LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2021

Pajak Karbon dan Mitigasi Risiko Daya Saing

Redaksi DDTCNews | Senin, 23 Agustus 2021 | 16:30 WIB
Pajak Karbon dan Mitigasi Risiko Daya Saing

Firman Tatariyanto,
Tangerang Selatan, Banten

RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang tengah dibahas pemerintah dan DPR memuat usulan pengaturan pajak karbon. Hal ini menjadi angin segar dalam reformasi perpajakan melalui penguatan kebijakan atas carbon pricing di Indonesia.

Penguatan kebijakan tersebut diharapkan akan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) tanpa mendistorsi ekonomi dengan regresivitas pengenaan pajak bagi wajib pajak. Carbon pricing merupakan bauran kebijakan hasil kombinasi dan interaksi pendekatan ekonomi dan lingkungan.

Hal tersebut menjadi sebuah keniscayaan bagi pembangunan rendah karbon dan pemenuhan target perubahan iklim dalam kesepakatan Paris 2015 untuk menurunkan emisi GRK sebesar 29% pada 2030.

Di sisi lain, atas rencana pengenaan pajak karbon, pelaku usaha menyampaikan kekhawatiran potensi timbulnya beban tambahan bagi industri. Kekhawatiran itu juga menyangkut hilangnya daya saing sejumlah produk yang diproduksi baik di pasar dalam negeri maupun internasional.

Adapun daya saing adalah tingkat produktifitas dan kekuatan pelaku usaha untuk tetap mengembangkan dan memajukan usahanya dengan baik antar entitas sejenis dalam suatu lingkungan yang sama (Porter, 1990).

Beberapa penelitian atas pengaruh implementasi kebijakan pajak karbon tidak menemukan adanya keterhubungan atau pengaruh pajak karbon dengan daya saing produk di sektor industri, penanaman modal, return on capital, hingga pertumbuhan ekonomi pada skala regional maupun internasional.

Swedia menjadi salah satu negara dengan harga karbon tertinggi di dunia. Namun, sektor industri dan PDB Swedia meningkat. Emisi gas rumah kaca juga absolut menurun. Hal itu mendasari penelitian yang dilakukan Yamazaki (2017), Martin et al., (2016) dan Chan (2011) serta Ekins dan Speck (2012).

Di sisi lain, penelitian dari Mikayilov et al., (2018) menunjukkan trade off antara kebijakan pajak karbon dan daya saing akan makin meningkat karena tingkat ketergantungan aktivitas industri dalam memproduksi suatu produk dengan menggunakan bahan bakar yang berasal dari fosil.

Hal ini juga sesuai dengan penelitian Christainsen dan Tietenberg (1985) yang menunjukkan pajak karbon akan memengaruhi pelaku usaha, terutama menyangkut investasi dan administrasi dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya.

Pengaruh kebijakan pajak karbon terhadap daya saing, dengan mendasarkan pada penelitian dan kajian yang dilakukan, belum konklusif. Dengan demikian, kemampuan otoritas pajak dalam memitigasi dampak risiko negatif menjadi kunci utama sehingga penciptaan desain kebijakan penurunan tingkat emisi tanpa distorsi terhadap perekonomian.

Kredit Pajak

DENGAN diimplementasikannya pajak karbon, otoritas akan menghadapi tantangan, terutama terkait dengan risiko penurunan daya saing. Kredit pajak karbon bisa menjadi salah satu alternatif kebijakan untuk dapat memitigasi risiko tersebut.

Kredit atas pajak karbon tidak akan merusak insentif tingkat harga karbon dalam mengurangi emisi. Skema alternatif kebijakan yang dapat dilakukan adalah pertama, kredit atas pajak karbon dapat diberikan terkait dengan output proses produksi sehingga memberi subsidi implisit untuk pelaku usaha di sektor tertentu.

Subsidi tersebut akan memberikan pengurangan atas biaya produksi untuk merespons peningkatan harga produk atas penerapan pajak karbon. Peningkatan harga itu muncul dibandingkan dengan perusahaan pesaing dari negara yang belum menerapkan kebijakan carbon pricing.

Kedua, kredit pajak diberikan atas pelaku usaha dengan intensitas emisi karbon di bawah tingkat ambang batas yang ditentukan otoritas pajak. Dalam skema ini, pelaku usaha dengan sequestration atau telah menerapkan teknologi carbon capture storage – sehingga nilai emisi karbon di bawah ambang batas –akan memiliki kredit pajak yang melebihi kewajiban pajak karbon mereka. Pelaku usaha akan menerima insentif dalam usaha penurunan emisi karbon yang dilakukan.

Tantangan otoritas pajak Indonesia dalam memitigasi risiko penurunan daya saing menjadi makin kompleks dengan akan berlakunya Border Adjustment Carbon Tax atau Carbon Border Tax (CBT) sebagai biaya tambahan impor untuk menjaga integritas dari implementasi kebijakan carbon pricing oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat.

CBT akan dikenakan atas produk yang diimpor dari negara yang tidak menerapkan pajak karbon. Sebagai negara pengekspor, Indonesia akan berada posisi lebih sulit pada masa mendatang tanpa reformasi perpajakan terkait dengan emisi karbon.

Bagaimanapun, isu perubahan iklim dan pemanasan global yang menyebabkan cuaca ekstrem seperti banjir dan kekeringan menjadi tantangan pemerintah di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dengan demikian, implementasi carbon pricing bersama dengan kebijakan lingkungan menjadi sebuah pilihan kebijakan komunitas global. Implementasi pajak karbon di Indonesia sebagai instrument carbon pricing menjadi sebuah keniscayaan.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:30 WIB LAPORAN TAHUNAN DJP 2023

Rata-Rata Waktu Penyelesaian Pengaduan Perpajakan di DJP Capai 9 Hari

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:15 WIB KONSULTASI PAJAK

Pedagang Gunakan QRIS untuk Pembayaran, Konsumen Bayar PPN 12 Persen?

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Yuridis Pengenaan PPN atas Jasa Kecantikan

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:00 WIB KELAS PPN

Konsep PPN, Deviasi, dan Isu Kenaikan PPN 12%

BERITA PILIHAN