KALAU Anda mengenal humor sebagai hiburan saja, artinya Anda kurang kenal dekat dengannya. Humor ternyata bisa menjadi kendaraan bagi kita untuk banyak hal, dari mempelajari life skills sampai strategi untuk menciptakan rasa percaya antara wajib pajak dengan petugas pajak.
DDTCNews berbincang dengan salah satu pendiri DDTC sekaligus Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) Danny Septriadi, ditemani peneliti humor IHIK3 Ulwan Fakhri. Keduanya adalah pelopor orang Indonesia yang belajar humor ke sebuah lembaga dari Amerika Serikat, Association for Applied and Therapeutic Humor (AATH), hingga berhasil meraih predikat Certified Humor Professional. Berikut kutipannya:
DANNY: Sejak dulu sebenarnya saya sudah menyukai humor. Tahun 80-an, saya mulai intens mengumpulkan buku-buku humor, terutama kartun, seperti dari MAD Magazine dan karya-karya kartunis New Yorker. Mulanya, humor saya pakai sebagai alat untuk menyegarkan pikiran saat penat karena pekerjaan saja.
Saat mulai berkarier sebagai praktisi pajak di DDTC, saya tidak langsung menunjukkan kepada klien dan petugas pajak kalau saya menyukai humor. Soalnya, saya takut pekerjaan dan pribadi saya diremehkan karena dianggap kurang serius. Cukup lama saya jaim, sampai akhirnya saya beranikan diri untuk mulai menggunakan humor dalam berkomunikasi dengan mereka.
Ternyata, output-nya bagus. Saya bisa bikin klien yang tegang dan cemas menghadapi masalah pajak menjadi lebih santai. Saat mengajar, saya juga memasukkan humor supaya audiens tidak bosan belajar pajak. Dalam situasi tertentu, saya bahkan menggunakan humor untuk membuka pintu komunikasi, to build trust, dengan petugas pajak.
Jadi, jangan salah, humor itu bermanfaat bagi semua profesi, termasuk profesi-profesi yang dicap serius seperti praktisi pajak. Di program Humor Academy yang saya ikuti dari sebuah lembaga di Amerika sana, isinya justru bukan didominasi stand-up comedian. Teman-teman dan mentor kami adalah orang-orang dengan latar belakang profesi yang ‘serius’ seperti psikolog, tenaga medis, caregiver, sampai engineer.
DANNY: Terlepas dari dampak negatifnya, pandemi harus diakui membawa berkah tersendiri. Untuk pertama kalinya, Association for Applied and Therapeutic Humor (AATH) mengadakan program Humor Academy secara daring. AATH ini lembaga di Amerika yang mengadvokasi penggunaan humor untuk terapi atau manfaat positif lainnya.
Jadi, sejak 2020, saya dan Ulwan mulai mengikuti program tersebut secara daring selama 3 tahun. Sekali dalam bulan, tiap Jumat malam, kami begadang untuk Zoom meeting karena perbedaan zona waktu.
Kami juga mengerjakan tugas-tugas yang belum pernah kami dapatkan di pendidikan formal jenjang apa pun di Indonesia. Belum lagi tiap kenaikan level, kami para peserta wajib ikut conference selama 3 hari. Kalau ada jadwal conference, kami bisa begadang dari jam 10 malam sampai 5 pagi.
Namun, secara keseluruhan, kami menikmatinya. Pengalaman ini seru bagi kami yang menyukai humor. Di sisi lain, mereka juga senang karena bisa punya peserta dari negara-negara lain. Akhirnya, kami berdua berhasil meraih Certified Humor Professional (CHP) pada April 2023 dan menjadi pionir dari Indonesia.
DANNY: Pada dasarnya, sebelum mendapat sertifikasi praktisi humor internasional ini, selama 3 tahun programnya, AATH mengajarkan kami untuk menggunakan humor secara lebih bermanfaat. Nah, pada tahun kedua, kami semua diminta membuat project yang berdampak terkait dengan bagaimana humor bisa bermanfaat untuk circle atau lingkungan kita.
