Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) mengatakan ketentuan pencantuman nomor induk kependudukan (NIK) pembeli dalam faktur pajak sebagai bagian dari upaya untuk mempersempit ruang ketidakpatuhan pajak.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan perubahan ketentuan dalam administrasi pajak pertambahan nilai (PPN) itu tidak hanya memberikan kepastian hukum dalam penerbitan faktur pajak.
Perubahan yang masuk dalam UU Cipta Kerja tersebut, sambung Hestu, juga sebagai cara DJP untuk menjamin keadilan bagi semua pelaku usaha dan mempersempit ruang untuk tidak patuh dalam urusan pajak, terutama PPN.
"Kami mohon pelaku usaha untuk menyikapi ketentuan ini dengan baik karena tujuannya membuat lingkungan bisnis menjadi lebih adil," katanya dalam National Tax Seminar 2020 yang digelar Ikatan Mahasiswa Akuntansi Tarumanagara, Rabu (25/11/2020).
Menurut Hestu, bagi pelaku usaha yang sudah patuh, ketentuan pencantuman NIK dalam faktur pajak menjadi keuntungan tersendiri. Pasalnya mekanisme pajak masukan dan pajak keluaran dapat berjalan dengan baik. Pencantuman NIK juga membuat administrasi PPN menjadi lebih tertib dan memudahkan pengawasan DJP.
Ketentuan ini juga menjadi cara otoritas untuk menekan praktik ketidakpatuhan pelaku usaha. Pasalnya, dengan perubahan melalui UU 11/2020 ini, setiap transaksi harus disertai dengan identitas yang jelas sehingga mengakomodasi penggunaan tanda identitas selain NPWP.
"Kami ingin semua pengusaha sama-sama patuh sehingga bisa mengikis yang tidak patuh. Kalau semua sudah patuh, ini menjadi keuntungan karena beban pajak ditanggung bersama," terangnya.
Hestu mengatakan dalam jangka panjang diharapkan akan ada satu nomor identitas tunggal atau single identity number (SIN) yang menjadi pedoman utama warga negara Indonesia dalam mengakses seluruh layanan publik.
"Tentu dengan SIN akan bentuk basis data yang sangat bagus dari sisi perpajakan. Namun, dengan ketentuan ini, tidak mengurangi peran NPWP. Untuk menuju ke sana [SIN] memang perlu adanya ekosistem NIK yang lebih tertib dan baik," imbuhnya.
Seperti diketahui, Pasal 13 ayat (5) huruf b UU PPN pada UU 11/2020 mengatur faktur pajak harus mencantumkan keterangan tentang penyerahan BKP/JKP dengan memuat nama, alamat, dan NPWP ataupun NIK. Bila pembeli BKP/JKP adalah subjek pajak luar negeri (SPLN) orang pribadi, faktur pajak harus mencantumkan nomor paspor.
Pada pasal yang sama sebelum direvisi melalui UU 11/2020, faktur pajak harus mencantumkan nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau JKP. Tidak ada ruang untuk mencantumkan NIK pada UU PPN sebelum revisi melalui UU 11/2020.
Dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b UU PPN pada klaster perpajakan UU Cipta Kerja disebutkan indentitas pembeli barang kena pajak (BKP) atau penerima jasa kena pajak (JKP) meliputi, pertama, nama, alamat, dan NPWP atau NIK atau nomor paspor bagi subjek pajak luar negeri orang pribadi.
Kedua, nama dan alamat, dalam hal pembeli BKP atau penerima JKP merupakan subjek pajak luar negeri badan atau bukan merupakan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU Pajak Penghasilan (PPh).
Ketentuan pencantuman NIK pembeli yang tidak memiliki NPWP dalam faktur pajak ini juga menjadi bagian dari tujuan untuk menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri. Baca juga artikel ‘Simak, Ternyata Klaster Perpajakan UU Cipta Kerja Sasar 4 Tujuan Ini’. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.