M. Rizqi Akbari
,BABAK baru pemajakan aset kripto di Tanah Air dimulai pascaterbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022. Beleid yang mengatur tentang pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto itu mulai berlaku pada 1 Mei 2022.
Langkah pemerintah tersebut patut diapresiasi sebagai upaya untuk menciptakan same level of playing field dalam pemajakan instrumen investasi. Namun, apakah pengaturan dalam PMK 68/PMK.03/2022 sudah tepat?
Houben & Syners (2020) mendefinisikan aset kripto sebagai aset privat digital yang terekam dalam suatu buku besar digital yang terdistribusi yang diamankan dengan kriptografi.
Aset itu, masih dalam definisi yang disampaikan Houben & Syners, tidak diterbitkan atau dijamin oleh bank sentral atau otoritas publik dan dapat digunakan sebagai alat tukar dan/atau untuk tujuan investasi dan/atau untuk mendapatkan suatu barang ataupun jasa.
Aset kripto yang ada saat ini tidak dapat diakui sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia No. 19/12/PBI/17.
Regulasi yang telah ada, Peraturan Mendag No. 99 Tahun 2018, mengatur kedudukan aset kripto sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan. Definisi aset kripto dalam Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019 dan No. 8 Tahun 2021 senada dengan definisi yang ada dalam PMK 68/PMK.03/2022.
Aset kripto didefinisikan sebagai komoditas tidak berwujud yang berbentuk digital, menggunakan kriptografi, jaringan informasi teknologi, dan buku besar yang terdistribusi, untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak lain.”
Sifatnya sebagai komoditas mengakibatkan aset kripto dikelompokkan sebagai barang kena pajak (BKP) berdasarkan UU PPN dan perubahannya. Dengan demikian, aset kripto bukan merupakan negative list BKP.
Hal tersebut dikarenakan aset kripto tidak memenuhi kriteria sebagai alat pembayaran yang sah ataupun sebagai surat berharga yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998 atau aturan lain yang terkait. Hal ini berbeda dengan penyerahan Instrumen Investasi saham, obligasi, dan emas batangan yang tidak dikenai PPN.
Terdapat 3 transaksi yang terutang PPN. Pertama, penyerahan BKP berupa aset kripto oleh penjual aset kripto. Kedua, penyerahan jasa kena pajak (JKP), berupa jasa penyediaan sarana elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan aset kripto oleh peyelenggara perdagangan melalui sistem elektroink (PPMSE).
Ketiga, penyerahan JKP berupa jasa verifikasi transaksi aset kripto dan/atau jasa mining pool oleh penambang aset kripto. Adapun penyerahan aset kripto yang dimaksud meliputi transaksi jual beli aset kripto dengan mata uang fiat, swap, dan/atau tukar menukar aset kripto dengan barang non-aset kripto dan/atau jasa.
Penyerahan BKP aset kripto oleh Penjual Aset Kripto dikenakan PPN final dengan tarif efektif 0,11% dari nilai transaksi jika dilakukan melalui PPMSE pedagang fisik aset kripto (PFAK) atau sebesar 0,22% jika tidak terdaftar sebagai PFAK yang dipungut oleh PPMSE.
Penyerahan JKP berupa jasa penyediaan sarana elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan aset kripto oleh PPMSE dikenakan PPN dengan tarif 11% dari nilai penggantian yang dipungut oleh PPMSE.
Penyerahan jasa pelayanan verifikasi transaksi aset kripto oleh penambang aset kripto dikenakan PPN dengan tarif efektif sebesar 1,1% dari nilai berupa uang atas aset kripto yang diterima, termasuk aset kripto yang diterima dari sistem aset kripto (block reward) yang dipungut oleh penambang aset kripto.
Selain pungutan berupa PPN, terdapat kewajiban PPh Pasal 22 final atas penghasilan yang diterima atau diperoleh penjual aset kripto sehubungan dengan transaksi aset kripto dengan tarif sebesar 0,1% dari nilai transaksi aset kripto jika pemungut (PPMSE) merupakan PFAK atau sebesar 0,2% jika pemungut (PPMSE) bukan merupakan PFAK.
Dilihat dari tarif yang diberlakukan, aspek PPh pada penjualan komoditas berupa aset kripto memiliki kesamaan dengan pengenaan PPh atas penghasilan berupa penjualan saham pada Bursa Efek Indonesia (BEI), yakni 0,1% bersifat final.
Pengawasan Kepatuhan
PENGENAAN PPN dan PPh atas perdagangan aset kripto menambah beban administrasi baru, baik PPMSE yang terdaftar sebagai PFAK maupun PPMSE non-PFAK. Beban juga bertambah bagi penambang aset kripto untuk jasa verifikasi transaksi aset kripto dan/atau jasa mining pool.
Ditjen Pajak (DJP) harus memastikan pemungut PPN dan PPh perdagangan aset kripto telah siap agar pemungutan dapat berjalan ideal. DJP dapat melakukan pengawasan kepatuhan dengan dasar laporan keuangan, Surat Pemberitahuan (SPT) 1107 PUT, dan SPT Masa Unifikasi terutama pada bagian PPh Pasal 22, ataupun data lain yang relevan.
Selain melakukan pengawasan terhadap kepatuhan pemungut, monitoring dan evaluasi (monev) kebijakan pemajakan aset kripto harus senantiasa dilakukan. Pasar aset kripto yang masih tergolong baru sangat rentan mengalami fluktuasi.
Mekanisme pemungutan dan tarif PPh dan PPN diharapkan tidak menurunkan minat investor dalam melakukan perdagangan aset kripto. PPh dan PPN yang dikenakan harus lebih rendah daripada biaya-biaya lain yang melekat pada perdagangan aset kripto.
Selain itu, otoritas perlu mengupayakan sistem pemajakan yang sederhana dan tidak terlalu membebani PPMSE. Pemajakan atas perdagangan aset kripto dapat dikatakan telah tepat apabila sistem pemajakan yang telah ada tidak menghambat pertumbuhan pasar aset kripto.
Oleh karena itu, pengawasan kepatuhan pemungut dan monev terkait kebijakan pemajakan kripto harus dilakukan dengan saksama.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.