UMKM sering disebut sebagai motor penggerak ekonomi mengingat kontribusinya yang besar terhadap produk domestik bruto. Tak heran, pemerintah memberikan berbagai keberpihakan untuk UMKM, termasuk dari sisi pajak.
Wajib pajak UMKM saat ini dapat menikmati tarif PPh final 0,5% jika omzetnya masih di bawah Rp4,8 miliar per tahun. Selain itu, wajib pajak orang pribadi UMKM dengan omzet sampai dengan Rp500 juta dalam setahun juga tidak akan terkena pajak.
Sekjen Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero menyebut UMKM dapat didorong untuk patuh pajak asal melalui pendekatan yang tepat. Dia menilai pelaku UMKM pada dasarnya juga akan dengan semangat apabila diajak berkontribusi pada pembangunan negara. Berikut kutipan wawancaranya:
Bagaimana kondisi UMKM saat ini? Apakah sudah pulih dari tekanan pandemi Covid-19?
UMKM selalu ada hambatan, tetapi jangan menjadikan kesulitan dan hambatan itu untuk stuck, untuk putus asa. Kita harus berpikir bagaimana UMKM tetap harus survive menghadapi semua permasalahan.
Mindset itulah yang harus selalu kita tanamkan, bahwa mereka harus tetap berusaha karena dengan berusaha mereka bisa menghidupkan keluarga.
Bagaimana dampak penurunan daya beli saat ini terhadap kinerja UMKM?
Daya beli turun bisa kita lihat dari beberapa indikator. Bahwa ketika daya beli turun, saving dari masyarakat agak tergerus. Yang tadinya misalnya ada di tabungan atau di rekening, terpaksa diambil untuk kebutuhan operasional masing-masing masyarakat. Jadi kalau melihat kondisi sekarang, dalam 3 atau 4 bulan terakhir ini, masyarakat banyak menggunakan tabungan mereka untuk konsumsi.
Kami berharap bahwa sesudah pelantikan presiden baru kondisinya menjadi lebih stabil sehingga kantong-kantong tabungan yang tadi tergerus itu bisa diisi kembali.
Kebijakan apa yang diharapkan dari pemerintah untuk memulihkan daya beli masyarakat?
Kondisinya sekarang penerimaan masyarakat itu agak stuck sehingga yang dipikirkan adalah bagaimana supaya tetap bisa makan. Makanya mereka terpaksa mengambil dari tabungan sedikit-sedikit.
Kondisi yang seperti ini jangan terlalu lama. Perintah perlu memberikan dorongan agar bersama-sama bisa pulih. Caranya dengan membuka ruang atau kesempatan lapangan kerja karena ini yang dibutuhkan. Kalau kondisi lapangan kerjanya tertutup ya terpaksa mengambil apa yang ada.
Saya masih percaya bahwa dengan dibukakan ruang lapangan kerja, kondisi itu bisa lebih baik daripada kondisi saat ini.
Saat ini pemerintah sudah memberikan fasilitas pajak untuk UMKM antara lain tarif PPh final 0,5% dan batas omzet tidak kena pajak senilai Rp500 juta. Apakah cukup membantu?
Tarif PPh final dan omzet tidak kena pajak ini tentu kami sambut karena juga sudah berlaku. Saya setuju UMKM juga harus belajar untuk menyisihkan profit yang mereka punyai atau penghasilan yang dipunyai untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa. Kalau semua UMKM yang sekitar 65 juta [pelaku] enggak mau membayar pajak atau tidak memberikan kontribusi kepada pembangunan ekonomi bangsanya, menurut saya ini sangat keliru.
UMKM telah diberikan kesempatan untuk survive, telah diberikan kesempatan untuk berusaha, dan telah diberikan kemudahan untuk berusaha. Makanya kita juga punya kewajiban memberikan kontribusi kepada negara. Saya kira spirit ini yang harus kita pegang, bahwa memberikan sesuatu kepada negara adalah menjadi kewajiban kita.
Dari sisi administrasi, apakah pemenuhan kewajiban pajak ini mudah bagi UMKM?
Kalau kita mau jujur, kondisi UMKM sekarang pelaku UMKM hampir 60% adalah middle to low. Pengusaha-pengusaha yang tingkat pendidikannya tidak tinggi. Pelaku UMKM ini harus dituntun secara sederhana agar patuh pajak.
Mereka harus dijelaskan 'kalau omzetnya sekian, berarti kamu harus bayar sekian lho. Jadi sisihkanlah sebagian keuntunganmu untuk membayar kewajiban. Nanti yang dibayar ini akan menjadi kontribusi untuk negara.'
