PROFESIONAL DDTC YURIKE YUKI:

‘Makin Diakomodasi Hak-Haknya, Wajib Pajak akan Lebih Patuh’

Redaksi DDTCNews | Rabu, 22 Februari 2023 | 14:00 WIB
‘Makin Diakomodasi Hak-Haknya, Wajib Pajak akan Lebih Patuh’

SETELAH meraih gelar master of law (LL.M.) dalam bidang hukum pajak internasional dari WU Vienna Austria, dia kembali ke Tanah Air dan berkesempatan terlibat dalam penyusunan buku baru DDTC. Buku berjudul Lembaga Peradilan Pajak di Indonesia: Persoalan, Tantangan, dan Tinjauan di Beberapa Negara sangat relevan dengan latar belakang pendidikannya.

Terlebih, dia sudah hampir 5 tahun menjadi profesional DDTC dan menekuni hukum pajak. Alhasil, tidak hanya teori yang dia sajikan dalam buku terbarunya bersama Founder DDTC Darussalam dan Danny Septriadi. Studi komparasi dan pengalaman praktik makin memperkaya tulisan.

Dia adalah Profesional DDTC Yurike Yuki. DDTCNews berkesempatan mewawancarai Yuki terkait dengan buku baru yang akan dirilis dalam waktu dekat tersebut. Sebelum masuk ke topik itu, DDTCNews juga menggali beberapa cerita keprofesian dan pendidikan. Berikut kutipannya:

Sebagai sarjana hukum, bagaimana awalnya Anda tertarik dengan pajak?

Berawal dari perkuliahan. Saya dapat materi tentang hukum pajak. Dosen saya sempat membahas tentang pajak internasional dan menyebut soal transfer pricing. Sampai di rumah, saya ngulik lagi, apa itu transfer pricing. Saat itu, 2017, banyak berita soal penghindaran pajak perusahaan multinasional.

Sejak saat itu, saya merasa isu transfer pricing menarik untuk ditelaah dari sisi hukumnya. Kasusnya memang terkait pajak. Namun, ada aspek hukum yang penting untuk dilihat juga. Dari situlah, saya memutuskan untuk mengambil topik skripsi tentang pajak, khususnya transfer pricing.

Belum banyak anak [jurusan] hukum yang membahas ini. Biasanya, skripsi anak hukum soal komersial atau hukum bisnis pada umumnya. Bisa juga soal pidana. Jarang sekali yang menyentuh pajak. Akhirnya, saya memilih pajak yang memang enggak banyak diambil orang.

Bagaimana akhirnya bisa bergabung dan menjadi profesional DDTC?

Awalnya juga saat pengerjaan skripsi itu. Dosen menyarankan agar saya ke DDTC karena memiliki library yang lengkap. Ahli-ahli pajak juga ada di DDTC. Dari situlah, saya berkunjung ke DDTC. Singkat cerita, saya juga wawancara dengan salah satu Founder DDTC, yaitu Pak Danny Septriadi.

Kemudian, saya mendapat tawaran untuk bergabung karena waktu itu masih jarang lulusan [jurusan] hukum di DDTC. Awalnya saya berpikir pajak itu banyak hitung-hitungannya. Biasanya anak hukum paling enggan berhadapan dengan hitung-hitungan sehingga menghindari area pajak.

Ketika masuk, ternyata enggak juga. Pajak itu multidisplin ilmu, termasuk ilmu hukum. Saat sidang, justru banyak argumen hukum yang sebenarnya diperlukan. Tidak banyak hitung-hitungan meskipun seiring dengan berjalannya waktu tetap harus belajar soal pajaknya juga. Saya juga ikut sertifikasi domestik dan internasional. Pelan-pelan bisa.

Terkait dengan sertifikasi internasional, Anda juga sudah mendapat gelar Advanced Diploma in International Taxation (ADIT) dari Chartered Institute of Taxation (CIOT)…

Betul. Ini upaya untuk lebih memperkuat dan menguji kemampuan saya soal pajak, terutama pajak internasional. Saya ikut proses sertifikasi ADIT itu saat awal masuk DDTC. Modul pertama yang saya ikuti transfer pricing. Setelah lulus, saya ikut modul international tax. Setelah itu, saya ikuti modul country option: Singapore.

Keikusertaan saya dalam sertifikasi tersebut juga didukung penuh oleh DDTC melalui Human Resources Development Programme (HRDP) DDTC. Lewat HRDP, DDTC memberangkatkan pegawainya dengan beasiswa penuh untuk mengikuti berbagai pelatihan, kursus, hingga studi lanjut S-2.

