ANALISIS KESEBANDINGAN berperan penting dalam menguji prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas transaksi yang dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa.
Walaupun sesungguhnya mencakup sembilan tahap analisis, salah satu hal yang krusial ialah upaya menemukan transaksi atau entitas lain yang dianggap sebanding. Tidak mengherankan jika fakta sengketa transfer pricing sering kali berkaitan dengan perbedaan atas pembanding yang dipergunakan.
Salah satu polemik dalam pemilihan pembanding ialah penggunaan pembanding rahasia (secret comparables). Deborah dalam Darussalam, Septriadi, dan Kristiaji (2013) menjelaskan secret comparables ialah pembanding yang dipergunakan oleh otoritas pajak untuk menguji kewajaran transaksi afiliasi yang mana berasal dari data dan/atau informasi wajib pajak lain.
Atas sifatnya yang tidak tersedia untuk publik dan hanya disediakan pihak tertentu, secret comparables juga dapat dianggap melanggar kriteria data pembanding eksternal.
Penggunaan secret comparables umumnya terjadi pada saat proses pemeriksaan ataupun litigasi. Otoritas pajak berusaha untuk menguji kewajaran dari suatu transaksi afiliasi dengan menggunakan data keuangan wajib pajak lain yang dianggap wajar.
Adanya regulasi yang mengatur kerahasian data wajib pajak pada dasarnya membatasi otoritas pajak untuk memberikan informasi data suatu wajib pajak ke ranah publik, termasuk juga menunjukkannya secara komprehensif kepada wajib pajak lainnya.
Oleh karena itu, penggunaan secret comparables dianggap menciptakan ketidakadilan. Hal ini juga seperti dinyatakan dalam isi dua dokumen pedoman analisis transfer pricing global, yaitu Paragraf 3.36 OECD Guidelines serta Paragraf B.1.6.32 UN TP Manual.
Selain itu, banyak pihak yang berpendapat penggunaan secret comparables melanggar prinsip kewajaran. Hal ini dikarenakan wajib pajak ‘dipaksa’ untuk membandingkan transaksi afiliasinya dengan pembanding yang tidak tersedia baginya, tanpa kesempatan untuk menguji derajat kesebandingannya dan tanpa menganalisis penyesuaian (comparability adjustment) yang diperlukan.
Secret comparables juga dianggap melanggar sistem self-assessment karena wajib pajak tidak memiliki informasi tersebut saat melaporkan SPT (Silberztein, 2009).
Lantas, dalam praktiknya, apakah penggunaan secret comparables masih diterapkan di berbagai negara?
Informasi mengenai hal tersebut bisa diakses pada data Transfer Pricing Country Profiles yang dibangun OECD. Data tersebut terakhir diperbarui per 12 Januari 2021. Basis data ini pada dasarnya menghimpun regulasi transfer pricing di 57 negara dan menelaah sejauh mana kesesuaian regulasi tiap negara dengan OECD Guidelines.
Sebanyak 49 dari 57 negara (86%) dalam basis data OECD tersebut tidak memperbolehkan adanya penggunaan secret comparables. Dengan kata lain, tidak diperkenankannya penggunaan secret comparables merupakan international best practice.
Menariknya, dugaan kemungkinan penggunaan secret comparables hanya terjadi di negara-negara dengan perlindungan hak-hak wajib pajak yang rendah ataupun sulitnya akses informasi data keuangan, ternyata tidak tepat.
Beberapa negara maju seperti Kanada dan Norwegia justru membuka kemungkinan atas hal tersebut. Namun demikian, penggunaan secret comparables di Kanada dan Norwegia bersifat last resort (pilihan terakhir).
Penggunaan secret comparables juga hanya diperbolehkan dalam kasus tertentu, semisal di Meksiko, atau dalam hal tidak tersedianya dokumentasi transfer pricing lokal seperti di Jepang. Di Selandia Baru – walaupun diperbolehkan – pada praktiknya, secret comparables juga tidak pernah dipergunakan otoritas pajak. Selain kelima negara tersebut, negara lain yang memperkenankan secret comparables ialah Latvia, Tiongkok, dan Turki.
Sebagai informasi, dalam basis data tersebut Indonesia dikategorikan sebagai negara yang tidak memperbolehkan secret comparables. Walaupun Indonesia tidak memiliki regulasi yang melarang, secret comparables tidak pernah digunakan, baik dalam proses pemeriksaan maupun litigasi.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.