LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2021

Urgensi Masuknya Klausul MAP dalam RUU KUP

Redaksi DDTCNews | Rabu, 25 Agustus 2021 | 16:05 WIB
Urgensi Masuknya Klausul MAP dalam RUU KUP

Krisandi Nofianus,
Jakarta Pusat, DKI Jakarta

MUTUAL Agreement Procedure (MAP) merupakan prosedur administratif untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Ketentuan MAP diatur dalam P3B.

MAP dapat diajukan atas berbagai sengketa perpajakan internasional seperti transfer pricing, eksistensi laba bentuk usaha tetap (BUT), withholding tax, dual residence, diskriminasi perlakuan perpajakan, atau penafsiran ketentuan dalam P3B.

Pengajuan MAP tidak menghalangi wajib pajak untuk mengajukan keberatan. Wajib pajak dapat mengajukan MAP dalam batas waktu yang diatur dalam P3B atau maksimal 3 tahun bila P3B tidak mengatur batas waktu pengajuan.

Batas waktu pengajuan MAP dihitung dari tanggal Surat Ketetapan Pajak (SKP), tanggal bukti pembayaran/pemotongan/pemungutan pajak penghasilan, atau saat terjadi perlakuan perpajakan yang tidak sesuai P3B.

Mengutip DDTCNews, data statistik MAP 2018 yang dirilis Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan MAP didominasi kasus transfer pricing dengan kenaikan kasus hampir 20%. MAP merupakan alternatif penyelesaian sengketa perpajakan internasional, selain pengajuan keberatan.

Bedanya, MAP mengeliminasi terjadinya pengenaan pajak berganda dalam suatu sengketa transfer pricing dengan mengedepankan prinsip perundingan. Artinya, penyelesaian yang didahulukan bukan proses hukum yang berujung pada terbitnya sanksi perpajakan bila wajib pajak kalah.

MAP memberikan win-win solution bagi wajib pajak di kedua negara atau yurisdiksi perpajakan karena adanya mekanisme corresponding adjustment. Dengan mekanisme ini, otoritas pajak akan memberi penyesuaian kepada wajib pajak sesuai dengan hasil MAP untuk mengeliminasi pajak berganda.

Hal tersebut sangat berbeda dengan proses keberatan karena wajib pajak bisa menang atau kalah (win-lose). Biaya yang dikeluarkan wajib pajak juga minim karena cukup mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan melakukan konsultasi.

Setelah berkonsultasi, wajib pajak dapat kembali beraktivitas karena proses selanjutnya, yaitu perundingan, akan dilaksanakan DJP dengan otoritas perpajakan negara mitra. Wajib pajak akan diberikan informasi tentang perkembangan perundingan MAP beserta hasil-hasilnya.

OECD melaporkan tingkat penyelesaian MAP di Indonesia cukup baik, yaitu berada pada kisaran 55,97%. Indonesia lebih unggul dari Jepang (54,41%), Singapura (50,75%), Korea Selatan (47,01%), bahkan Malaysia (4,55%).

Permasalahan Terkait dengan MAP

SEGUDANG manfaat yang diperoleh wajib pajak melalui MAP tak diiringi dengan kepastian hukum yang memadai. Berbeda dengan keberatan, MAP tidak diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

MAP di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 sebagai aturan pelaksanaan Pasal 48 UU KUP. Kendati demikian, MAP memiliki kuasa untuk membetulkan output dari proses keberatan.

Apabila wajib pajak mengajukan MAP dan keberatan maka hasil MAP dapat digunakan untuk membetulkan Surat Keputusan Keberatan. Beleid tersebut juga mengatur MAP harus dihentikan saat putusan banding telah diucapkan. Ketentuan ini berlaku jika keberatan berlanjut ke tingkat banding.

Hal tersebut tentunya menyulitkan karena DJP harus berlomba-lomba dengan hakim saat suatu kasus MAP juga diajukan Banding. Kesulitan lain yang timbul adalah ketika suatu SKP memuat sengketa perpajakan internasional dan sengketa perpajakan domestik.

