akan banyak BPR dan BPD, yang akhirnya bekerja sama dengan fintech karena ada beberapa produk yang mungkin secara digital belum dimiliki oleh bank-bank tersebut.

Tentunya ini menjadi peluang, tapi kami juga melihat tren munculnya digital banking ini akan lebih meningkatkan, memberikan pemahaman masyarakat tentang digitalisasi. Harapannya fintech lending ini menjadi semakin mainstream.

Kalau kita lihat tren pertumbuhan 2021, secara industri kami perkirakan tetap akan tumbuh di angka Rp86 triliun dari sisi disbursement. Kalau kami lihat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, mungkin tumbuh sekitar 15% kalau dari sisi industri.

Sama halnya dengan Investree, kalau kami justru melihatnya dengan kami banyak kerja sama dengan ekosistem, kami menargetkan pertumbuhan hampir dua kali lipat, jadi sekitar 40% kurang lebih atau hampir 50%.

Apa saja upaya AFPI mendorong fintech lending agar makin mainstream?
Salah satu edukasi yang kami selalu dorong, bertransaksilah dengan fintech lending yang sudah resmi, terdaftar, dan mendapat izin OJK, karena sangat disayangkan masyarakat masih juga ada beberapa yang belum paham sehingga mereka masih menggunakan aplikasi yang ilegal.

Itu menjadi salah satu poin yang kami harapkan melalui edukasi dan sosialisasi, bisa mengurangi potensi masyarakat menggunakan aplikasi yang ilegal.

Kedua, tentunya kami bekerja sama dengan banyak stakeholders, baik itu dari regulator, universitas, kampus, dan asosiasi industri terkait untuk mengedukasi. Kembali lagi, dengan adanya fintech lending ini bedanya fintech lending itu seperti apa.

Boleh dibilang poin-poin tersebut adalah bagian dari pekerjaan rumah kami untuk terus mengedukasi masyarakat umum terkait dengan kehadiran fintech lending.

Mengenai fintech lending untuk UMKM, apa strategi Anda untuk meningkatkan pendanaan pada sektor ini?
Akhir tahun lalu kami beraudiensi ke Pak Teten [Menteri Koperasi dan UKM], kemudian Pak Erlangga [Menko Perekonomian]. Di situ kami sampaikan ini fintech lending sepertinya harus lebih banyak didorong, lebih banyak diperkenalkan supaya bisa mendukung recovery atau pemulihan ekonomi.

Dalam pemulihan bisnis UMKM tersebut mereka kan butuh modal untuk bisa berputar, untuk bisa berjalan lagi bisnisnya, karena mungkin kemarin sempat terhenti karena adanya pandemi.

Jadi apa yang kami lakukan adalah berkomunikasi dengan kementerian apa saja yang bisa dilakukan, dan kami mengangkat beberapa cases yang dari fintech lending untuk mendukung UMKM. Kami melihat ini suatu hal yang positif dan disambut baik, bagaimana peranan fintech di dalam UMKM.

Yang juga terus kami dorong adalah di dalam revisi POJK [Peraturan OJK] yang baru berkaitan dengan fintech lending, yang nanti juga akan lebih banyak penekanan kepada segmen produktif. Diharapkan fintech lending itu juga ada porsinya yang lebih besar kepada produktif.

Apa yang kami lihat beberapa tahun terakhir ini memang sangat relevan sekali peranan fintech lending terhadap UMKM yang mungkin belum bisa masuk ke segmen perbankan. Terlebih lagi di masa pandemi ini.

Artinya, isi POJK sangat cocok dengan AFPI ya?
Iya. Apalagi satu hal yang tadi saya lupa sampaikan di masa pandemi ini kami melihat semakin banyak UMKM Indonesia yang melek digital. Mereka melihat pentingnya jualan online, alternative channels untuk memasarkan produk, dan melakukan transaksi pembayaran pencatatan transaksi.

