LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2021

Urgensi Penerapan Pajak Sampah Makanan

Redaksi DDTCNews | Minggu, 12 September 2021 | 16:00 WIB
Urgensi Penerapan Pajak Sampah Makanan

Ellicia Emerliawati,
Denpasar, Bali

ISU mengenai sampah makanan (food waste) makin menjadi sorotan. Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Selain darurat pandemi Covid-19, Indonesia juga darurat sampah makanan. Sekiranya begitulah ungkapan yang menggambarkan potret problematika sampah makanan di Indonesia.

Secara sederhana, food waste merupakan makanan bergizi yang dapat dikonsumsi tetapi terbuang sia-sia. Food and Agriculture Association (FAO) mendefiniskan sampah makanan sebagai sampah pada proses produksi makanan atau setelah konsumsi yang berhubungan dengan perilaku penjual dan konsumen (Parfit et.al,2010).

Dewasa ini, polemik sampah makanan di Indonesia tebilang makin mengkhawatirkan. Hal ini tidak terlepaskan dari fakta Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara produsen sampah pangan terbanyak di dunia.

Dalam laporan Food Sustainable Index pada 2018 yang diterbitkan The Economist Intellegent Unit disebutkan setiap penduduk Indonesia rata-rata membuang sekitar 300 kg makanan per tahunnya. Sampah makanan ini muncul dari rantai distribusi dan konsumsi berupa produk yang sudah kedaluwarsa, sisa potongan sayur atau buah, dan kebiasaan menyisakan makanan.

Ironisnya, fenomena ini seakan kontras dengan realitas ketimpangan ekonomi dan masalah stunting yang terjadi di Indonesia. Ketika banyak makanan terbuang, ada begitu banyak orang yang sedang kelaparan dan kesulitan untuk makan.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015, jika 13 juta ton sampah makanan di Indonesia tiap tahunnya dikelola dengan baik dapat menghidupi lebih dari 28 juta orang atau setara dengan 11% penduduk miskin di Indonesia. Oleh sebab itu, sampah makanan sangat penting untuk dikendalikan.

Salah satu alasan utama perlunya pengendalian sampah makanan adalah eksternalitas negatif yang ditimbulkannya. Eksternalitas negatif tersebut sangat membahayakan kualitas lingkungan.

Pertama, sampah makanan yang menumpuk dan membusuk di tempat pembuangan akan menghasilkan emisi gas metana. Gas metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang memicu peningkatan pemanasan global. Gas ini 25 kali lebih berbahaya dibandingkan dengan karbondioksida dalam merangkap panas di atmosfer (Duncan, 2018).

Kedua, ada risiko bencana ledakan sampah akibat penumpukan food waste. Ketiga, ada risiko dihasilkannya air lindi, yaitu cairan dari sampah yang mengandung unsur berbahaya dan dapat mencemari air tanah serta ekosistem sungai.

Keempat, pemborosan air dan minyak bumi sebab saat memproduksi makanan dibutuhkan banyak air dan minyak bumi. Kelima, inefisiensi penggunaan tanah atau lahan sebagai tempat penumpukan sampah.

Lebih lanjut, Bappenas menyampaikan sampah makanan menyebabkan kerugian ekonomi Rp213 triliun hingga Rp551 triliun pertahunnya. Nilai tersebut setara dengan 4%-5% produk domestik bruto (PDB). Di samping itu, sampah makanan juga berdampak secara sosial. Energi yang hilang setara dengan porsi makan 61juta-125juta orang atau 29%-47% dari populasi Indonesia.

Pajak Sampah Makanan

KONDISI tersebut makin diperparah dengan tingkat usaha pengurangan sampah makanan yang sangat rendah (The Economist Intelligence Unit, 2017). Berangkat dari kontradiksi antara potensi dan polemik tersebut, lahirlah justifikasi untuk mengenakan pajak atas sampah makanan.

Indonesia perlu menengok best practice implementasi pajak atas sampah makanan di beberapa wilayah lain, seperti Korea selatan, Seattle, dan Washington yang menerapkan food waste disposal tax.

