Ahsanul Fahmi
,ALBERT Bushnell Hart, seorang sejarawan dari Harvard University, pernah mengatakan bahwa pajak adalah harga yang harus dibayar oleh masyarakat beradab untuk memperoleh kesempatan agar tetap beradab. Pernyataan Hart menegaskan bahwa pajak menjadi elemen penting dalam pembangunan sebuah bangsa.
Peran penting pajak juga disinggung oleh Ibnu Khaldun, ekonom asal Tunisia. Dia menyebutkan bahwa pemerintah perlu memungut pajak dari rakyatnya. Ibnu Khaldun beranggapan suatu negara tidak akan tumbuh apabila tidak ada pajak yang dihimpun dari masyarakat.
Kutipan dari dua tokoh tersebut menggarisbawahi pentingnya peran pajak terhadap berjalannya suatu negara. Karenanya, tidak heran jika sedari dulu hingga kini, pemerintah berlomba-lomba menggalakkan kepatuhan dalam membayar pajak.
Bicara soal pajak, tentunya telinga kita tidak asing mendengar istilah tax ratio. Banyak yang bilang makin tinggi angka tax ratio, makin maju pula sebuah negara. Kok bisa? Sebenarnya apa itu tax ratio?
Secara sederhana, tax ratio atau rasio perpajakan adalah perbandingan dari penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) secara nominal sebuah negara. Tax ratio menjadi alat ukur kinerja perpajakan suatu negara. Angka tax ratio memberi gambaran bagaimana sebuah negara membiayai kebutuhannya dengan sumber daya sendiri.
Di Indonesia, faktanya, angka tax ratio masih tergolong rendah. Tax ratio Indonesia 'hanya' 10,4% pada 2022, naik jika dibandingkan kinerjanya pada 2021, yakni 9,11% (Kemenkeu, 2023). Angka itu masih jauh di bawah tax ratio ideal bagi Indonesia menurut IMF, yakni 15%.
Kinerja tax ratio, salah satunya, didukung dengan tingkat kepercayaan wajib pajak terhadap otoritas. Karenanya, otoritas perlu menyiapkan strategi yang pas untuk meyakinkan publik bahwa pajak yang terkumpul memang digunakan sebaik-baiknya untuk menyejahterakan masyarakat banyak.
Mengingat kenyataan yang demikian, kita menyadari bahwa pekerjaan rumah (PR) untuk meningkatkan tax ratio tidaklah mudah. Lalu bagaimana jalan keluarnya?
Salah satu solusi menarik yang penulis sodorkan melalui tulisan ini adalah upaya peningkatan kesadaran pajak (tax awareness) kepada generasi Z (gen-Z). Seperti diketahui, gen-Z adalah kelompok masyarakat Indonesia yang lahir dalam kurun waktu 1997–2012 sehingga kini berusia 11–26 tahun.
Artinya, sebagian dari gen-Z sudah berstatus sebagai wajib pajak dan memiliki hak pilih dalam pemilihan umum (pemilu) tahun depan. Sebagai informasi, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023, jumlah populasi gen-Z adalah sekitar 60 juta orang.
Peran Gen-Z dalam Peningkatan Tax Ratio
Berdasarkan data BPS, populasi gen-Z mewakili sekitar 22% total penduduk Indonesia. Hal ini sejalan dengan fenomena bonus demografis yang tengah dialami Indonesia. Besarnya populasi gen-Z saat ini menjadikannya modal besar dalam menentukan nasib bangsa Indonesia ke depannya.
Dengan begitu, edukasi pajak yang dilakukan oleh otoritas semestinya lebih banyak menyasar gen-Z. Penulis menyadari, peningkatan tax ratio bukanlah pekerjaan muda. Namun, mengedukasi 'generasi tua' seperti generasi Y (usia 28-43 tahun) tentang tax awareness bukan langkah efektif.
Perlu dicatat, pada umumnya masyarakat yang tergolong generasi Y sudah memasuki dunia kerja, berbeda dengan gen-Z yang sebagian masih berada di tingkat sekolah atau perguruan tinggi. Karenanya, edukasi pajak yang menyasar gen-Z diharapkan memiliki manfaat dalam skala yang lebih besar.
Penulis berpandangan peningkatan tax awareness bagi gen-Z merupakan solusi jitu untuk meningkatkan tax ratio. Pendidikan pajak yang didapat sejak dini bakal lebih efektif dalam menumbuhkan kepatuhan bagi wajib pajak. Apalagi, gen-Z akan menjadi wajib pajak dan memiliki penghasilan sendiri dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan.
Kesadaran pajak yang tinggi diyakini bakal menjadikan mereka sebagai wajib pajak yang patuh, sehingga berdampak positif terhadap penerimaan. Dengan begitu, angka tax ratio Indonesia juga akan meningkat.
Makin tinggi tax ratio suatu negara, makin lebar pula kemampuan pemerintah untuk mengandalkan APBN-nya sebagai modal pembangunan. Makin tinggi tax ratio, makin berkurang ketergantungan negara terhadap utang.
Penerimaan pajak yang sehat nantinya, bisa menjadikan Indonesia sebagai negara yang mandiri dalam membiayai pembangunan. Negara juga pada akhirnya memiliki kapasitas yang cukup untuk melindungi hak-hak warganya.
Sebagai penutup, pernyataan Arthur Vanderbilt, seorang pakar hukum AS, terdengar relevan dengan kondisi saat ini. "Pajak adalah urat nadi pemerintah. Tidak ada wajib pajak boleh lepas dari porsinya dalam membayarkan pajak secara adil."
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.