Saya dan Ulwan membuat program Cerita & Humor Pajak, semacam support group yang memfasilitasi para petugas dan wajib pajak untuk bercerita dan tertawa bersama-sama. Kami buat 3 sesi. Waktu itu bekerja sama dengan DDTCNews dan diadakan secara daring semuanya. Di sesi pertama, kami undang khusus para wajib pajak. Lalu, bulan depannya gantian, khusus untuk petugas pajak. Nah, di bulan ketiga, kami undang kedua belah pihak dalam suatu forum, bareng-bareng!’ Simak ‘Petugas dan Wajib Pajak Kumpul Bareng, Tertawakan Rutinitas Bersama’.
Sebelum jadi project tugas, kami sebenarnya sempat membuat program yang serupa, khusus kami siapkan untuk pegawai KPP Muara Bungo, Jambi. Waktu itu, pandemi lagi ganas-ganasnya. Boro-boro tekanan pekerjaan berkurang, malah bisa makin stres karena ada larangan kumpul dengan keluarga saat mudik dari pemerintah.
Lalu, kami ajak mereka rileks dengan saling berbagi cerita yang lucu-lucu seputar dunia pekerjaannya supaya tidak stres berkepanjangan. Ternyata, hasilnya bagus dan Kepala KPP Muara Bungo, Pak Joko Galungan, mengapresiasi apa yang kami lakukan.
Nah, saat pandemi sudah mulai aman, kami bikin pendekatan yang mirip dengan project tadi di syukuran ulang tahun DDTC yang ke-15 tahun kemarin. Jadi, di tengah rangkaian acara, ada satu sesi khusus yang mempersilakan para staf DDTC lintas divisi berbagi cerita. Semacam talk show dan Ulwan yang memandu, dari pra sampai hari-H.
Di sesi talk show ini, ada staf yang cerita soal perjuangannya menyelesaikan studi di luar negeri, ada yang cerita pengalaman berkesan dengan peers dan partner, macam-macam. Ada yang murni cerita lucu.
Ada yang sebenarnya cerita sedih atau tragedi, tetapi karena yang bersangkutan sudah mulai ikhlas dan kejadiannya sudah cukup lama, akhirnya menjadi cerita humor. Talk show ini tujuannya 2, yakni yang cerita bisa lega dan yang mendengarkan bisa tahu perjuangan temannya sambil memahami value yang DDTC punya.
Intinya, kami sudah membuktikan sendiri bahwa ada banyak sekali manfaat humor selain bikin tertawa. Humor itu ya pelumas komunikasi, ya penjaga mental biar enggak stres, ya bikin pikiran lebih moncer, macam-macam.
ULWAN: Pertanyaan yang Anda tanyakan di awal tadi adalah respons orang paling umum saat tahu bahwa ternyata ada lembaga seperti IHIK3 di Indonesia dan mengapa kami belajar humor sampai ke negeri orang.
Jadi, sebelum menjawab pertanyaan soal project, perlu saya jelaskan dulu sekilas tentang IHIK3. Lembaga ini didirikan oleh orang-orang yang sangat cinta dengan humor dan percaya bahwa humor bisa dikelola secara profesional sekaligus ilmiah, yakni Danny Septriadi, Seno Gumira Ajidarma, dan alm. Darminto M. Sudarmo.
IHIK3 juga punya sejumlah advisor dan mentor. Ada duta literasi Maman Suherman, pelawak dari Bagito Grup Dedy ‘Miing’ Gumelar, dan peneliti humor senior dari Universitas Indonesia Prof. Maman Lesmana. Nah, untuk sehari-harinya, IHIK3 dikelola oleh gabungan akademisi dan praktisi humor, yakni Novrita Widiyastuti (CEO), Yasser Fikry (CCO), Nia Nuraini (pustakawan), dan saya sebagai researcher.