Sistem yang diterapkan wilayah tersebut adalah pay as you throw. Pemerintah memungut biaya atas sampah yang melebihi kuota tempat pembuangan sampah. Makin banyak seseorang menghasilkan sampah maka makin banyak pula biaya yang harus dibayarkan.

Sebagai contoh, skema pay as you throw di Korea Selatan terbagi menjadi 3, yaitu kantong plastik standar yang berbayar, penempelan stiker berbayar, dan penggunaan teknologi kartu magnetik pada tempat sampah makanan.

Besarnya biaya pembayaran bergantung pada berat sampah setiap bulannya yang diukur melalui timbangan yang disediakan. Kebijakan ini sukses meningkatkan daur ulang sampah makanan di Korea selatan dari 2% pada 1995 menjadi 95% pada 2009.

Selain itu, dampak dari kebijakan itu, jumlah sampah makanan yang dibuang ke tempat pembuangan sampah menurun drastis (Innovation for Sustainable Development Network, 2019). Pajak atas sampah makanan adalah mekanisme yang tepat bagi pemerintah untuk menginternalisasikan eksternalitas negatif dari lingkungan dan food insecurity (Katare et.al,2016).

Dalam konteks Indonesia, skema pemajakan yang tepat dapat berupa earmarking tax. Adapun earmarking tax merupakan pajak yang dipungut untuk membiayai tujuan tertentu (Rosdiana dan Irianto, 2014).

Earmarking tax sangat dekat dengan pajak daerah seperti pajak rokok, pajak penerangan jalan, dan pajak kendaraan bermotor (DDTC, 2020). Pajak atas sampah makanan ini dapat menjadi ekstensifikasi objek pajak daerah yang menyasar sampah restoran, rumah makan, dan katering.

Dengan skema earmarking tax, pajak atas sampah makanan dipungut daerah dan hasilnya dapat dialokasikan untuk pengentasan masalah pangan, seperti kelaparan dan stunting pada daerah tersebut. Dengan demikian, scope-nya akan menjadi lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi permasalahan secara langsung di daerah bersangkutan.

Secara multidimensional, pengendalian sampah makanan sangatlah krusial, baik dari segi finansial individu, ekonomi secara general, sosial, maupun kualitas lingkungan. Secara filosofis, hal ini sejalan dengan tujuan ke-2 dan ke-12 dari Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu tanpa kelaparan (zero hunger) serta pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan (responsible consumption and production).

Pada akhirnya, selain menunjukkan eksistensi fungsi regulerend dari pajak, kebijakan pemajakan atas sampah makanan akan membangun kesadaran akan sampah makanan sehingga mendorong pola konsumsi dan produksi yang lebih bijak dan tidak konsumtif.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

14 September 2021 | 13:20 WIB

artikelnya mengedukasi banget semangat kak 🤗

14 September 2021 | 11:13 WIB

semoga indonesia bisa menerapkan food waste disposal tax ini secepatnya dengan efektif agar bisa terhindar dari masalah sampah ini😭

13 September 2021 | 11:20 WIB

mantap bgt kak 🙌

13 September 2021 | 10:41 WIB

wah keren sekali kak, semoga kebijakannya bisa diterapkan di Indonesia👍

12 September 2021 | 22:59 WIB

👍🏻👍🏻

12 September 2021 | 22:29 WIB

ini mah juaranyaa!! keren banget ellll <3

12 September 2021 | 22:18 WIB

wah menarik sekali 👍🏻

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 27 Desember 2024 | 17:00 WIB KILAS BALIK 2024

April 2024: WP Terpilih Ikut Uji Coba Coretax, Bonus Pegawai Kena TER

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:30 WIB KABUPATEN KUDUS

Ditopang Pajak Penerangan Jalan dan PBB-P2, Pajak Daerah Tembus Target

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Harga Tiket Turun, Jumlah Penumpang Pesawat Naik 2,6 Persen

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:30 WIB LAPORAN TAHUNAN DJP 2023

Rata-Rata Waktu Penyelesaian Pengaduan Perpajakan di DJP Capai 9 Hari

BERITA PILIHAN