PAJAK adalah ongkos peradaban. Kutipan terkenal dari Hakim Agung Amerika Serikat Oliver Wendell Holmes Jr. (1927) tersebut, kerap diletakkan dalam konteks peran serta masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui pajak dan pungutan serupa, masyarakat sejatinya telah membiayai berbagai keperluan negara dalam penyediaan barang dan pelayanan publik.
Lantas, apakah kutipan di atas juga relevan di Indonesia? Bagaimana sesungguhnya kontribusi kita, sebagai pembayar pajak, dalam membangun peradaban bangsa?
Pertanyaan di atas tentu bisa dijawab melalui serangkaian konsep, teori, data, dan studi empiris. Namun, melalui artikel ini, penulis ingin menyampaikan perspektif berbeda dengan ilustrasi sederhana yang bersifat menggugah.
Ilustrasi yang dikemukakan meminjam gagasan tentang titik kegiatan ekonomi yang dikenakan pajak dan pungutan oleh pemerintah (Vermeend, van der Ploeg, dan Timmer, 2009). Gagasan tersebut kemudian diletakkan dalam konteks Indonesia melalui cerita tentang Tuan A.
Alkisah, Tuan A adalah seorang wajib. Tuan A bekerja sebagai karyawan di suatu perusahaan. Atas penghasilan selama setahun, Tuan A dikenakan kewajiban pajak penghasilan (PPh) yang dipotong oleh perusahaannya melalui mekanisme PPh Pasal 21.
Beban PPh dihitung dengan cara mengalikan penghasilan kena pajak (penghasilan dikurangi penghasilan tidak kena pajak/PTKP) dengan tarif progresif—antara 5% hingga 35%—sesuai dengan kelompok penghasilannya.
Adanya agenda pengenaan PPh atas natura dan/atau kenikmatan turut berdampak bagi Tuan A yang memperoleh berbagai fasilitas dari perusahaan. Perubahan tersebut akan menambah total PPh yang harus dibayar oleh Tuan A.
Sisa penghasilan yang telah dikurangi beban PPh tersebut sering diistilahkan sebagai disposable income. Oleh Tuan A, disposable income dipergunakan untuk melakukan kegiatan konsumsi sehari-hari yang mencakup berbagai barang dan jasa. Pada titik konsumsi inilah pajak pertambahan nilai (PPN) dikenakan bagi konsumen akhir, seperti halnya Tuan A, dengan tarif flat 11%.
Beban PPN yang dihadapi Tuan A bisa jadi bervariasi, semisal dengan mekanisme tarif dengan DPP nilai lain atau adanya fasilitas atas barang/jasa yang dikonsumsinya. Konsumsi beberapa jenis barang/jasa yang tidak dipungut PPN juga tetap bisa dikenakan pajak di tingkat pemerintah kabupaten/kota, seperti pajak hiburan, pajak restoran, dan pajak hotel (kini dikelompokkan sebagai pajak atas barang dan jasa tertentu/PBJT).
Kontribusi pajak Tuan A juga berpotensi meningkat melalui konsumsi barang tertentu. Misalkan, ia melakukan pembelian barang mewah seperti kendaraan bermotor yang dikenakan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Kontribusi juga bertambah lagi jika ia mengkonsumsi barang penghasil eksternalitas negatif seperti rokok yang dikenakan cukai.
Lebih lanjut, Tuan A memutuskan untuk berinvestasi dengan uang yang tersisa dari kegiatan konsumsi. Atas investasi dalam berbagai instrumen dan kegiatan Tuan A juga turut dikenakan berbagai pungutan pajak.
Sebagai contoh, penghasilan atas bunga tabungan deposito dikenakan PPh final 20%. Penghasilan dividen dari penyertaan modal ke perusahaan dalam negeri yang tidak diinvestasikan kembali dikenakan PPh final 10%. Penghasilan atas bunga surat berharga negara ORI dikenakan PPh final 10% dari sebelumnya 15%.
Jangan lupa, Tuan A juga perlu menyertakan bea meterai dengan nilai Rp10.000 pada berbagai dokumen hukum mengenai transaksi investasi yang dilakukannya.
Dari akumulasi disposable income yang tidak digunakan untuk konsumsi dan investasi tersebut, Tuan A akhirnya dapat membeli sebuah rumah dan mobil. Atas pengalihan kepemilikan kedua aset tersebut kepada dirinya, Tuan A harus membayar dua jenis pajak daerah. Adapun pajak yang dimaksud yaitu bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) serta bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB).
Sementara itu, atas kepemilikan rumah dan mobil tersebut, ia harus membayar pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) dan pajak kendaraan bermotor (PKB).
Kisah kontribusi pajak Tuan A belum tentu usai sampai di sini. Interaksinya dengan pengenaan pajak akan terus berkembang seiring dengan kian bervariasi aktivitas, status, dan level ekonomi Tuan A.
Ilustrasi Tuan A di atas sesungguhnya memperlihatkan kontribusi pajak kita, baik besar maupun kecil, bagi pembangunan peradaban Indonesia. Kontribusi melalui pembayaran pajak, mulai dari pajak yang berbasis penghasilan, konsumsi, kekayaan (aset), dan sebagainya sebagaimana dijelaskan di depan.
Kisah Tuan A turut juga memperlihatkan bahwa kita kerap tidak menyadari kontribusi pajak kita bagi keberlangsungan negara Indonesia. Contoh, kita sering tanpa sadar sebenarnya telah membayar bermacam pajak yang diadministrasikan oleh pihak lain. Pembayaran itu melalui skema pemotongan dan pemungutan. Misal, pembayaran PPN ketika kita membeli barang dan jasa seperti yang diceritakan di atas.
Kontribusi kolektif kita sebagai pembayar pajak jelas menentukan peta jalan pembangunan Indonesia. Dinamika terkini, terkait integritas oknum yang menyalahgunakan kekuasaan harusnya tidak dengan mudah dijadikan pembenaran untuk menolak patuh dan taat membayar pajak.
Pajak yang dibayarkan justru menjadi tiket bagi kita untuk bersuara mengawal pembangunan ini. Tanpa pajak kita, cita-cita bangsa sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 akan lebih sulit terwujud.
Sebagai penutup, ilustrasi di atas kembali menegaskan bahwa kitalah pihak yang menanggung ongkos peradaban Indonesia. Kontribusi kita dalam mendanai pembangunan secara tidak langsung menempatkan pembayar pajak sebagai ‘pemegang saham’ negara Indonesia.
Selaku pemegang saham, tentunya kita berhak, paling tidak untuk memperoleh timbal balik secara tidak langsung, pelayanan, transparansi, keadilan, dan kepastian hukum dari negara kita Indonesia tercinta.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.