PP 80/2010

Pajak Atas Gaji Kepala Daerah Ditanggung Pemerintah, Begini Aturannya

Nora Galuh Candra Asmarani | Rabu, 16 Oktober 2024 | 17:30 WIB
Pajak Atas Gaji Kepala Daerah Ditanggung Pemerintah, Begini Aturannya

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur yang diterima kepala daerah ditanggung oleh pemerintah.

Ketentuan tersebut, di antaranya, tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah (PP) 80/2010. Berdasarkan beleid itu, yang dimaksud dengan penghasilan tetap dan teratur adalah gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur yang diterima setiap bulan atau imbalan sejenis lainnya.

“Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD ... meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi: ... pejabat negara, untuk ... gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan, atau imbalan tetap sejenisnya,” bunyi Pasal 2 ayat (2) PP 80/2010, dikutip pada Rabu (16/10/2024).

Baca Juga:
Ada Pajak Minimum Global, Indonesia Siapkan QRTC?

Kepala daerah berarti pemimpin suatu daerah. Berdasarkan Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang (UU) 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah terdiri atas gubernur untuk daerah provinsi, bupati untuk daerah kabupaten, dan wali kota untuk daerah kota.

Adapun gubernur, bupati, serta wali kota termasuk ke dalam pejabat negara. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UU 20/2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dengan demikian, ketentuan PPh Pasal 21 untuk kepala daerah sama seperti ketentuan untuk pejabat negara.

Untuk itu, PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur tiap bulan yang diterima kepala daerah juga ditanggung oleh pemerintah selaku pemberi kerja. Perlu diingat, PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah itu berlaku atas penghasilan tetap dan teratur yang diterima kepala daerah sehubungan dengan pekerjaannya sebagai kepala daerah.

Baca Juga:
PPh Pasal 21 DTP Hanya untuk Pegawai Padat Karya, DJP Ungkap Alasannya

Sementara itu, penghasilan honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD dipotong PPh Pasal 21 yang bersifat final. PPh Pasal 21 atas honorarium dan imbalan lain itu dikenkan 3 jenjang tarif tergantung pada golongan pangkat sebagai berikut:

1. Sebesar 0% dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS golongan I dan golongan II, anggota TNI dan anggota Polri golongan pangkat Tamtama dan Bintara, serta pensiunannya.

2. Sebesar 5% dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS golongan III, anggota TNI dan anggota Polri golongan pangkat Perwira Pertama, serta pensiunannya.

Baca Juga:
PPh 21 Karyawan Ditanggung Negara, DJP Jamin Penerimaan Tak Goyah

3. Sebesar 15% dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi pejabat negara, PNS golongan IV, anggota TNI dan anggota Polri golongan pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, serta pensiunannya.

Dalam hal kepala daerah menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenai PPh final di luar penghasilan tetap dan teratur yang menjadi beban APBN atau APBD, penghasilan lain tersebut digunggungkan dengan penghasilan tetap dan teratur tiap bulan.

Penghasilan lain yang tidak dikenai PPh final itu seperti laba usaha, royalti, atau keuntungan penjualan aktiva. Ringkasnya, penghasilan lain tersebut perlu digabung dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam perhitungan PPh yang terutang dalam SPT Tahunan.

Baca Juga:
PPh Ditanggung Pemerintah, Karyawan Padat Karya Diharap Banyak Belanja

Adapun atas PPh Pasal 21 yang sudah ditanggung pemerintah dapat menjadi kredit pajak atas seluruh penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh kepala daerah yang bersangkutan.

“Dalam hal pejabat negara ... menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenai PPh bersifat final di luar penghasilan tetap dan teratur yang menjadi beban APBN atau APBD, penghasilan lain tersebut digunggungkan dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam SPT Tahunan,” bunyi Pasal 6 ayat (1) PP 80/2010. (sap)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 26 Februari 2025 | 09:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Masih Ada Importir Belum Padankan NIK-NPWP, DJBC Singgung Tarif PPh 22

Selasa, 25 Februari 2025 | 17:30 WIB PMK 136/2024

Ada Pajak Minimum Global, Indonesia Siapkan QRTC?

Selasa, 25 Februari 2025 | 11:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPh Pasal 21 DTP Hanya untuk Pegawai Padat Karya, DJP Ungkap Alasannya

Senin, 24 Februari 2025 | 16:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPh 21 Karyawan Ditanggung Negara, DJP Jamin Penerimaan Tak Goyah

BERITA PILIHAN
Rabu, 26 Februari 2025 | 10:00 WIB PAJAK KARBON

DPR Dorong Penerapan Pajak Karbon, Biar Ada ‘Efek Jera’

Rabu, 26 Februari 2025 | 09:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Masih Ada Importir Belum Padankan NIK-NPWP, DJBC Singgung Tarif PPh 22

Rabu, 26 Februari 2025 | 09:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Login DJP Online Lebih Lama, Lapor SPT Tahunan Jangan Mepet Deadline!

Rabu, 26 Februari 2025 | 08:15 WIB KURS PAJAK 26 FEBRUARI 2025 - 04 MARET 2025

Kurs Pajak Terbaru: Tren Penguatan Rupiah atas Dolar AS Berlanjut

Rabu, 26 Februari 2025 | 06:30 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Godok Insentif Pajak Sesuai GloBE Rules, Kemenkeu Pertimbangkan QRTC

Rabu, 26 Februari 2025 | 06:00 WIB ASSOCIATE PARTNER OF DDTC CONSULTING GANDA CHRISTIAN TOBING:

Demokrasi Buat Sistem Pajak Kompleks karena Tampung Banyak Kepentingan

Selasa, 25 Februari 2025 | 18:43 WIB PMK 15/2025

Dalam Pemeriksaan, Ditjen Pajak Berwenang Melakukan Penilaian

Selasa, 25 Februari 2025 | 18:00 WIB KAMUS PAJAK

Apa Itu Entitas Konstituen dalam Penerapan Pajak Minimum Global?

Selasa, 25 Februari 2025 | 17:30 WIB PMK 136/2024

Ada Pajak Minimum Global, Indonesia Siapkan QRTC?

Selasa, 25 Februari 2025 | 17:00 WIB KEBIJAKAN BEA MASUK

Tarif Bea Masuk Barang Kiriman Disederhanakan, DJBC Ungkap Dampaknya