Anda juga meraih gelar LL.M. dalam bidang hukum pajak internasional dari Vienna University of Economics and Business (WU Vienna), Austria. Apakah ini juga bagian dari HRDP?

Betul. Sebenarnya saya mendapatkan informasi adanya peluang untuk diberangkatkan sekolah di luar negeri itu sekitar 2 tahun setelah kerja di DDTC. Akhirnya benar-benar berangkat sekitar 2 tahun sejak informasi itu disampaikan.

Saya bersyukur dan senang sekali karena kuliah S-2 di luar negeri itu menjadi salah satu mimpi saya. Enggak menyangka bisa dapat scholarship dari DDTC. Lewat HRDP, saya juga beberapa kali mengikuti course, termasuk di luar negeri. Jadi, HRDP ini benar-benar menjadi sarana buat saya dan para profesional DDTC lain untuk meningkatkan pengetahuan dan keahlian.

Bagaimana pengalaman Anda kuliah di WU Vienna?

Kalau dari sisi pengajar, kompetensinya keren. Setiap kali mengajar, mereka benar-benar mempersiapkan. Menurut saya, cara mengajar yang benar ya seperti di sana. Sebelum kelas, kami diberi reading material dengan jumlah yang berbeda-beda tiap dosen.

Jadi, kami dibiasakan membaca sebelum kelas. Kami enggak datang ke kelas dengan kepala kosong. Kami sudah tahu materi yang akan dibahas sama dosen. Kami bahkan bisa juga menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk ditanyakan kepada dosen. Seru. Apalagi, saya bisa bertemu dosen-dosen yang selama ini hanya melihat atau membaca tulisannya di buku.

Berbekal pendidikan sebelumnya dan pengalaman kerja, apakah lebih mudah mengikuti kuliah?

Iya, bisa dibilang begitu. Pengalaman kerja itu ternyata berguna sekali sebelum ikut kuliah ini. Beberapa teman yang sebelumnya enggak pernah bekerja di bidang pajak dan enggak pernah handle proyek transfer pricing dan international tax lumayan kewalahan.

Anda menyusun tesis The Bearer of the Burden of Proof in Cases of Abuse of Law. Apa pertimbangannya?

Menurut saya, topik itu masih ada hubungannya dengan hukum. Ini nyambung dengan background pendidikan saya. Saat memilih, saya juga memberi alasan bahwa topik itu sesuai dengan bidang dan keseharian saya dalam dunia kerja, yakni transfer pricing, international tax, dan abuse of law.

Bagaimana hasil penelitian Anda dalam penyusunan tesis itu?

Waktu itu saya akhirnya memutuskan untuk membuat komparasi agar lebih menarik. Untuk komparasi, saya bagi dari sisi benua dulu karena tidak semua negara punya aturannya. Tidak semua negara menerapkan beban pembuktian yang jelas dalam kasus abuse of law.

Abuse of law ini nyambung-nya ke General Anti-avoidance Rule (GAAR). Sejumlah negara yang menjadi bagian dari komparasi membagi secara jelas beban pembuktian antara wajib pajak dan otoritas pajak dalam kasus abuse of law.

Di Kanada, beban pembuktian itu dibagi secara rata antara wajib pajak dan otoritas. Kedua pihak harus sama-sama membuktikan. Beda lagi di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Beban pembuktian di Amerika Serikat itu di wajib pajak. Uni Eropa justru kebalikannya karena otoritas yang harus membuktikan.

Praktik yang sering ditemui di lapangan, otoritas sering memakai argumen substance over form tetapi tidak disertai dengan bukti konkret. Misalnya, ada indikasi penghindaran pajak karena transaksi pembayaran royalti ke negara dengan tarif pajak lebih rendah. Padahal, itu tidak serta-merta membuktikan ada penghindaran pajak karena perbedaan tarif saja.

Maka dari itu, beban pembuktian menjadi penting. Salah satunya agar para pihak itu menjadi tahu siapa yang harus menanggung beban pembuktian di pengadilan. Hal itu juga penting untuk melihat sejauh mana standar pembuktian agar memenuhi tingkat keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara..

Selain itu, kita bisa tahu parameter tingkat keyakinan hakim yang lebih jelas. Para pihak juga bisa lebih menerima dengan sportif hasil putusan yang keluar karena sudah tahu standarnya.

Menurut Anda, apa implikasi dari kejelasan beban pembuktian tersebut?

