ANALISIS PAJAK

Justifikasi dan Tantangan Cukai Makanan Tinggi Gula, Garam, Lemak

Rabu, 28 Agustus 2024 | 08:47 WIB
Justifikasi dan Tantangan Cukai Makanan Tinggi Gula, Garam, Lemak

Nora Galuh Candra A.,
Tax Law Surveillance DDTCNews

PEMERINTAH membuka ruang pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu, termasuk pangan olahan siap saji, yang mengandung gula, garam, dan lemak (GGL). Ruang pengenaan cukai tersebut tercantum dalam Pasal 194 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang 17/2023 tentang Kesehatan (PP 28/2024).

Pengenaan cukai atas pangan olahan tertentu menjadi krusial mengingat kasus penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes, hipertensi, dan obesitas, terus merangkak naik. Di sisi lain, peningkatan kasus PTM menambah beban perlindungan kesehatan dan sosial serta menurunkan produktivitas perekonomian (Sukmana, 2022).

Makanan tinggi GGL digadang menjadi salah satu penyebab PTM. Merespons masalah tersebut, pengenaan cukai bisa menjadi upaya alternatif untuk menurunkan prevalensi PTM akibat konsumsi makanan tinggi GGL (European Regional World Health Organization, 2015). Untuk itu, pengenaan cukai atas makanan tinggi GGL juga patut dipertimbangkan.

Setidaknya ada 4 justifikasi makanan tinggi GGL bisa dikenakan cukai. Pertama, ekternalitas negatif dari konsumsi makanan tinggi GGL. Konsumsi makanan tinggi GGL merupakan salah satu penyebab utama PTM (Rayner dan Scarborough, 2005).

Misalnya, hipertensi yang berisiko menimbulkan penyakit kardiovaskular disebabkan tingginya asupan garam (Strazzullo et al., 2009). Kemudian, asupan gula berlebih menjadi penyebab utama obesitas yang meningkatkan risiko diabetes dan banyak jenis kanker (Lauby-Secretan et al., 2016). Di sisi lain, biaya kesehatan yang ditimbulkan PTM juga tinggi.

Kedua, kesesuaian karakteristik makanan tinggi GGL dengan sifat atau karakteristik barang tertentu yang dikenakan cukai. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Cukai telah menetapkan 4 sifat atau karakteristik barang tertentu yang dikenai cukai.

Keempat karakteristik tersebut, yaitu: (i) konsumsinya perlu dikendalikan; (ii) peredarannya perlu diawasi; (iii) pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau (iv) pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Melihat karakteristik tersebut, konsumsi makanan tinggi GGL perlu dikendalikan karena dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Oleh karenanya, alasan tersebut bisa menjadi justifikasi pengenaan cukai atas makanan tinggi GGL.

Alasan tersebut juga selaras dengan teori yang dipaparkan Cnossen (2005). Cnossen menuturkan salah satu ciri khas cukai adalah diskriminatif dalam tujuan pengenaannya. Dalam konteks ini, cukai bisa diterapkan sebagai instrumen ekonomi untuk mengendalikan konsumsi makanan tinggi GGL.

Ketiga, efektivitas cukai dalam mengubah perilaku konsumsi. Pengenaan cukai dapat meningkatkan harga makanan yang berpotensi menggeser pilihan produk yang akan dikonsumsi. Beberapa studi empiris menunjukkan bahwa perpajakan dapat mengurangi konsumsi makanan yang tidak sehat sehingga berdampak luas pada kesehatan masyarakat (Seah et al., 2018)

Misalnya, Ludbrook (2019) menyatakan pajak, kampanye pangan, dan intervensi subsidi dapat mendorong konsumsi makanan sehat di seluruh dunia. Selain itu, Smed et al. (2016) menaksir dampak pajak lemak jenuh (saturated fat tax) di Denmark menurunkan 4% pembelian makan dengan kandungan lemak jenuh.

Keempat, potensi penerimaan cukai baru. Meski bukan tujuan utama, pengenaan cukai atas makanan tinggi GGL bisa menjadi sumber penerimaan cukai baru. Adanya ‘lumbung’ penerimaan baru dapat menyeimbangkan struktur penerimaan cukai Indonesia yang selama ini didominasi dari industri hasil tembakau.

Penerimaan cukai dari makananan tinggi GGL juga dapat menjadi sumber pendanaan perawatan kesehatan atas penyakit yang disebabkan GGL. Tidak hanya itu, penerimaan tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan sistem kesehatan nasional, mendorong pola makan yang lebih sehat, serta sosialisasi dan kampanye kesehatan. Hal ini dimungkinkan melalui skema earmarking.

Tantangan Pengenaan Cukai

SEBAGAI kebijakan yang masih dalam tataran usulan, pengenaan cukai atas makanan tinggi GGL tentu tidak luput dari tantangan. Adapun tantangan itu di antaranya perihal perumusan pengertian dan kategori makanan tinggi GGL yang dikenakan cukai.

Pembatasan pengertian dan kategori makanan penting dilakukan mengingat makanan tinggi GGL juga diproduksi pelaku UMKM dengan pangsa pasar kecil. Selain itu, Indonesia memiliki banyak makanan serta jajanan tradisional yang tinggi GGL. Penetapan batasan objek juga diperlukan agar kebijakan ini tidak mengesampingkan kemampuan ekonomi masyarakat.

Hal ini menjadi ‘pekerjaan rumah’ yang tidak mudah. Sebab, pengecualian yang tidak tepat sasaran justru bisa memicu pergeseran pola konsumsi dari makanan yang kena cukai ke makanan lain yang tidak kena cukai. Padahal, makanan tersebut bisa jadi mempunyai dampak eksternalitas yang sama atau bahkan lebih buruk.

Selain itu, pengenaan cukai tidak menutup kemungkinan akan berdampak pada produktivitas industri. Hal ini berpotensi menimbulkan efek domino pada pengurangan tenaga kerja hingga penurunan penerimaan pajak, terutama PPN, PPh Pasal 21, dan PPh badan.

Artinya, ‘biaya’ atas penerapan cukai menjadi tantangan lain yang patut dipertimbangkan secara matang. Oleh karena itu, cukai atas makanan tinggi GGL perlu diiringi dengan paket kebijakan lain.

Selain skema earmarking, pengenaan cukai perlu dibarengi dengan kebijakan lain, seperti pemberian insentif dan subsidi. Misal, insentif dan subsidi atas makanan yang lebih sehat serta produk substitusi lain yang lebih sehat, seperti buah dan sayur.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang sekaligus menjadi pemenang lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:27 WIB CORETAX SYSTEM

WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

BERITA PILIHAN