UU KUP beserta aturan pelaksanaannya tidak memberi ruang untuk mengajukan MAP atas sengketa perpajakan internasional dan mengajukan keberatan/banding atas sengketa perpajakan domestiknya. Materi yang dicakup dalam MAP harus dicakup juga dalam pengajuan keberatan.

Dalam kasus ekstrem, saat keberatan berlanjut ke tingkat banding, mungkin saja hakim hanya memutus sengketa perpajakan domestik tanpa mempermasalahkan sengketa perpajakan internasional. Konsekuensinya, MAP harus dihentikan meski perundingan hampir mencapai titik temu.

Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah terkait daluwarsa. Ingat, sengketa perpajakan internasional minimal melibatkan dua otoritas perpajakan. Perbedaan batas waktu daluwarsa penetapan antarnegara dapat menyebabkan konflik.

Misalnya pada 2020, wajib pajak A di Indonesia tidak lagi dapat diperiksa dan diterbitkan SKP atas tahun pajak 2014 karena batas waktu daluwarsa 5 tahun telah terlampaui. Akan tetapi, bagaimana dengan lawan transaksinya, yaitu wajib pajak B di negara BBB yang memiliki ketentuan daluwarsa 10 tahun?

Tentu saja otoritas perpajakan negara BBB masih dapat melakukan pemeriksaan dan menerbitkan ketetapan pajak. Apabila wajib pajak B mengajukan MAP karena terbitnya ketetapan pajak, bagaimana dengan hasil MAP-nya?

DJP tidak dapat berbuat banyak karena tidak adanya landasan hukum yang memperbolehkan penerapan kesepakatan MAP apabila daluwarsa penetapan telah terlampaui. Meskipun P3B tidak melarang hal tersebut, implementasi di lapangan memerlukan regulasi domestik yang jelas.

Hal terakhir yang berpotensi menghambat penyelesaian sengketa perpajakan internasional adalah masalah jangka waktu penyelesaian MAP. Sesuai dengan standar minimum yang ditetapkan, OECD mendorong setiap negara untuk menyelesaikan kasus MAP dalam waktu rata-rata 24 bulan.

Apabila MAP gagal diselesaikan dalam waktu 24 bulan, proses penyelesaian sengketa dapat dilanjutkan melalui arbitrase. Walaupun demikian, UU KUP tidak memfasilitasi proses arbitrase itu sendiri. Alhasil, DJP merespons dengan menghentikan proses MAP bila sudah melewati 24 bulan.

Revisi UU KUP yang memuat klausul MAP menjadi suatu keharusan. Kepastian hukum yang lebih baik, perbaikan proses bisnis MAP yang tumpang tindih dengan keberatan/banding, serta kejelasan dalam implementasi hasil MAP pada masa daluwarsa diharapkan dapat meningkatkan kualitas penyelesaian sengketa perpajakan internasional.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

17 September 2021 | 20:20 WIB

Saya baru tau ternyata selain keberatan, ada juga yg namanya MAP

17 September 2021 | 08:25 WIB

Betul apa yg dikatakan. Kepastian hukum MAP menjadi kurang kuat karena tdk ada cantolannya di UU. Moga2 usulannya bs masuk ke draf RUU yg baru ya mas.

16 September 2021 | 19:51 WIB

jadi lebih mengerti sekarang, nice artikel!

16 September 2021 | 17:09 WIB

Nice artikel pak..

15 September 2021 | 12:53 WIB

terima kasih karena sudah membuka wawasan baru, untuk data statistik MAP bisa didapat dimana ya?

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Harga Tiket Turun, Jumlah Penumpang Pesawat Naik 2,6 Persen

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:30 WIB LAPORAN TAHUNAN DJP 2023

Rata-Rata Waktu Penyelesaian Pengaduan Perpajakan di DJP Capai 9 Hari

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:15 WIB KONSULTASI PAJAK

Pedagang Gunakan QRIS untuk Pembayaran, Konsumen Bayar PPN 12 Persen?

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Yuridis Pengenaan PPN atas Jasa Kecantikan

BERITA PILIHAN