Kami melihat memang dengan adanya pandemi ini para UMKM juga semakin ingin mencoba digital, dan tentunya ini menjadi momentum yang pas bagi kami fintech lending untuk membantu kalau UMKM tersebut sudah berada di ranah digital.

Baru-baru ini, otoritas pajak membuat aturan khusus soal fintech lending, menurut Anda?
Ini sebenarnya bagian dari apa yang sudah kami lakukan. Kebetulan kami berulang kali berkomunikasi dengan Ditjen Pajak (DJP), yang intinya kami men-support wacana tersebut.

Memang kami sudah berulang kali diskusi dan juga menyiapkan working group untuk memastikan dari sisi sistem, dan implementasi dari para members kami juga siap.

Yang pasti kami akan mendukung tapi mungkin kita perlu lihat dari sisi waktu implementasinya, karena dari 148 anggota mungkin tingkat kesiapannya beragam.

Ada yang sudah ready, ada yang mungkin masih perlu waktu lebih lama. Mungkin sinkronisasi dari sisi timing-nya sih memang kita perlu bersama lagi dengan DJP.

Adakah masukan seperti apa skema pajak yang ideal?
Untuk pajak penghasilan kami sebenarnya berharap pajaknya final bagi para lender agar lebih memudahkan. Selama ini kami belum jadi wapu atau wajib pungut. Jika menjadi wapu tentu akan mempermudah proses, sehingga yang namanya bukti potong itu sudah ada.

Kalau dari sisi pajak pertambahan nilai (PPN) saya rasa oke semuanya, tidak masalah karena ini bagian dari peran dari fintech lending. Tapi kemarin kami sempat bilang juga mungkin kalau untuk tahap awal, kaitan dengan PPN ini mungkin ada insentif khusus, karena peranan kami pada UKM.

Soal PPN ini yang kami suarakan atau kami diskusikan besarnya PPN-nya, agar bisa disesuaikan berkaitan dengan aktivitas kami untuk membantu UMKM supaya lebih rendah begitu.

Karena kami kan tujuannya kuga membantu UMKM, jadi mungkin fintech lending yang produktif, yang fokus ke UMKM bisa dapat insentif khusus kaitan dengan PPN tersebut, tidak 100%, mungkin di bawah itu karena kita tidak ada pendapatan lain di luar market tersebut.

Anda lama berkarier di perbankan, tetapi sekarang menyelami fintech lending?
Mungkin karena saya di perbankan, saya melihat sendiri bagaimana customer experience atau customer expectation-nya itu mungkin sudah berubah dibandingkan perbankan 15 tahun yang lalu.

Kami melihat bahwa yang namanya financial services itu segmen atau para customer-nya itu harapannya bisa lebih cepat, bisa lebih banyak accessible, tidak memakan waktu berlama-lama. Itu mungkin behavior yang muncul 6 tahun ini.

Saya juga melihat dengan makin banyaknya kaum milenial yang suka online, ini opportunity. Ketiga adalah dunia start up juga dengan capital di Indonesia tentu dengan berbagai unicorn dan sebelumnya saya lihat, wah ini berarti peluang akses permodalan pendanaan bisa lebih terbuka.

Inilah sebenarnya boleh dibilang mendasari saya mencoba membangun Investree dan bisnis modal fintech lending, yang banyak saya adopsi dari UK dan US, yang mana memang beberapa fintech lending fokus ke segmen produktif dan supply chain. dari situlah bermulanya Investree tersebut.

Setelah keluar dari banking, yang namanya start up kan harus full time, enggak harus setengah kaki jadi ya udah dimulailah journey untuk membangun Investree bersama dengan dua partner saya.

Kami membangun tim, kami membangun produk, kami membangun IT-nya, dan komunikasi dengan regulator. Jadi meskipun belum ada regulasinya, sebagai pemain awal kita bisa bersama-sama dengan OJK memberikan masukan framework terhadap regulasi tersebut.

