Analis Pajak Internasional BKF Kemenkeu Melani Dwi Astuti. (tangkapan layar)
JAKARTA, DDTCNews - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu tetap optimistis Presidensi G-20 Indonesia mampu mempercepat implementasi solusi 2 pilar untuk mengatasi tantangan pajak internasional dari digitalisasi ekonomi.
Analis Pajak Internasional BKF Kemenkeu Melani Dwi Astuti mengatakan kesepakatan mengenai implementasi solusi 2 pilar masih menghadapi tantangan berat, terutama soal tingginya tensi geopolitik global. Menurutnya, pembahasan mengenai isu tersebut akan kembali dibahas dalam pertemuan yang akan dihelat di Washington, AS bulan ini.
"Mungkin ada beberapa kendala, tapi kita tetap optimistis Presidensi Indonesia akan berusaha mendorong agar Pilar 1 dan Pilar 2 dapat diimplementasikan," katanya dalam Taxplore National Seminar 2022, Sabtu (1/10/2022).
Melani mengatakan salah satu peran Presidensi G-20 Indonesia yakni mendorong implementasi Pilar 1 dan Pilar 2. Dalam presidensi tahun ini, isu pajak internasional juga menjadi salah satu prioritas dan dibahas dalam pertemuan G-20.
Dia menjelaskan isu pajak internasional telah dibahas dalam pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral anggota G-20 pada Februari dan Juli 2022. Dari kedua pertemuan tersebut, negara G-20 mendukung implementasi solusi 2 pilar, meski dihadapkan pada ketegangan akibat perang Rusia dan Ukraina.
Selain itu, Indonesia bersama 10 negara lain telah resmi menandatangani Bali Declaration yang mendukung Asia Initiative di sela-sela penyelenggaraan G-20, pada Juli 2022. Deklarasi itu akan memperkuat transparansi pajak untuk memobilisasi sumber daya domestik yang berkelanjutan sehingga mendukung pembangunan di kawasan Asia.
Melani menjelaskan pertemuan pada Oktober 2022 juga akan kembali membahas isu perpajakan, dengan fokus pada solusi 2 pilar pajak internasional. Harapannya, dapat dihasilkan laporan untuk pengimplementasian inclusive framework on BEPS, setelah molor dari rencana pada Juli 2022.
Dia menyebut ada beberapa hal teknis yang perlu diselesaikan dalam pertemuan G-20. Misalnya mengenai AS yang masih memerlukan persetujuan setidaknya separuh dari anggota parlemen mengonvensi Pilar 1.
Kemudian, masih ada negara yang enggan menyetujui solusi 2 pilar, yakni Kenya, Nigeria, Pakistan, dan Sri Lanka. Di sisi lain, mundurnya Pascal Saint-Amans dari jabatannya sebagai Direktur Centre for Tax Policy and Administration OECD pada 31 Oktober 2022 juga diperkirakan bakal membuat pembahasan soal solusi 2 pilar menjadi lebih sulit.
Di bawah Pilar 1, yurisdiksi pasar akan mendapatkan hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh korporasi nasional meski korporasi tersebut tidak memiliki kehadiran fisik di yurisdiksi pasar. Yurisdiksi pasar mendapatkan hak pemajakan atas 25% dari residual profit yang diterima oleh korporasi multinasional yang tercakup pada Pilar 1.
Selanjutnya, Pilar 2 memperkenalkan tarif pajak minimum global (global minimum tax) untuk korporasi sebesar 15%. Tarif akan berlaku untuk perusahaan dengan pendapatan di atas EUR750 juta.
Senada, akademisi Universitas Indonesia (UI) Mohamad Luhur Hambali menilai implementasi solusi 2 pilar pajak global makin mendesak seiring dengan digitalisasi ekonomi. Sebagaimana disampaikan OECD, sistem perpajakan global harus saling terhubung dan terintegrasi agar tercapai sistem pajak yang adil.
"Banyak negara di dunia seharusnya menerapkan kolaborasi antara satu dengan negara lainnya, bukan malah berkompetisi karena transaksi ini melibatkan lintas batas dunia," ujarnya.
Taxplore National Seminar 2022 diadakan secara virtual oleh Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia. Acara tersebut diikuti ratusan peserta dan dimoderatori oleh periset DDTC Fiscal Research & Advisory Lenida Ayumi. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.