JASA intragrup merupakan transaksi afiliasi yang bersifat khusus dan lazim dilakukan perusahaan multinasional. Tujuannya untuk memberi manfaat dan kesediaan bagi satu atau lebih anggota grup melalui cakupan jasa yang luas ataupun terpusat.
Adapun transaksi intragrup lebih diminati suatu grup perusahaan karena menciptakan economies of scale sebagai pendukung kegiatan afiliasi. Dengan demikian, ada dukungan dalam upaya meningkatkan profitabilitas perusahaan.
Dalam praktiknya, transaksi jasa intragrup cenderung tidak memiliki bukti fisik, seperti dokumen pengiriman lintas negara pada transaksi barang berwujud. Akibatnya, proses penentuan harga wajar atas transaksi jasa menjadi lebih kompleks.
Kondisi tersebut menarik perhatian serius dari otoritas pajak, terutama dalam konteks penetapan harga transfer (transfer pricing). Kesulitan verifikasi kebenaran transaksi menjadi kendala utama bagi otoritas pajak dalam menjalankan fungsinya.
Adapun Bab II Huruf B Lampiran I SE-50/PJ/2013 memuat ketentuan penilaian dokumen eksistensi untuk memastikan jasa telah benar-benar terjadi (service has been rendered) sesuai dengan prinsip prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
Penilaian dilakukan melalui penelitian yang mendalam terhadap kebutuhan jasa, termasuk kualifikasi penyedia jasa, pihak-pihak yang terlibat dalam penyediaan jasa, hingga dokumen serta hasil penyediaan jasa tersebut.
Transaksi jasa intragrup acap kali menjadi titik konflik antara wajib pajak dan otoritas pajak. Salah satu pertanyaan krusial yang muncul adalah apakah transaksi pemberian jasa tersebut telah benar-benar terjadi (Darussalam et al., 2013).
Mayoritas penyesuaian atau koreksi pada transaksi jasa intragrup disebabkan oleh ketidakmampuan wajib pajak dalam memberikan bukti yang memadai terkait dengan terjadinya transaksi (Simamora & Hermawan, 2018).
Pada era sekarang, adanya dukungan teknologi informasi dalam pelaksanaan transaksi jasa intragrup telah mengubah lanskap pembuktian dalam sengketa pajak. Dukungan teknologi informasi tersebut khususnya melalui email dan internet.
Namun, hingga saat ini, belum terdapat regulasi yang mengatur secara spesifik tentang dokumen/informasi yang harus disimpan wajib pajak untuk membuktikan kewajaran transaksi jasa intragrup. Ketiadaan standar mengenai bukti elektronik yang dapat diterima itu menjadi sumber potensial sengketa antara wajib pajak dan otoritas pajak.
Dalam teori pembuktian, terdapat beberapa kriteria untuk menilai suatu alat bukti dapat digunakan dalam persidangan (Fuady, 2012). Kriteria itu antara lain admisible (diakui dalam undang-undang), reliability (dapat dipercaya keabsahannya), necessity (diperlukan untuk membuktikan fakta), dan relevance (mempunyai relevansi dengan fakta yang dibuktikan).
Prinsip dalam teori pembuktian tersebut seharusnya dapat menjadi pedoman bagi pembuktian alat bukti elektronik. Apalagi, alat bukti elektronik merupakan transformasi dari alat bukti tertulis manual melalui media elektronik.
Keabsahan suatu alat bukti elektronik telah ditentukan dalam Pasal 6 UU ITE. Sesuai dengan pasal ini, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasinya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dipertanggungjawabkan sehingga dapat menerangkan suatu keadaan.
Merujuk pada prinsip persamaan secara fungsional (functional equivalent approach) yang dikemukakan Edmon Makarim (2015), dokumen elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila memenuhi 3 kriteria.
Pertama, informasi dianggap ‘tertulis’ apabila dapat disimpan dan ditemukan kembali. Kriteria ini menekankan pada aspek ketersediaan informasi.
Kedua, informasi dianggap ‘asli’ apabila saat dibaca kembali tidak mengubah substansi atau terjamin integritasnya. Kriteria ini berkaitan dengan keaslian dan keutuhan informasi.
Ketiga, informasi dianggap ‘bertanda tangan’ apabila terdapat informasi penjelasan adanya suatu subjek hukum yang bertanggung jawab. Kriteria ini menekankan pada aspek identifikasi dan tanggung jawab.
Alat bukti elektronik yang kerap menjadi dokumen eksistensi bagi wajib pajak atas transaksi jasa intragrup serta menjadi permasalahan bagi otoritas pajak di Indonesia yakni berupa surat elektronik atau email.
Masalah utama yang kerap muncul adalah penilaian keabsahan dalam menentukan pemberi serta penerima jasa yang diberikan melalui email tersebut. Permasalahan lain adalah sudah cukup atau tidaknya pemberian jasa melalui email untuk membuktikan bahwa jasa telah benar-benar diberikan.
Mengacu pada hakikat, prinsip, dan teori pembuktian, alat bukti seharusnya cukup apabila telah memberikan kepastian dan gambaran atas peristiwa dan/atau kegiatan tertentu. Sesuai dengan pendapat Joni Larson (2013), agar dapat diterima, bukti harus cenderung menunjukkan bahwa suatu fakta mungkin terjadi.
Dalam konteks sengketa transaksi jasa intragrup, email dapat dianggap cukup dan telah diberikan oleh pemberi jasa jika sudah memberikan gambaran atas jasa yang diberikan. Syaratnya adalah email tersebut menunjukkan fakta, relevansi, serta identitas pemberi dan penerima jasa yang bertanggung jawab.
Dengan demikian, apabila melihat dari prinsip dan teori pembuktian, bukti elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasi dapat dijamin keutuhannya, dipertanggungjawabkan, diakses, serta ditampilkan sehingga bisa menerangkan suatu keadaan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang sekaligus menjadi pemenang lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.