Miko Danang Setyawan
,RASIO pajak terhadap produk domestik bruto atau tax ratio Indonesia memang masih kusam. Dibandingkan dengan negara-negara Asean, Indonesia tertinggal. Dengan tax ratio 10,41% pada 2022, Indonesia kalah dari Vietnam (22,7%), Kamboja (20,2%), Thailand (16,5%), Singapura (12,8%), dan Malaysia (11,4%).
Selanjutnya, bila dibandingkan dengan tax ratio negara-negara G-20, gap-nya lebih jauh lagi. Amerika Serikat mencatat tax ratio sebesar 26,58%. Tak tanggung-tanggung, Denmark, Prancis, dan Finlandia bahkan mencatatkan tax ratio sekitar 40% hingga 47%.
Dengan performa tersebut, upaya Indonesia untuk keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income trap seolah mustahil. Pendapatan per kapita Indonesia pada 2022 senilai US$4.580. Indonesia masuk kelompok upper middle income country karena berpendapatan di atas US$4.466.
Untuk naik kelas menjadi kelompok high income country, pendapatan per kapita Indonesia harus dikerek lebih dari tiga kali. Hal ini dikarenakan ambang batas high income country, setidaknya untuk saat ini, adalah senilai US$13.845. Bagaimana, mustahil atau tidak?
Kendati demikian, di antara fakta-fakta yang kurang menggembirakan itu, ada data yang bisa kita banggakan. Dari tahun ke tahun, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus menunjukkan hasil yang positif. Pada 2022 misalnya, perekonomian Indonesia tumbuh solid sebesar 5,3%.
Angka pertumbuhan ekonomi tersebut sekaligus mencatatkan posisi tertinggi keempat di Asean, di atas Singapura (3,8%) dan Thailand (2,6%). Dibandingkan dengan negara-negara G-20, sampai dengan kuartal II/2023, Indonesia berada di urutan ketiga, di bawah China dan India.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia sejatinya memiliki potensi untuk unggul dalam perekonomian dunia dan menjadi negara maju. Indonesia harus terus berakselerasi sehingga memastikan potensi itu terwujud.
Agar akselerasi pertumbuhan ekonomi dapat tercapai, International Monetary Fund (IMF) menyarankan setidaknya tax ratio sudah sebesar 12,88%. Kajian global lainnya, seperti dari World Bank, bahkan mengatakan bahwa tax ratio negara berkembang idealnya pada kisaran 15%.
Lantas, bagaimana upaya Indonesia meningkatkan tax ratio saat ini agar bisa mencapai itu semua?
DALAM sebuah seminar nasional sekitar Juli 2023, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan sebelum membahas upaya peningkatan tax ratio, perlu dipahami dulu definisi yang digunakan Indonesia dan negara lain agar dapat diperbandingkan.
Kebanyakan negara di dunia menggunakan definisi tax ratio secara luas. Dengan definisi itu, semua penerimaan yang bisa dikumpulkan negara dihitung dalam tax ratio. Penerimaan itu termasuk tax on income and profits, social security contribution, tax on payroll and workforce, tax on property, dan lainnya.
Sementara itu, Indonesia memakai tax ratio definisi sempit. Dalam definisi ini, penghitungan hanya memasukkan penerimaan pajak pusat serta kepabeanan dan cukai. Indonesia tidak memasukkan pajak daerah dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sumber daya alam (SDA).
Apabila kedua sumber penerimaan itu ikut dihitung, tax ratio Indonesia akan bertambah sekitar 2,5%. Dengan kinerja saat ini sebesar 10,41% maka tax ratio Indonesia seharusnya sudah 12,91%. Starting point ini perlu dijelaskan.
Penjelasan mengenai starting point tersebut diperlukan karena jika target tax ratio yang dibidik 15%, jarak dari 10,41% menuju 15% itu berat sekali. Namun, kalau menggunakan acuan dari 12,91% ke 15%, Indonesia masih ada harapan.
Direktorat Jenderal Pajak telah menyiapkan sejumlah amunisi untuk menaikkan tax ratio mulai tahun depan. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Dwi Astuti dalam suatu kesempatan mengatakan ada lima strategi optimalisasi penerimaan pajak, khususnya untuk 2024.
Pertama, perluasan basis pajak sebagai tindak lanjut Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), antara lain melalui tindak lanjut Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dan implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Kedua, penguatan ekstensifikasi pajak serta pengawasan terarah dan berbasis kewilayahan. Hal ini antara lain melalui penyusunan Daftar Sasaran Prioritas Pengamanan Penerimaan Pajak (DSP4) dan prioritas pengawasan atas wajib pajak high wealth individual beserta grup, transaksi afiliasi, dan ekonomi digital.
Ketiga, optimalisasi implementasi coretax system. Hal ini memuat perbaikan layanan perpajakan, pengelolaan data berbasis risiko, serta tindak lanjut interoperabilitas data pihak ketiga.
Keempat, penegakan hukum yang berkeadilan, di antaranya melalui optimalisasi pengungkapan ketidakbenaran perbuatan dan pemanfaatan kegiatan digital forensics.
Kelima, pemberian insentif fiskal yang terarah dan terukur untuk mendukung transformasi ekonomi. Insentif ini ditujukan untuk mendorong pertumbuhan sektor tertentu dan memberikan kemudahan investasi.
Melalui Reformasi Perpajakan jilid III yang akan rampung pada 2024, peningkatan tax ratio secara signifikan seperti bukan angan lagi. Perbaikan pada pilar sumber daya manusia (SDM), organisasi, proses bisnis, teknologi informasi dan basis data, serta proses bisnis telah ada untuk melancarkan strategi di atas.
Pakar pajak sekaligus Founder DDTC Darussalam, dalam suatu diskusi publik di Jakarta pada Agustus 2023, mengatakan reformasi administrasi berpotensi memberikan tambahan tax ratio sebesar 1,5%. Reformasi kebijakan berpeluang memberikan tambahan tax ratio sebesar 3,5%. Dengan demikian, total potensi kenaikan tax ratio secara keseluruhan mampu mencapai 5%.
LANGKAH Indonesia menuju high income country sejatinya sudah berada pada jalan yang benar. Langkah ini hendaknya dapat diteruskan oleh rezim kepemimpinan berikutnya. Sebagaimana kita tahu, pada 2024, akan terjadi pergantian kekuasaan di Indonesia.
Kita harus memastikan pemimpin yang akan berkuasa lima tahun berikutnya berkomitmen melanjutkan reformasi perpajakan. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika selama masa pemilu, para calon pemimpin juga mengampanyekan arah kebijakan perpajakannya.
Pembahasan tentang isu atau masalah pajak dalam suatu kampanye di Indonesia masih sangat jarang dilakukan. Kalaupun ada, mungkin hanya janji pajak ini dibebaskan atau pajak itu diturunkan.
Padahal, kalau kita memang memahami pentingnya pajak, kondisi yang benar bukan tidak adanya pajak, tapi keberadaan pajak yang adil. Adil artinya yang kaya membayar pajak lebih banyak, yang kurang mampu diberikan bantuan dan subsidi. Itulah makna gotong royong yang sebenarnya.
Dengan bergotong royong, kesejahteraan tiap-tiap individu akan makin ideal. Dengan kesejahteraan yang ideal, pendapatan per kapita akan bisa naik tajam. Kalau sudah begitu, apa masih mustahil bagi Indonesia meraih predikat high income country? Menurut saya, tidak.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.