Mengenai pajak ini, saya lebih cenderung memotivasi mereka dengan kata memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa.
DJP memiliki business development program (BDS) sebagai kegiatan pendampingan agar UMKM memahami kewajiban pajaknya. Bagaimana pandangan Anda?
Seberapa banyak kemampuan dari Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan itu? Saya tahu niatnya bagus, tetapi ini pelaksanaannya bagaimana? Misalnya kalau di tahap 'yuk datang di kantor, nanti kami memberikan penjelasan,' wah akan sulit kalau begitu.
Memberikan penjelasan mengenai pajak sudah menjadi kewajiban pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Pajak dengan seluruh ASN-nya. Tetapi masalahnya bukan begitu. Karena UMKM mau ke kantor pajak saja takut. 'Waduh kantornya bagus banget, nanti mesti buka sendal atau tidak ya?'
Pendekatan untuk UMKM harus terbalik sehingga memang kita yang melakukan pendekatan kepada komunitas masyarakat UMKM yang kecil. Kita juga harus memberikan penjelasan dengan intonasi suara yang menyejukkan, sembari minum kopi bersama-sama. Dengan cara ini, mungkin mereka lebih enak menerimanya, lebih berani bertanya-tanya.
Memang approach-nya yang harus kita ubah, dan percayalah bahwa pelaku UMKM punya prinsip yang wise, mau memberikan kontribusi bagi bangsanya. Semuanya tergantung bagaimana cara kita mengkomunikasikan kebijakan. Dari mengatakan 'ayo membayar pajak', lebih baik UMKM diajak memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsanya.
Dengan spirit itu, mereka akan senang banget. Walaupun sedikit, tetapi kita bisa memberikan kontribusi untuk negara.
Pemerintah sering menyampaikan soal UMKM naik kelas. Bagaimana pandangan Anda mengenai hal ini? Seperti apa UMKM yang naik kelas itu?
Soal UMKM naik kelas itu variabelnya banyak banget. Bagaimana kita mengukur dia naik kelas dan tidak naik kelas? Apa parameternya? Menurut saya cukup sulit.
Yang paling sederhana adalah bahwa omzetnya bertambah. Misal tadinya cuma di bawah Rp500 juta, sekarang sudah menjadi Rp1 miliar. Berarti sudah ada pergeseran penerimaan dan pergeseran margin yang mereka dapatkan.
Kemudian yang kedua, terdapat perubahan cara UMKM bekerja. Kalau sebelumnya hanya berjualan menunggu pelanggan lewat atau singgah, sekarang dia berjualan secara mobile atau bergerak menyajikan barangnya.
Mungkin itu ciri-ciri pelaku UMKM yang sudah naik kelas. Dukungan pemerintah sebagai regulator juga akan penting untuk bagaimana menciptakan ruang agar UMKM tetap bisa bergerak.
Misalnya dengan peraturan tentang pembelian produk lokal untuk belanja APBN, APBD, BUMN, BUMD sebesar 40%. Jangan sampai kita cuma ngomong tapi pelaksanaannya enggak nyampe.
Selain itu, pelaku UMKM juga membutuhkan bantuan modal kerja. Bantuan modal kerja sudah ditetapkan misalnya Rp100 juta ke bawah tanpa jaminan, tetapi realita di lapangan masih ditanyakan jaminannya.
Pemerintah harus lebih serius untuk berpihak. Termasuk untuk barang-barang ilegal yang banyak beredar dan mengganggu UMKM, ini harus ada tindakan dari aparat atau Bea Cukai agar betul-betul bisa dicekal.
Masa berlaku PPh final UMKM untuk wajib pajak orang pribadi akan berakhir tahun ini. Apakah perlu diperpanjang?
PPh final untuk UMKM ini dulunya 1% dan kemudian berubah menjadi 0,5%. Tahun 2023 malah ada isu tarifnya mau naik lagi menjadi 1%. Kalau saya mengatakan ini kita baru mulai pulih dari Covid-19, semestinya pemerintah mengevaluasi dulu apakah goal-nya sudah tercapai? Kalau memang belum tercapai, ya harus dilanjutkan dulu.
Sesudah 7 tahun, nanti di Desember akan berakhir. Inilah saatnya mari kita evaluasi bersama apakah harapan kita di tahun 2018 sudah tercapai?
Kalau sudah [tercapai tujuannya], silakan kita ubah [kebijakannya], tetapi kalau belum, apakah bisa ini kita teruskan dulu? UMKM Diberikan kompensasi lanjutan sehingga diharapkan dengan demikian bisa lebih survive. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.