Lebih ke konsistensi dari putusan. Dengan adanya beban pembuktian yang jelas, khususnya di common law, pada kasus-kasus serupa bisa diprediksi. Sejauh mana beban pembuktian harus dilakukan dan siapa yang harus membuktikan? Konsistensi putusan ujungnya tentu berdampak pada kepastian hukum.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia menganut prinsip pembuktian bebas di pengadilan pajak. Itu sebenarnya sama dengan di italia. Di Italia namanya free assessment of evidence. Hakim yang berkewajiban untuk memilah-milah, menggali, dan menemukan kebenaran material dari bukti-bukti yang disampaikan oleh para pihak. Dengan sistem ini, para pihak yang bersengketa enggak tahu sejauh mana mereka harus memberikan bukti untuk dapat meyakinkan hakim.

Setelah kembali dari Vienna, Anda mendapat kesempatan menulis buku baru bersama Founder DDTC…

Betul. Buku akan dirilis pada akhir Februari 2023. Tentu saja ini menjadi kesempatan yang luar biasa karena menjadi bagian dari penulisan buku terbitan DDTC, bahkan bersama Pak Darussalam dan Pak Danny.

Tentu ini sangat menantang, terlebih buku yang dibuat benar-benar baru. Mulai dari nol, dari kertas kosong. Awalnya saya bingung karena sebelumnya belum pernah menulis buku. Namun, dengan arahan dari Pak Darussalam dan Pak Danny serta bantuan profesional DDTC lainnya, bisa selesai.

Pastinya, ini merupakan proses extraordinary. Misalnya, harus baca 10 jurnal dan sejumlah buku hanya untuk menulis beberapa bagian dalam bab tertentu. Kondisi itu baru saya alami saat menulis buku. Sebelumnya belum pernah baca 10 jurnal dalam seminggu.

Mengapa mengambil topik persoalan dan tantangan lembaga peradilan pajak, bahkan ada tinjauan di beberapa negara?

Sebenarnya berangkat dari kegelisahan pada tataran praktik. Saat praktik, kami banyak menemukan problem di lapangan. Problem-problem itu sebenarnya juga dialami semua orang tetapi enggak pernah ada yang menulis dan mengurainya.

Dengan buku inilah, kami berupaya memantik isu agar orang lebih menyadari isu-isu seputar lembaga peradilan pajak ini. Berbagai topik dalam buku ini sangat mendasar, mulai dari kaitannya dengan banding dan gugatan di Pengadilan Pajak sampai dengan peninjauan kembali di Mahkamah Agung.

Kita sering lihat banyak buku yang bicara aspek teknis administrasi. Padahal, ulasan mengenai lembaga peradilan pajak justru persoalan mendasar. Hal ini terkait dengan hak-hak wajib pajak. Mulai dari aspek kelembagaan, proses persidangan, kompetensi, hingga putusan hakim.

Kami lakukan komparasi dengan negara-negara lain. Adanya komparasi ini tentu saja memberi pengetahuan yang lebih luas. Terlebih, hal ini belum banyak dilakukan penulis-penulis lain di Indonesia.

Berapa literatur yang dipakai dalam proses riset dan penulisan buku ini?

Banyak. Ratusan. Mayoritas merupakan literatur, baik buku maupun jurnal, internasional. Kami justru tidak terlalu banyak menggunakan buku-buku Indonesia. Literatur Indonesia hanya kami pakai untuk memotret sejarah Pengadilan Pajak. Sisanya lebih banyak komparasi dengan best practice negara lain.

Apa saja temuan riset yang penting dan disajikan dalam buku ini?

Banyak aspek menarik. Dari aspek kelembagaan, yang paling utama dan mencolok terkait dengan pembinaan Pengadilan Pajak. Masalah mendasar pada saat ini kaitannya dengan independensi peradilan. Menariknya, aspek ini banyak dibahas pada buku-buku internasional.

Tidak sedikit literatur yang menyajikan isu independensi peradilan. Benang merah yang bisa diambil dari berbagai literatur tersebut adalah judicial independence itu ya enggak boleh ada intervensi dari pihak lain, khususnya kekuasaan eksekutif ataupun legislatif.

Dari pemahaman tersebut, kami coba membahas situasi yang ada di Indonesia. Pembinaan Pengadilan Pajak Indonesia itu kan sebagian di bawah Mahkamah Agung dan sebagian masih di bawah Kementerian Keuangan.

Apakah ada juga temuan terkait dengan penyelesaian sengketa?

