PARUH abad ke-7, dari Kufah, Persia, Imam Ali ibn Abi Talib menulis sebuah surat panjang kepada Malik Ibn al-Harith al-Asytar. Ia baru saja mengangkat al-Asytar menjadi Gubernur Mesir, wilayah yang beberapa tahun sebelumnya ditaklukkan pasukan Islam dari kekuasaan Bizantium.
Al-Asytar adalah panglima perang yang dikirim ke Mesir, saat Gubernur Mesir Muhammad ibn Abi Bakr meminta bantuan Kufah untuk meredam pemberontakan Amr ibn al-As. Ali lalu memerintahkan Muhammad kembali ke Kufah, dan mengangkat al-Asytar menjadi Gubernur Mesir.
“Wahai Malik al-Asytar, aku mengirimmu ke negeri yang pernah mengalami silih-bergantinya keadilan dan tirani. Orang-orang di negeri itu akan menilaimu seperti engkau menilai penguasa sebelum kamu. Mereka juga akan berpendapat tentang dirimu, seperti engkau berpendapat tentang penguasa itu.”
Kalimat pembuka dalam surat itu seperti membentangkan sejarah panjang Mesir di hadapan al-Asytar. Mesir pernah lama dalam cengkeraman Romawi, setelah sebelumnya di bawah kekuasaaan Firaun. Terakhir, Mesir berada di bawah kewenangan gereja yang berpusat di Bizantium.
Sejarah Mesir memang tak sepenuhnya indah. Negeri tersebut merasakan berbagai tiran dan penindasan, baik secara politik maupun keagamaan. Dalam suasana batin itu, surat Imam Ali terdengar seperti bisikan seorang kawan dekat: “Jangan kau ulangi lagi ketidakadilan itu. Praktikkan jenis kekuasaan yang lain.”
Kita mengetahui surat itu dari Nahj al-Balaghah (Jalan Kefasihan), suatu kumpulan khutbah, surat-surat, dan renungan khalifah ke-4 Ali Ibn Abi Talib. Kumpulan tersebut dirangkum oleh sastrawan Arab Abul-Hasan Muhammad ibn Al-Husayn Al-Musawi atau al-Sharif al-Radi pada abad ke-10.
Nahj al-Balaghah dianggap sebagai warisan keindahan literer yang menjadi kebanggaan umat Islam, terutama di kalangan penganut Syiah. Kualitas kebahasaan yang digunakan Imam Ali dalam kumpulan karya tersebut tidak kalah dengan bahasa yang dipakai penyair-penyair besar Arab ketika itu.
Memang, buku ini tidak populer di kalangan madrasah atau pesantren tradisional di Indonesia. Buku ini seperti hilang dalam tradisi Sunni, yang mayoritas dianut muslim di Indonesia. Sebagian kecil tokoh Sunni malah menganggap buku yang sudah ditranslasikan ke lebih dari 19 bahasa ini tidak otentik.
Namun, surat Imam Ali kepada Al-Asytar itu tetap terdengar seperti bisikan seorang kawan dekat. Di dalamnya ada filosofi kekuasaan, etika memerintah, batas-batas yang harus ditaati, cara mengelola birokrasi, menghadapi pebisnis, mengurus pasukan, dan memperlakukan rakyat.
Karena itu pula, dalam suratnya nomor 53 itu, Imam Ali menyinggung soal pajak. “Berhati-hatilah dalam soal pajak, sehingga pajak itu dapat membawa kebaikan bagi para pembayarnya. Sebab, nasib rakyat di sebuah negara tergantung pada para pembayar pajak,” katanya kepada al-Asytar.
Pajak, dalam perspektif politik Imam Ali, bukanlah praktik pemerasan negara terhadap rakyat seperti terjadi di Mesir pada masa kekuasaan Romawi. Pajak berkorelasi dengan penciptaan barang publik demi kemaslahatan umum, bukan untuk membiayai kemewahan raja dan bangsawan.
Imam Ali mendudukkan pajak sebagai instrumen negara sesuai dengan fungsinya memakmurkan rakyat, meredistribusi pendapatan. “Penguasa yang hanya peduli dengan urusan menarik pajak tanpa membangun, maka dia pelan-pelan akan menghancurkan negara dan rakyat sekaligus,” katanya.
Nasihat Imam Ali kepada al-Asytar boleh jadi mengingatkan kita pada slogan yang turut menghela pergerakan kemerdekaan Amerika Serikat pada abad ke-18, No Taxation without Representation. Kebaikan bagi pembayar pajak harus diutamakan. Suara pembayar pajak harus didengar. Bahkan, ia harus diwakili.
“Jika mereka mengeluh tentang beratnya pajak, turunkan tarifnya ke ukuran yang bisa memperbaiki kedudukan mereka. Pengurangan itu untuk menyingkirkan kesedihan mereka. Jangan iri, karena itu merupakan investasi yang akan mereka kembalikan dalam bentuk kemakmuran negara,” katanya.
Hari ini boleh jadi Anda akan mengingat kembali empat prinsip pemungutan pajak Adam Smith yang muncul pada abad ke-18, atau teori supply side economics Arthur Laffer pada abad ke-20. Tapi Imam Ali, seperti seorang kawan dekat, telah membisikkan semua itu ke telinga kita pada abad ke-7. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.