BERITA PAJAK HARI INI

Bupot PPh 21 Tetap Dibuat Meski Penghasilan Pegawai di Bawah PTKP

Redaksi DDTCNews | Rabu, 24 Januari 2024 | 09:00 WIB
Bupot PPh 21 Tetap Dibuat Meski Penghasilan Pegawai di Bawah PTKP

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Pemotong pajak tetap harus membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21 meskipun jumlah penghasilan pegawai di bawah penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (24/1/2024).

Melalui Pasal 3 ayat (2) PER-2/PJ/2024, DJP memerinci kondisi yang mengharuskan pemotong pajak tetap membuat bupot PPh Pasal 21. Kondisi tersebut di antaranya adalah tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 karena jumlah penghasilan pegawai di bawah PTKP.

“Bupot PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26…tetap dibuat dalam hal…tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 karena jumlah penghasilan yang diterima tidak melebihi PTKP,” bunyi Pasal 3 ayat (2) huruf a PER-2/PJ/2024.

Baca Juga:
Pedagang Gunakan QRIS untuk Pembayaran, Konsumen Bayar PPN 12 Persen?

Selain tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 karena jumlah penghasilan yang diterima tidak melebihi PTKP, terdapat 4 kondisi lain yang mengharuskan pemotong pajak untuk tetap membuat bupot PPh Pasal 21/26.

Pertama, pemotong pajak tetap harus membuat bupot PPh Pasal 21 dalam hal jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong nihil. Adapun jumlah PPh Pasal 21 nihil dikarenakan adanya surat keterangan bebas (SKB) atau dikenakan tarif 0%.

Kedua, pemotong pajak tetap harus membuat bupot PPh Pasal 21 dalam hal PPh Pasal 21 tersebut ditanggung pemerintah (DTP) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Baca Juga:
Sengketa Yuridis Pengenaan PPN atas Jasa Kecantikan

Ketiga, pemotong pajak tetap harus membuat bupot PPh Pasal 21 dalam hal PPh Pasal 21 tersebut diberikan fasilitas PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Keempat, pemotong pajak tetap harus membuat bupot PPh Pasal 26 meskipun jumlah PPh Pasal 26 yang dipotong nihil berdasarkan ketentuan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) yang ditunjukkan dengan adanya surat keterangan domisili (SKD) dan/atau tanda terima SKD wajib pajak luar negeri.

Selain kewajiban pembuatan bukti pemotongan PPh Pasal 21, ada pula ulasan pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memangkas tarif pajak hiburan. Ada pula ulasan mengenai perlunya pencantuman NPWP saat membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21 di e-bupot 21/26.

Baca Juga:
Konsep PPN, Deviasi, dan Isu Kenaikan PPN 12%

Berikut ulasan berita perpajakan selengkapnya:

Kemendagri Izinkan Pemda Pangkas Tarif Pajak Hiburan

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900.1.13.1/403/SJ memungkinkan kepala daerah untuk mengenakan PBJT dengan tarif lebih rendah dari 40% atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.

Dalam surat edaran tersebut, kepala daerah dapat memberikan insentif fiskal sesuai dengan Pasal 101 ayat (1) UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) dan Pasal 99 ayat (3) PP 35/2023.

"Kepala daerah/wakil kepala daerah supaya segera berkomunikasi dengan para pelaku usaha di wilayahnya terkait pemberian insentif fiskal dimaksud dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi khususnya para Pelaku Usaha yang baru tumbuh kembang pasca pandemi Covid-19 dan juga untuk mengendalikan inflasi," bunyi SE 900.1.13.1/403/SJ. (DDTCNews)

Baca Juga:
Berlaku Mulai 5 Januari 2025, Begini Penghitungan Opsen Pajak

Bukti Potong PPh 21 Harus Cantumkan NPWP atau NIK, Tidak Boleh Kosong

Aplikasi e-Bupot 21/26 tidak memungkinkan pemotong pajak untuk untuk membuat bukti potong PPh Pasal 21 atas pemberian penghasilan kepada orang pribadi yang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Kalaupun orang pribadi penerima penghasilan memang tidak memiliki NPWP, pemotong pajak harus mencantumkan nomor induk kependudukan (NIK) dari orang pribadi tersebut.

"Kolom NIK ini wajib diisi jika penerima penghasilan yang dipotong tidak memiliki NPWP," tulis DJP dalam buku Petunjuk Penggunaan Aplikasi e-Bupot 21/26. (DDTCNews)

Baca Juga:
Masih Ada Fasilitas Kepabeanan Tak Dimanfaatkan, DJBC Beri Penjelasan

Potensi Penerimaan Pajak Digital Belum Optimal, Pengusaha Usul Begini

Kadin Indonesia menilai penerimaan pajak di sektor perdagangan elektronik atau e-commerce yang belum optimal perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah.

Tercatat, realisasi penerimaan PPN perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau pajak digital pada 2023 hanya Rp6,76 triliun, padahal Bank Indonesia mencatat transaksi e-commerce mencapai Rp453,75 triliun.