Ada, terkait dengan tingkatan penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa khusus pajak di Indonesia Cuma 2 tingkat. Pertama, banding atau gugatan ke Pengadilan Pajak. Kedua, peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Kalau kita bandingkan ke sengketa lain di domestik, minimal 3 atau 4 tingkat. Pertama, gugatan ke Pengadilan Negeri. Kedua, banding di Pengadilan Tinggi. Ketiga, kasasi ke Mahkamah Agung. Keempat, peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Kalau dibandingkan dengan negara lain, penyelesaian sengketa pada 2 tingkat hanya terjadi di Jerman dan Austria. Sisanya, mayoritas di Eropa dan di beberapa negara Asia, minimal menggunakan 3 tingkat. Jadi, pengadilan yang pertama biasanya mengecek soal fakta.

Lower court seperti pengadilan pertama dan kedua itu sebenarnya lebih dominan untuk mengecek fakta. Namun, bukan berarti mereka enggak mengecek hukum juga. Intinya, lower court itu sudah harus memastikan bahwa penerapan faktanya sudah benar.

Pengadilan di tingkat selanjutnya juga masih mengecek fakta yang diterapkan di tingkat pertama sudah benar atau belum. Setelah itu, pengadilan di tingkat akhir baru mengecek question of law, penerapan hukumnya sudah benar atau belum.

Dengan demikian, Mahkamah Agung sebenarnya hanya memeriksa penetapan hukum. Namun, dalam konteks Indonesia saat ini, karena tidak ada 3 tingkat [penyelesaian sengketa], Mahkamah Agung juga mengecek penerapan fakta yang diterapkan di Pengadilan Pajak dan juga penerapan hukumnya.

Artinya, banyak aspek kebijakan lembaga peradilan di Indonesia yang jadi perlu ditinjau kembali…

Betul. Setelah menyusun buku ini, kami melihat perlunya reformasi. Harapannya, buku ini bisa menjadi pegangan atau pedoman untuk menjalankan reform. Apalagi, kami memberikan hasil komparasi best practice di negara lain.

Seperti kita ketahui, pengadilan itu sebagai tempat untuk mencari keadilan. Dengan demikian, aspek-aspek yang kami lihat dari negara lain tidak terlepas dari sistem atau kebijakan yang mampu menciptakan keadilan itu. Salah satunya terkait dengan penerbitan putusan dalam waktu yang terukur (within a reasonable time).

Kita tahu, kebijakan dan regulasi terkait pengadilan pajak di Indonesia belum mengalami perubahan lagi sejak UU Pengadilan Pajak pada 2002. Di sisi lain, reformasi perpajakan sudah berlangsung beberapa kali dari 1980-an sampai sekarang. Seharusnya, reformasi terkait dengan lembaga peradilan pajak juga harus dilakukan mengikuti perubahan lanskap perpajakan. Jadi, reformasi hulu sampai hilir.

Jika diurai singkat, apa saja ulasan dalam buku tersebut?

Buku ini terdiri atas 5 bab. Pada bab pertama, kami mulai dengan histori Pengadilan Pajak dari masa ke masa. Mulai dari Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), dan Pengadilan Pajak. Kami membahas perubahan-perubahannya.

Kemudian, pada bab kedua, kami mulai masuk ke aspek kelembagaan. Kami bicara soal independensi peradilan dan peran Pengadilan Pajak. Kami juga bahas sebenarnya Pengadilan Pajak itu hadir untuk siapa? Untuk wajib pajak mencari keadilan atau membantu pemerintah mengoptimalkan penerimaan pajak?

Setelah itu, pada bab ketiga, masuk ke prosedur atau proses persidangan. Kami membuka bab ini dengan berbagai analisis, seperti peningkatan jumlah sengketa, rasio produktivitas, dan jumlah hakim. Kami juga membahas proses persidangan, terutama menyangkut aspek keterbukaan.

Pada bab keempat, bahasan mulai menyangkut hakim dan putusannya. Kami membahas soal kompetensi hakim. Misalnya, apakah hakim itu harus orang yang betul-betul memahami dan memiliki pengalaman bidang pajak atau bisa lulusan hukum dan bidang keilmuan lainnya?

Terakhir, pada bab kelima, kami mengulas mengenai hak-hak wajib pajak. Pajak itu makin kompleks dan banyak peraturannya. Kewajiban wajib pajak meningkat. Namun, pengakuan atas hak-hak wajib pajak seakan belum seimbang dengan peningkatan kewajiban itu.

Terkait dengan hak-hak wajib pajak, seberapa penting pengaturan secara detail dan eksplisit?