Dengan kuatnya latar belakang dari segi praktis dan akademis ini, makanya project yang IHIK3 lakukan sejak berdiri hingga seterusnya adalah menjawab keraguan dan penasaran orang-orang terkait ‘keseriusan’ humor dengan terus memproduksi karya-karya ilmiah.
Kami terinspirasi seorang filsuf humor asli Indonesia, namanya Arwah Setiawan, yang pernah berorasi di Taman Ismail Marzuki tahun 1977. Judul orasinya adalah ‘Humor Itu Serius’ – IHIK3 kemudian ikut mengampanyekan jargon itu. Dia intinya mengkritik anggapan mayoritas orang Indonesia, bahwa humor itu tidak butuh keseriusan dalam membuat dan mengapresiasinya.
Nah, keseriusan IHIK3 dalam mengelola humor kami wujudkan melalui beberapa cara. Pertama, dengan mengelola The Library of Humor Studies, perpustakaan humor pertama versi MURI berisi lebih dari 2.000 buku humor lintas disiplin. Kami perlu berterima kasih juga kepada Pak Darussalam yang memberikan support penuh, dengan memberikan space bagi buku-buku kami, sehingga bisa berada dalam satu ruangan yang sama dengan perpustakaan pajak milik DDTC, yang juga terlengkap se-Indonesia.
Kedua, dengan membuat kegiatan humor, dari pelatihan sampai seminar. Lalu yang tidak kalah penting: penerbitan buku-buku kajian humor. Sejauh ini, kami sudah menerbitkan beberapa judul kajian humor, seperti Soekarno dalam Kartun, Humor yang Adil dan Beradab – bekerja sama dengan Jurnal Prisma, Anatomi Lelucon di Indonesia, serta Humor Itu Serius – yang berisi kumpulan tulisan Arwah Setiawan tadi.
Terakhir, kami menerbitkan buku Humor at Work, berisi tulisan-tulisan tentang strategi menerapkan humor yang dapat menunjang produktivitas di lingkungan kerja. Tulisan itu disarikan dari buku-buku terbaik yang ada di The Library of Humor Studies, materi-materi yang kami dapat dari online course, serta pengalaman kami pribadi dalam mengimplementasikannya di sejumlah perusahaan. PDF Humor at Work kami rilis gratis untuk publik.
Saat ini, IHIK3 juga sedang menyiapkan naskah untuk sejumlah judul buku baru dengan tema seputar humor and leadership, humor for creative thinking, humor for critical thinking, sampai humor for resilience. Intinya, kami akan edukasi masyarakat Indonesia bahwa humor itu adalah life skills yang perlu kita kuasai, tidak eksklusif milik komedian saja.
Oh ya, IHIK3 juga akan bekerja sama dengan DDTC Academy untuk membuat kelas. Materinya, menggabungkan dunia pajak dan dunia humor. Kami akan berusaha sadarkan, bahwa orang-orang pajak yang profesinya serius ini butuh humor! Pak Danny pernah bilang, humor bisa bikin profesi ‘pajak’ enggak lagi angker dan bikin masyarakat enggak antipati dengan pajak. Jadi, tunggu saja gebrakan kami bulan Juni 2023! Simak pula ‘Gandeng IHIK3, KPP Muara Bungo Belajar Asah Intelegensi Humor’.
ULWAN: Ya. WHO kan merekomendasikan agar masyarakat global menguasai 10 skill yang tergolong sebagai life skills. Itu termasuk kemampuan berpikir kritis dan kreatif, kemampuan komunikasi, dan kemampuan mengontrol emosi atau stres.
Dari hasil kajian IHIK3 dan implementasi kami, humor sebenarnya bisa menjadi medium untuk kita mempelajari semua skill tersebut. Misalnya, berpikir kreatif untuk problem solving, itu sudah ada risetnya bahwa orang yang punya kecerdasan humor (humor quotient) tinggi, bisa lebih adaptif dan cepat dalam proses problem solving.