Dengan tarif PPN 11%, potensi penerimaan PPN PMSE tahun lalu mencapai Rp49,91 triliun. Artinya, ada potensi pajak yang tidak terpungut sebesar Rp43,15 triliun.

Baca Juga:
Catat! Dokumen WP Badan Era Coretax Diteken Pakai Sertel Pengurus

Wakil Ketua Umum 1 Kadin Indonesia Sarman Simanjorang mengatakan, hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah tidak mampu menarik pajak dari transaksi e-commerce yang mencapai Rp453,75 triliun ini. (bisnis.com)

Komwasjak: Instansi yang Paling Banyak Diadukan adalah DJP

Ditjen Pajak (DJP) menjadi instansi yang paling banyak diadukan ke Komite Pengawas Perpajakan (Komwasjak).

Dalam sebuah unggahan di Instagram, Komwasjak menyatakan telah menerima pengaduan sepanjang 2023. Tanpa menyebut jumlahnya, Komwasjak mengatakan telah menerima pengaduan dari masyarakat terkait dengan permasalahan perpajakan.

Baca Juga:
Penghitungan PPh 21 Pegawai Tidak Tetap untuk Masa Pajak Desember

“Salah satu wewenang yang dimiliki oleh Komwasjak adalah menerima pengaduan. … Instansi yang paling banyak diadukan adalah DJP,” sebut Komwasjak.

Dari keseluruhan pengaduan yang diterima Komwasjak pada 2023, DJP diadukan paling banyak, yakni 84%. Sisanya ada Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) sebanyak 9%, lainnya sebanyak 4%, serta Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sebanyak 3%. (DDTCNews)

Pajak Rokok Elektrik Belum Tentu Ampuh Tekan Konsumsi? Ini Analisisnya

Pengenaan pajak terhadap rokok elektrik yang diatur melalui PMK 143/2023 dinilai belum tentu efektif mengurangi angka konsumsi rokok.

Baca Juga:
Analisis Kesebandingan dalam Tahapan Penerapan PKKU

Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) Kurnia Dwi Artanti menjelaskan rokok elektrik tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan rokok konvensional. Sebab, kedua produk tersebut sama-sama memiliki kandungan nikotin yang dapat menyebabkan kecanduan.

"Rasa kecanduan ini yang akan menyebabkan seseorang terus merokok. Rasa kecanduan juga bisa mengalahkan harga, jadi berapapun harganya mereka akan tetap membeli," jelasnya.

Nia menerangkan ada alternatif lain yang bisa dilakukan untuk mengurangi angka penggunaan rokok. Alternatif tersebut adalah menggencarkan penegakan implementasi peraturan kawasan tanpa asap rokok. (DDTCNews) (rig)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

Kay Sah 24 Januari 2024 | 21:53 WIB

Pajak E-Commerce, heran dgn bapak dari Komwas Pajak Kadin itu. PPN itu kan mekanismenya PM PK. Masa iya menghitung potensi setoran PPN dari tarif PPN dikali Omset ??? Bapaknya abis minum apa ya ? 😆

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 27 Desember 2024 | 15:15 WIB KONSULTASI PAJAK

Pedagang Gunakan QRIS untuk Pembayaran, Konsumen Bayar PPN 12 Persen?

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Yuridis Pengenaan PPN atas Jasa Kecantikan

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:00 WIB KELAS PPN

Konsep PPN, Deviasi, dan Isu Kenaikan PPN 12%

Jumat, 27 Desember 2024 | 13:30 WIB UU HKPD

Berlaku Mulai 5 Januari 2025, Begini Penghitungan Opsen Pajak

BERITA PILIHAN
Jumat, 27 Desember 2024 | 15:15 WIB KONSULTASI PAJAK

Pedagang Gunakan QRIS untuk Pembayaran, Konsumen Bayar PPN 12 Persen?

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:00 WIB KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu Pembukuan dalam bidang Kepabeanan?

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Yuridis Pengenaan PPN atas Jasa Kecantikan

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:00 WIB KELAS PPN

Konsep PPN, Deviasi, dan Isu Kenaikan PPN 12%

Jumat, 27 Desember 2024 | 13:30 WIB UU HKPD

Berlaku Mulai 5 Januari 2025, Begini Penghitungan Opsen Pajak

Jumat, 27 Desember 2024 | 12:30 WIB LAPORAN BELANJA PERPAJAKAN

Masih Ada Fasilitas Kepabeanan Tak Dimanfaatkan, DJBC Beri Penjelasan

Jumat, 27 Desember 2024 | 12:00 WIB PMK 81/2024

Catat! Dokumen WP Badan Era Coretax Diteken Pakai Sertel Pengurus

Jumat, 27 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 168/2023

Penghitungan PPh 21 Pegawai Tidak Tetap untuk Masa Pajak Desember

Jumat, 27 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Analisis Kesebandingan dalam Tahapan Penerapan PKKU

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jamin Stimulus Ekonomi Efektif, Birokrasi Penyaluran Perlu Dipermudah