Tentu saja sangat penting. OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) pernah mengeluarkan hasil penelitian pada 2001. Sesuai dengan hasil penelitian itu, ada korelasi antara kesadaran terhadap hak dan kepatuhan wajib pajak. Makin diakomodasi hak-haknya, wajib pajak akan lebih patuh. Artinya, voluntary compliance meningkat secara otomatis.

Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) kita, belum ada pasal yang secara eksplisit bicara soal hak wajib pajak. Padahal, di sejumlah negara, hak-hak wajib pajak diatur secara eksplisit dan masuk sampai ke konstitusinya. Misalnya, ability to pay.

Anda menyebut peraturan perpajakan makin dinamis. Apa yang perlu diantisipasi wajib pajak terkait dengan dinamika perpajakan ke depan?

Pastinya international tax. Terlebih, pembahasan mengenai solusi 2 pilar pemajakan digitalisasi ekonomi juga masih terus berkembang. Indonesia tentu aja akan mengikuti kesepakatan nantinya. Persiapan adaptasi perlu dilakukan sejak dini. Dalam konteks hukum, hak-hak wajib pajak tetap harus diperhatikan. (kaw)


Data Singkat

Yurike Yuki, S.H., LL.M. Int. Tax., ADIT, BKP.

Profesi

Profesional DDTC

Pendidikan Formal

  • Sarjana Hukum (S.H.) dari Universitas Bina Nusantara.
  • Master International Tax Law (LL.M. Int. Tax) dari Vienna University of Economics and Business, Austria.

Kursus dan Seminar Internasional

  • Webinar "Transfer Pricing, R&D and Intangibles Under Attack”, diselenggarakan oleh IBFD (2020)
  • "Advanced Transfer Pricing Course (General Topics)", diselenggarakan oleh WU Transfer Pricing Center, Vienna, Austria (2018).
  • "Basic and Intermediate Licensing Course”, diselenggarakan oleh Licensing Executive Society & IPOS International Pte Ltd, Singapore (2019).

Prestasi (Achievements)

  • Terpilih sebagai salah satu National Reporter dalam Rust Conference dengan topik “Mobility of Work” yang diselenggarakan oleh Institute for Austrian and International Tax Law and Vienna University of Economics and Business di Austria, Vienna (2022).
  • Pembicara di Universitas Indonesia.

Sertifikasi

  • Advanced Diploma in International Taxation (ADIT) dari Chartered Institute of Taxation, United Kingdom.
  • Lisensi Kuasa Hukum Pajak.

Publikasi Buku

  • The Bearer of the Burden of Proof in Cases of Abuse of Law, pada Justice, Equality and Tax Law, eds. Nevia ČičinŠain and Mario Riedl (Linde, 2022)

Publikasi Lainnya

  • Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Transfer Pricing, DDTCNews, Apr 28, 2018
  • Prinsip Kewajaran atas Harta Tidak Berwujud Pasca-BEPS, DDTCNews, Okt 26, 2018
  • Keadilan Fiskal dalam Pemeriksaan Harta Tak Berwujud, DDTCNews, Feb 12, 2019
  • Tax War: Menang Jadi Arang, Kalah Jadi Abu, DDTCNews, Sep 25, 2019
  • Kedudukan Kontrak dalam Analisis Transfer Pricing, DDTCNews, Apr 8, 2020
  • Peran Dissenting Opinion dalam Perkembangan Hukum Pajak, DDTCNews, Juni 3, 2021
  • Blueprint OECD Pillar 1 Kompleks, Bagaimana Implementasinya?, DDTCNews, Juli 26, 2021
  • Beban Pembuktian dalam Kasus Abuse of Law, DDTCNews, Juli 5, 2022

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

22 Februari 2023 | 15:37 WIB

terima kasih info nya

ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:27 WIB CORETAX SYSTEM

WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

BERITA PILIHAN

Selasa, 24 Desember 2024 | 21:30 WIB CORETAX SYSTEM

Simak! Keterangan Resmi DJP Soal Tahapan Praimplementasi Coretax

Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:27 WIB CORETAX SYSTEM

WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:00 WIB PMK 81/2024

Ini Aturan Terbaru Pengkreditan Pajak Masukan Sebelum Pengukuhan PKP

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:30 WIB PROVINSI SUMATERA SELATAN

Realisasi Pajak Rokok di Sumsel Tak Capai Target, Ini Penyebabnya

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:00 WIB CORETAX SYSTEM

Nanti Ada Coretax, Masih Perlu Ajukan Sertifikat Elektronik?

Selasa, 24 Desember 2024 | 15:00 WIB KPP PRATAMA KOSAMBI

Utang Pajak Rp632 Juta Tak Dilunasi, Mobil WP Akhirnya Disita KPP