RESENSI JURNAL

Meracik Sistem PPN Modern Pro Ekonomi dan Penerimaan Pajak

Denny Vissaro | Kamis, 31 Maret 2022 | 14:55 WIB
Meracik Sistem PPN Modern Pro Ekonomi dan Penerimaan Pajak

DAPATKAH PPN didesain agar optimal untuk penerimaan negara sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi? Apalagi, dalam konteks masa kini, pemerintah berbagai negara tengah berupaya membangun sistem pajak yang mampu mengemban kedua tujuan tersebut.

PPN ternyata dinilai sebagai jenis pajak andalan utama. Sebab, selama didesain secara netral, keputusan ekonomi masyarakat tidak akan terdampak. Dengan begitu, kinerja penerimaan yang didapat juga akan dapat meningkat.

Adapun studi empiris yang menguji bagaimana netralitas dapat mendorong ketercapaian kedua tujuan tersebut telah dilakukan oleh Santiago Acosta-Ormaechea dan Atsuyoshi Morozumi pada 2019.

Baca Juga:
Catat! Pengkreditan Pajak Masukan yang Ditagih dengan SKP Tak Berubah

Sampel diambil dari 30 negara OECD yang melakukan berbagai perubahan desain PPN selama 1970-2016. Dalam kurun waktu 47 tahun tersebut, Ormaechea dan Morozumi meneliti kinerja PPN mampu ditingkatkan dari 2 indikator kebijakan, yaitu tarif PPN dan C-efficiency.

Sebagai informasi, C-efficiency merupakan indikator yang mengukur deviasi desain sistem PPN yang berlaku terhadap suatu desain hypothetical, ketika seluruh barang dan jasa final dalam suatu ekonomi mendapat perlakuan PPN yang sama tanpa terkecuali.

Makin besar deviasi kebijakan – seperti pengecualian, pembedaan tarif, dan fasilitas yang diberikan –, makin rendah pula nilai indikator C-efficiency. Disajikan dalam IMF Working Paper berjudul The Value Added Tax and Growth: Design Matters, kedua penulis menyampaikan 2 temuan utama.

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Pertama, untuk mencapai penerimaan PPN dengan besaran nilai tertentu, kenaikan tarif PPN diimbangi dengan relaksasi pajak lainnya. Langkah ini akan mendorong pencapaian target penerimaan tersebut sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun, terdapat satu kondisi yang wajib dipenuhi, yaitu adanya peningkatan nilai C-efficiency.

Kedua, peningkatan C-efficiency diimbangi dengan penurunan tarif PPN juga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Meski demikian, terdapat tanda tanya, apakah hal ini mampu mendorong capaian penerimaan lebih baik atau tidak?

Satu hal yang pasti, dari seluruh data sampel, rata-rata tarif PPN adalah sebesar 18,2%. Dengan demikian, dapat diduga masih terdapat ruang bagi negara yang besar tarifnya masih cukup signifikan di bawah angka tersebut, termasuk Indonesia.

Baca Juga:
Apa Itu Barang Tidak Kena PPN serta PPN Tak Dipungut dan Dibebaskan?

Satu hal yang pasti, peran penting netralitas PPN teruji secara empiris oleh kajian yang dilakukan Acosta-Ormachea dan Morozumi. Makin serupa perlakuan PPN terhadap setiap barang dan jasa, makin besar pula dukungan sistem PPN terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Dalam jangka pendek, beberapa kompromi tetap dapat dilakukan untuk mendorong konsumi kelompok masyarakat tertentu atau konsumsi atas barang dan jasa tertentu. Namun, dalam kacamata jangka panjang, ada baiknya hal tersebut dipandang sebagai sesuatu yang sementara dan terus dievaluasi. Tujuannya, C-efficiency PPN suatu negara makin meningkat.

Pada akhirnya, kenaikan tarif PPN secara bertahap dalam batasan tertentu – sebagai upaya meningkatkan netralitas – dan pemberian kemudahan administrasi merupakan racikan yang tepat.

Baca Juga:
Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Tidak hanya minim distorsi terhadap ekonomi, upaya ini juga sejalan dengan kepentingan fiskal nasional melalui bertambahnya kontribusi PPN terhadap pendapatan negara. Sebagai catatan, dalam penelitian lain yang dilakukan Simon dan Harding (2020), PPN juga dikenal sebagai jenis pajak yang relatif stabil ketika terjadi perlemahan ekonomi

Maka tak heran jika pada masa depan, PPN dapat dianggap sebagai ‘mesin uang’ bagi banyak negara (Darussalam, 2017). Simak ‘PPN Bakal Menjadi Mesin Uang’.

Uraian penelitian Acosta-Ormachea dan Morozumi sangat berperan dalam membuka keterhubungan dinamika desain PPN terhadap kinerja penerimaan dan juga pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Menurut kedua penulis tersebut, pada masa kini dan mendatang, studi yang mengaitkan kedua hal ini akan makin diperlukan dalam menentukan arah reformasi perpajakan. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra