PADA akhir 2020, International Monetary Fund (IMF) merilis working paper berjudul Identifying Reform Priorities: The Role of Non-linearities yang disusun Klaus-Peter Hellwig.
Working paper ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan apakah negara-negara dapat meningkatkan iklim bisnis mereka di area-area kebijakan tertentu, dengan mengkaji 6 indeks iklim bisnis yang berbeda pada 38 indikator kebijakan.
Indeks iklim bisnis yang digunakan berasal dari data yang diperoleh dari Global Insight Global Risk Service (DRI), Economist Intelligence Unit (EIU), Cerberus Corporate Intelligence Gray Area Dynamics (GAD), Global Competitiveness Report (GCS), Political Risk Services (PRS), dan Global Insight Business Risk Condition (WMO).
Adapun data yang digunakan berasal dari peringkat Doing Business dari World Bank yang sebelumnya digunakan dalam kajian oleh Kraay dan Tawara (2013). Kraay dan Tawara menggunakan algoritma Bayesian Moving Averaging (BMA) dalam mengenali indikator penentu iklim bisnis.
Singkatnya, studi tersebut berkesimpulan suatu negara/yurisdiksi dapat meningkatkan iklim bisnis tergantung dari bagaimana cara pengukuran iklim bisnis tersebut.
Sementara itu, kajian yang dirilis IMF ini menggunakan pendekatan lain, yakni algoritma Random Forest (RF) yang disajikan dalam bentuk Shapley Value (SV) untuk mengatasi kekurangan yang ada pada decision tree dalam menangkap interaksi antarvariabel.
Tabel berikut menyajikan komparasi kajian yang disusun Kraay dan Tawara (2013) dengan yang dirilis IMF. Adapun indikator kebijakan yang ditampilkan hanya sebatas pada lingkup perpajakan seperti jumlah pembayaran pajak, waktu, pajak atas laba, pajak karyawan, serta pajak lainnya.
Meskipun menggunakan data yang relatif sama, terdapat perbedaan temuan dari masing-masing kajian tersebut. Apabila menggunakan BMA, masing-masing indikator kebijakan pajak dapat berperan penting dalam membangun iklim bisnis suatu negara/yurisdiksi tergantung dari pengukuran data indeks iklim bisnis yang dirilis oleh masing-masing instansi.
Di sisi lain, indikator kebijakan pajak dengan menggunakan metode RF sama sekali tidak memperlihatkan pengaruh terhadap iklim bisnis apabila didasarkan pada waktu, pajak atas laba, ataupun pajak atas karyawan.
Namun, indikator seperti jumlah pembayaran pajak – mengacu pada indeks iklim bisnis DRI – atau kepentingan pajak lainnya (PRS dan WMO) memiliki pengaruh yang cukup signifikan dan didukung oleh kedua metode tersebut.
Komparasi kajian ini tentunya dapat menjadi pertimbangan pemerintah untuk memprioritaskan dua aspek tersebut dalam rangka meningkatkan investasi ke depannya. Namun, perlu juga untuk menelaah lebih dalam apa saja yang ada pada kepentingan pajak lainnya yang secara signifikan terbukti dapat memengaruhi iklim bisnis. *
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.