Sidiq Suryo Nugroho
,DISKUSI di ruang publik ramai dengan pembicaraan mengenai RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang baru saja disahkan menjadi undang-undang dalam sidang paripurna DPR pada 7 Oktober 2021.
Secara garis besar, UU HPP memuat 6 substansi perubahan aturan perpajakan terkait dengan pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), ketentuan umum dan tatacara perpajakan (KUP), program pengungkapan sukarela, pajak karbon, dan cukai.
Keenam substansi pengaturan tersebut telah dibahas pemerintah bersama DPR secara resmi sejak disampaikannya surat presiden pada Mei 2021. Sebelum akhirnya diresmikan sebagai UU HPP, draf awal yang diusung adalah RUU KUP.
Melalui beleid terbaru tersebut, pemerintah berusaha melanjutkan rangkaian reformasi bidang perpajakan yang pertama kali dimulai sejak era 80-an melalui reformasi UU Perpajakan tentang KUP, PPh dan PPN.
UU HPP merupakan suatu mata rantai tak terpisahkan dari reformasi perpajakan yang telah dijalankan selama ini. UU HPP merupakan bagian penting dari reformasi sebagai upaya perbaikan sistem perpajakan untuk menyesuaikan dengan dinamika dan situasi perekonomian terkini.
Demi mewujudkan target pembangunan nasional menuju Indonesia Maju pada 2045, perlu dilakukan penguatan fondasi ekonomi. Penguatan itu dilakukan dengan memanfaatkan berbagai faktor pendukung, salah satunya bonus demografi yang dimiliki Indonesia.
Penduduk Indonesia diproyeksi sebanyak 309 juta jiwa pada 2045. Komposisinya adalah 52% penduduk usia produktif dan 80% penduduk berpenghasilan menengah. Hal ini menjadi peluang pembangunan. Untuk mencapainya, perlu memperkuat fungsi dan peran APBN mulai sekarang.
APBN sebagai instrumen keuangan negara harus sehat guna mewujudkan target pembangunan nasional. APBN juga harus kuat serta mampu mendukung keberlanjutan pembangunan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi yang stabil.
Pemerintah melalui penerapan UU HPP berusaha mendukung percepatan pemulihan ekonomi melalui optimalisasi penerimaan negara. Optimalisasi itu dilakukan dengan mewujudkan sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel agar fondasi APBN kuat.
Saat ini sedang terjadi titik balik (rebound) perekonomian. Berdasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS), capaian pertumbuhan ekonomi kuartal II/2021 sebesar 7,07% (yoy). Secara kumulatif semester I/2021, pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 3,31% (yoy). Hal ini diharapkan menjadi starting point guna menciptakan basis pajak yang kuat dan merata.
Perpajakan yang Berkeadilan
SALAH satu aspek yang menjadi dasar urgensi dilakukannya reformasi perpajakan yaitu mewujudkan suatu sistem pajak yang lebih berkeadilan. Adil yang dimaksudkan di sini yaitu antarsektor usaha dan antarkelompok penghasilan dalam masyarakat akan menanggung dan memikul beban pajak yang seimbang.
Asas keadilan dalam pemungutan pajak sudah disampaikan pemikir dan ahli ekonomi asal Ingris sejak abad ke-18, Adam Smith, dalam bukunya Wealth of Nations. Dia mengemukakan ajaran yang disebut sebagai The Four Maxims.
Salah satunya adalah asas equality. Artinya, pemungutan pajak yang dilakukan negara harus sesuai dengan kemampuan pembayar pajak. Pembagian beban pajak di antara subjek pajak hendaknya dilakukan secara seimbang (Smith, A.,1776).
Bagaimana UU HPP mewujudkan aspek keadilan tersebut? Salah satunya dengan mengubah rentang penghasilan kena pajak dan lapisan tarif PPh untuk wajib pajak orang pribadi (OP). Penyesuaian dilakukan pada pelebaran rentang penghasilan kena pajak pada lapisan tarif terendah serta penambahan satu lapisan tarif tertinggi.
Batas atas lapisan penghasilan dengan tarif terendah akan menjadi lebih tinggi. Tarif 5% awalnya dikenakan untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp50 juta. Dengan UU HPP, batasannya naik menjadi Rp60 juta.
Di samping itu, batasan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) juga tetap diberlakukannya sehingga masyarakat yang penghasilannya tidak lebih dari Rp4,5 juta per bulan masih tidak membayar PPh sama sekali.
Kebijakan tersebut merupakan bentuk perlindungan bagi kepentingan rakyat banyak. Ada lebih banyak kelompok masyarakat yang akan dikenai beban PPh lebih ringan. Hal ini juga merupakan bukti keberpihakan nyata sistem perpajakan saat ini terhadap kepentingan masyarakat luas.
Selain itu, ada juga penambahan satu lapisan tarif tertinggi untuk penghasilan kena pajak setahun yang lebih dari Rp5 miliar dengan tarif PPh sebesar 35%. Penambahan tarif tersebut menunjukkan peningkatan progresivitas PPh. Hal ini dilakukan agar lebih meratanya beban pajak dan meningkatkan aspek keadilan bagi seluruh masyarakat pada semua level penghasilan.
Penambahan tarif ini diperkirakan tidak akan menambah beban PPh bagi wajib pajak OP yang berpenghasilan sampai dengan Rp5 miliar. Hal ini dikarenakan terhadap kelompok penghasilan tersebut telah diberi keringanan melalui pelebaran rentang lapisan tarif PPh yang terendah.
Sementara itu, bagi wajib pajak OP dengan penghasilan tinggi atau lebih dari Rp5 miliar setahun diberikan tarif PPh yang lebih tinggi. Dengan demikian, kelompok penghasilan ini dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi penerimaan negara.
Selain itu, salah satu keberpihakan UU HPP pada masyarakat kecil, khususnya pengusaha wajib pajak OP UMKM, diwujudkan dengan adanya batas omzet tidak kena pajak. Melalui pengaturan baru ditetapkan batasan peredaran bruto tidak kena pajak senilai Rp500 juta.
Dengan demikian, wajib pajak OP UMKM dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp500 juta setahun belum dikenai kewajiban membayar PPh. Sementara wajib pajak OP UMKM yang mempunyai omzet lebih dari Rp500 juta setahun, mulai membayar PPh finalnya pada masa pajak saat omzetnya telah melebihi Rp500 juta dengan tarif 0,5%.
Dengan adanya pengaturan baru terkait PPh pada UU HPP, keberpihakan dan rasa keadilan pada masyarakat berpenghasilan rendah dapat terwujud. Selain itu, pemerataan beban pajak dan fungsi pajak dalam distribusi pendapatan menjadi lebih nyata.
Hal ini tercermin pada beban PPh yang ditanggung oleh wajib pajak berpenghasilan rendah menjadi lebih ringan danmakin banyak masyarakat yang bisa menikmatinya. Sementara bagi masyarakat berpenghasilan tinggi dikenakan pajak lebih besar sebagai wujud semangat gotong royong dalam pembangunan.
Golongan yang lebih kecil dibebani lebih ringan, sedangkan yang lebih besar memberikan kontribusi yang lebih banyak bagi pembangunan. Akhirnya, selamat menikmati dan jangan lupa untuk berkontribusi positif bagi negara.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.