Kemudian, skill untuk berempati, yang katanya susah ditemui di anak-anak milenial dan gen Z, itu sebenarnya bisa diasah dengan sadar dalam berhumor. IHIK3 pernah diundang mengisi in-house training oleh sebuah perusahaan event organizer. Mayoritas isinya anak muda. Salah satu materi yang kami bagikan kepada mereka adalah soal humor bubble.
Jadi, lewat games, kami minta mereka berefleksi, apa topik-topik dalam hidup mereka yang boleh dan tidak boleh dibercandain oleh teman-temannya. Nah, topik-topik yang aman dibercandain ini bisa dimasukkan dalam humor bubble. Kemudian, mereka kami ajak saling menebak, apa yang ada di dalam dan di luar humor bubble teman-temannya.
Jadi, dengan belajar dari segi humor saja, mereka bisa makin mengenal dan berempati satu sama lain. Diharapkan, nantinya, enggak sampai ada humor-humor yang menyinggung dan menimbulkan kontraproduktif di antara mereka sendiri.
DANNY: Dengan pengalaman belajar di AATH dan berjejaring dengan pakar humor dari luar negeri, pengalaman tim ini sebagai praktisi dan akademisi humor, ditambah lagi dengan 2.000 lebih referensi humor yang ada di The Library of Humor Studies, IHIK3 yakin bisa memanfaatkan humor untuk bidang apa saja, termasuk pajak.
Ke depannya, saya membayangkan humor bisa menjadi pendobrak tembok besar dan tinggi antara DJP dan wajib pajak, bahkan menjadi penjembatan bagi mereka. Saya pernah baca di Tempo, Kasino, pelawak Warkop, tahun 80-an pernah usul kepada Ditjen Pajak masa itu. “Jangan memelototi orang kalau menyuruh bayar pajak. Lebih baik, berondonglah dengan cerita lucu. Kalau sudah tertawa, duitnya langsung keluar.”
Walau yang bilang begitu pelawak, saya yakin itu bukan usul yang ngasal. Kasino, sebagai pelawak dengan jam terbang luar biasa dan terbukti disukai masyarakat Indonesia, jelas tahu psikologis audiens. Terbukti, humorlah yang memang bisa menyentuh seseorang sampai ke titik yang dia bilang. Aspek keikhlasan atau compliance seperti itu tidak bisa dijangkau oleh aturan apalagi lewat sengketa.
Makanya, pendekatan tradisional melalui scare tactics sudah seharusnya ditinggalkan. Alasannya, membuat wajib pajak tidak nyaman dan tidak sesuai dengan kultur orang Indonesia. Jangan lupa, kalau wajib pajak itu juga manusia, punya perasaan, loh!
Makanya, paradigma perpajakan modern itu justru mendorong adanya cooperative compliance. Harus dipupuk dulu rasa percaya antara petugas dan wajib pajak, supaya kooperasi keduanya bisa tercipta. Nah, rasa percaya itu bisa timbul karena beberapa faktor, misalnya komunikasi yang positif dan saat para pihak bisa saling tersenyum. Di sinilah humor bisa berperan.
Tidak perlu khawatir humor bisa menurunkan wibawa otoritas. Riset-riset sudah menyelidiki itu dan membuktikan kekhawatiran itu bisa diantisipasi, dengan secara sadar atau berstrategi menggunakan jenis-jenis humor tertentu. Simak pula ‘Pentingnya Humor di Lingkungan Kerja Profesional Pajak’.
Ini sedikit bocoran saja. Saat mendengar project Cerita & Humor Pajak yang saya ceritakan tadi, mentor dan teman-teman di AATH yang kebanyakan dari Amerika sana terkejut sekaligus mengapresiasi. Soalnya, mereka di sana pun merasakan ada tembok besar yang memisahkan mereka dengan petugas pajak.
Mereka bilang, IRS belum punya inisiatif untuk melakukan pendekatan dengan humor kepada wajib pajak. Sementara wajib pajaknya sendiri juga segan dengan mereka.
Kultur masyarakat kita kan humornya kuat. Kami yakin, pajak dan humor bisa bersinergi, asalkan 2 hal ini sama-sama dianggap seriusnya! (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.