Saya rasa itu yang menjadi salah satu milestone penting dalam perkembangan dan pertumbuhan industri fintech lending. OJK proaktif, OJK juga terbuka terhadap masukan, dan bagaimana kami bisa mem-balance regulasi yang prudent tapi juga pada saat yang sama mengedepankan inovasi.

Arti keluarga bagi kesuksesan Anda seperti apa?
Arti keluarga, apalagi kalau sekarang adalah bagaimana kita bisa balance semuanya. I think, one thing yang unik dari kerja di start up dibandingkan dengan korporasi adalah waktu balance-nya lebih banyak.

Waktu sebelum pandemi, saya masih bisa mengantar anak ke sekolah, saya masih menemani aktivitas anak di sekolah misalnya after class, main bola, berenang, dan sebagainya.

Kerja di start up ini dibandingkan korporasi, kita bisa membagi-bagi waktu dan mem-balance waktu dengan baik. Belum lagi untuk hobi olahraga, masing-masing bisa membagi porsi sesuai dengan apa yang kita rasa pas, waktu untuk keluarga, anak-anak.

Apalagi sekarang dengan pandemi, dengan kebanyakan kita work from home, saya rasa waktu dengan keluarga lebih balance, dan lebih banyak berinteraksi dengan anak-anak saya. Kebetulan anak-anak saya masih dalam usia nanggung lah, tentunya dibutuhkan interaksi yang lebih.

Saya pikir salah satu benefit keluar dari korporasi dan membangun bisnis start up adalah kita bisa menjadi lebih balance, termasuk antara keluarga dan hobbies.

Apa hobi Anda?
Saya ikut triathlon, sudah banyak races. Baru-baru ini, saya ikut Belitung Triathlon. Alhamdulillah setelah hampir satu tahun kami latihan atau races secara online atau virtual, kemarin diadakan oleh Indonesia Triathlon Series.

Ini hanya 35 peserta yang diundang, tapi tetap menjaga protokol kesehatan dengan baik. Ini mungkin akan menjadi suatu SOP new normal untuk lomba triathlon, maraton, dan sebagainya.

Sejak 5 tahun yang lalu, sejak di Investree, hobi saya ya triathlon, sepeda, berenang. Jadi berenangnya 1,5 kilometer, sepedanya 40 kilometer, larinya 10 kilometer. Kalau kadang-kadang jarak lebih jauh lagi berenangnya hampir 2 kilometer, sepedanya 90, larinya 21 kilometer.

Jadi itu bagian dari membangun mental endurance. Pagi- pagi sebelum aktivitas dimulai, biasanya 06.30 saya sudah mulai, jam 6 either berenang, either sepeda, either lari, jadi terbiasa. Apalagi di masa pandemi ini kan kita nggak hanya work from home, tapi bagaimana build immunity. (Rig/Bsi)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 08 Oktober 2024 | 11:15 WIB SEKJEN ASOSIASI UMKM INDONESIA (AKUMINDO) EDY MISERO:

‘DJP Perlu Membimbing UMKM dengan Cara Sederhana agar Patuh Pajak’

Kamis, 15 Agustus 2024 | 09:45 WIB KANDIDAT KETUA UMUM IKPI 2024-2029 VAUDY STARWORLD:

‘IKPI Selalu Dorong Perlakuan Sama di antara Kuasa Wajib Pajak’

Kamis, 15 Agustus 2024 | 09:20 WIB KANDIDAT KETUA UMUM IKPI 2024-2029 RUSTON TAMBUNAN:

‘Harusnya Konsultan Pajak Otomatis Masuk, Bukan Harus Sarjana Hukum’

Selasa, 06 Agustus 2024 | 10:50 WIB ASSOCIATE PARTNER OF DDTC CONSULTING GANDA CHRISTIAN TOBING:

‘Dispute Litigator Harus Punya Daya Pikir Kreatif saat Tangani Kasus’

BERITA PILIHAN

Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra